Ungkapan rasa penyair yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Kisah perjumpaan, percintaan, dan perpisahan menggetarkan jiwa.
Surabayastory.com – Naskah ini adalah susastra pengantar bagi mahakarya dari pujangga besar dunia. Manakala cinta membawakan makna baru dalam kehidupan, ketakjubannya pada sosok yang dia cintai akan meluap.
Bagi seniman sejati, pengalaman hidup yang tragis sekali pun tak pernah lewat begitu saja tanpa terlebih dahulu dicerna maknanya. Cinta pada pandangan pertama yang hanya bisa disampaikan secara terselubung (mungkin sebab jodoh pernikahan sang pujangga kelak ditentukan secara kontrak antara kedua keluarga) berujung tragedi dengan meninggalnya kekasih hati yang dianggapnya jelmaan bidadari dari kayangan saking sempurnanya.
Karya seperti apakah yang dilahirkan oleh Dante Alighieri, sosok seorang prajurit, apoteker, politikus, negarawan, sastrawan, sekaligus filsuf ini? La vita nuova, yang ditulis tak lama setelah meninggalnya putri secantik bidadari itu, menjadi susastra penting yang pertama dihasilkan Dante. Dante merangkai 25 soneta (sajak yang terdiri dari 4 bait: 2 bait pertama masing-masing memuat 4 baris, dan selanjutnya masing-masing 3 baris, dan memuat satu pikiran atau perasaan yang bulat ), 1 balada (sajak sederhana tentang sebuah kisah yang mengharukan, bisa dinyanyikan atau berbentuk percakapan ), dan 5 canzone (puisi cinta yang digubah oleh trubadur di Italia pada zaman pertengahan). Di antaranya tak terselesaikan begitu mendengar kabar kematian Beatrice), dan menjalinnya bersama prosa sebagai pendampingnya. Kisah yang digubahnya melukiskan perjalanan cinta Dante pada Beatrice, pertanda yang didapatkannya melalui sebuah mimpi tentang kematian si gadis, meninggalnya Beatrice, tekad hatinya yang terakhir kali untuk menulis sebuah karya yang akan menjadi suatu pengingat yang pantas untuk mengenang almarhumah.
Dalam bagian buku kenanganku yang sebelumnya hanya bisa sedikit terbaca, ada sebuah judul yang berbunyi: ‘Incipit vita nova: Di sinilah mulai kehidupan baru.’ Di bawah tajuk tersebut kulihat tertulis kata-kata yang kuniatkan untuk menyalinnya ke buku kecil ini, dan seandainya tidak semuanya, setidaknya bisa mencakup intisarinya.
La vita nuova menunjukkan jelas adanya pengaruh dari puisi-puisi yang diciptakan para trubadur Provence dan menyajikan hasil terindah dari dolce stil nuovo (‘gaya baru yang manis’) dalam dunia puisi berbahasa sehari-hari Florence kontemporer. Karya ini melampaui tradisi Provence dari sisi bukan sekadar menggambarkan cinta sang pujangga dalam idealisme tinggi, namun lebih jauh lagi menyiratkan adanya makna spiritual dalam sosok kekagumannya. La vita nuova, dengan kekuatan perasaan yang terus bisa dirasakan, menjadi salah satu dari deretan sajak terindah dalam literatur Eropa, bahkan dunia.
Sementara itu, mahakarya Dante lainnya adalah La Divina Commedia (The Divine Comedy), yang sarat renungan, sehingga pengarangnya diakui sebagai pujangga sastra dunia berkat pengaruhnya yang besar dalam dunia seni, politik, ilmiah, dan filsafat. Dalam narasi perjalanan hidup ini, Dante menjelajahi Inferno (Neraka), Purgatorio (Penyucian), dan Paradiso (Surga), di bawah bimbingan mula-mula oleh penyair Virgil (sepanjang melalui Inferno dan Purgatorio) dan selanjutnya oleh Beatrice (menuju Paradiso), perempuan yang dicintainya secara mendalam dan penuh tata-krama dalam karya buku yang sedang Anda pegang ini. Dengan demikian, karya yang segera Anda nikmati merupakan jalan masuk menuju karya agung mengenai kehidupan dari pujangga dunia yang pernah lahir di tengah kebudayaan umat manusia.
Kita mencoba membaca bagian awal dari karya Dante ini.
Pertemuan Pertama dengan Beatrice
Sembilan kali sudah sejak kelahiranku kerajaan cahaya nyaris tiba di titik itu-itu juga ketika seorang putri yang menawan pikiranku pertama kali muncul di hadapan mataku, dia yang dipanggil dengan nama Beatrice (‘perempuan yang dianugerahi karunia’), oleh orang-orang yang tak mengetahui makna namanya. Dia sudah menjalani hidup ini sebagaimana sepanjang waktu angkasa berbintang menuju timur sejauh seperdua-belas, sehingga dia tampak padaku hampir menjelang tahun kesembilannya, dan kulihat dirinya nyaris pada penghujung tahun kesembilanku. Dia tampil dalam dandanan warna paling mulia, merah tua, tertata dan apa adanya, dengan tali dan hiasan gaya tertentu yang saat itu sesuai dengan usianya yang belia.
Pada waktu itu kukatakan sesungguhnya bahwa daya hidup, yang mendiami ruangan paling rahasia di hati, mulai bergetar demikian hebatnya sehingga aku merasakannya begitu ganas dalam denyutan paling lemah, dan, sembari terguncang, ia mengutarakan kata-kata berikut: “Ecce deus fortior me, qui veniens dominabitur michi: Ini dia ketuhanan yang lebih perkasa daripada diriku, yang segera datang untuk menguasai aku.” Pada saat itu, roh hewani, yang menghuni ruangan tinggi tempat diantarkannya persepsi oleh semua roh indra, mulai bertanya-tanya mendalam tentangnya, dan, berbicara secara khusus pada roh penglihatan, mengucapkan kata-kata ini: “Apparuit iam beatitudo vestra: Sekarang terwujudlah berkatmu.” Ketika itu spirit kodrati, yang hidup di bagian tempat makanan kita diantarkan, mulai terisak, dan sambil terus menangis mengatakan demikian: “Heu miser, quia frequenter impeditus ero deinceps!: Sengsaranya aku, karena betapa sering aku akan terganggu sejak saat ini!”
Sejak itu kukatakan Amor-lah yang memerintah jiwaku yang segera saja menyatu dengannya, dan mulai memiliki diriku dengan semacam kepastian dan komando, melalui kekuatan yang diberikan oleh imajinasiku padanya, sehingga aku dipaksa menuntaskan harapan-harapannya utuh-utuh. Dia memerintahku sekian kali untuk menemukan apakah aku dapat menangkap dari gambaran ini bidadari yang paling lembut, dan demikianlah maka dalam masa kanak-kanakku seringkali aku pergi mencari, dan melihat sosoknya begitu mulia dan terpuji, sehingga pasti bisa diungkapkan tentang dirinya melalui kata-kata sang pujangga Homer: “Dia seperti bukan anak perempuan dari makhluk manusia, melainkan keturunan dewa.” Dan meskipun sosoknya, yang terus-menerus bersama diriku, adalah alat Amor untuk menguasaiku, biar bagaimana ia sesungguhnya merupakan kebaikan mulia yang tak pernah membiarkan Amor memerintahku tanpa nasihat setia dari akal untuk semua hal tersebut, ketika nasihat semacam itu patut didengarkan.
Namun karena sepertinya tampak sebagai khayalan bagi sebagian orang untuk memikirkan gairah dan tindakan-tindakannya pada usia-usia sehijau itu, maka aku akan meninggalkannya, dan melewatkan banyak hal yang bisa berasal dari contoh tersebut yang dari situlah ini diturunkan, aku akan menemukan kata-kata yang tertulis dalam kenanganku di bawah judul-judul yang lebih penting……
Mengenal Dante Alighieri
Dante sebenarnya adalah panggilan dari Durante, sementara Alighieri berasal dari nama keluarga dari pihak ayah yaitu Alagherii atau de Alagheriis. Secara khusus Dante dikenal sebagai pujangga besar di Italia. Bersama dengan Francesco Petrarca Petrarch (1304-1374) dan Giovanni Boccaccio (1313-1375) ketiganya biasa disebut ‘tiga mata air’ kesusastraan Italia berkat karya-karya yang mereka tulis dalam bahasa Italia ketimbang Latin yang sepanjang ratusan tahun terlanjur lazim digunakan untuk karya-karya yang dinilai serius. Bahkan oleh karena inilah Dante disebut juga ‘Bapak bahasa Italia’. Sementara di lingkungan yang lebih luas, Dante Alighieri disejajarkan dengan Shakespeare (1564-1616) dan Goethe (1749-1832) dalam khazanah literatur Barat, terutama berkat karya besarnya yang mendapat tempat tertinggi dalam sastra Italia, yaitu Commedia (La Divina Commedia).
Dante lahir dan besar di Florence, Italia, pada masa keemasan sejarah kota ini ketika aktivitas industri dan perdagangan sedang marak. Dante masih keturunan bangsawan. Walaupun tak diketahui secara persis riwayat pendidikan formalnya, namun dengan menilik hasil karyanya yang sarat pemikiran filosofis, diduga Dante sempat mengenyam studi tingkat lanjut yang meliputi bahasa Latin, matematika, dan seni musik. Mengikuti kalangan terpelajar masa itu, Dante pun belajar menciptakan puisi, dan terbukti kemudian menulis menjadi hasratnya yang melekat hingga akhir hayat.
Sebelum tahun 1285 menikah dengan Gemma di Manetto Donati, jodohnya yang ditetapkan berdasarkan kontrak pernikahan yang dibuat kedua keluarga saat usianya masih dua belas tahun (sebagaimana kebiasaan pada masa itu), Dante telah terlebih dulu jatuh cinta pada gadis sebayanya, Beatrice Portinari (Bice) sejak pertemuan pertama mereka tahun 1274. Beatrice yang meninggal pada usia belia (25 tahun) tanggal 8 Juni 1290 membuat Dante berduka cita secara mendalam dan beberapa tahun berikutnya dia mulai menuliskan La Vita Nuova untuk menuangkan kisah cintanya yang tak sampai ini.
Pengalaman lain dalam kehidupan Dante adalah terlibat dalam bidang militer-politik dengan memperjuangkan ideologi turun-temurun keluarga besarnya. Beberapa kali terlibat dalam pertempuran perebutan kekuasaan di Florence, Dante yang memilih berpihak demi pemerintahan yang mandiri akhirnya dibuang dan diwajibkan membayar denda besar. Kehidupan Dante berikutnya dijalani di Verona. Sepanjang pengasingannya sejak 1302 sampai terakhir di Ravenna (1318-1321), sang pujangga justru memiliki banyak waktu untuk menelurkan karya-karya besar, di antaranya: De Vulgari Eloquentia (Mengenai Pidato Umum), Convivio (Perjamuan), dan yang monumental adalah La commedia (Sebuah Komedi, selanjutnya lebih dikenal dengan La Divina Commedia (Komedi Illahiah)).
Hingga wafat dan dikebumikan di Ravenna tahun 1321, Dante tak pernah menginjakkan kakinya kembali ke tanah kelahiran yang sangat ia rindukan. Sementara Florence yang kemudian menyesali pengasingan sang pujangga cemerlang akhirnya mempersiapkan kuburan di Basilika Santa Croce pada tahun 1829 yang selanjutnya dibiarkan kosong sebagai ungkapan penghormatan pada warganya yang telah turut mengharumkan kota tercintanya. –vit