Cinta dan spiritualitas. Itulah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari Kahlil Gibran. Spiritualitas juga menggurat kuat mewarnai syair dan kehidupannya.
Surabayastory.com – Cinta selalu menjadi tema yang sangat impresif dalam karya-karya, begitu juga dalam kehidupan pribadinya. Cinta dan spiritualitas saling kait mengait erat dalam puisi dan kehidupan sang penyair.
Di sini, ada dua pertanyaan penting dan menarik bila kita membaca kehidupan Gibran. Pertama, sejauh mana kita, sebagai pembaca, punya hak menuntut seorang penulis untuk menjalankan sendiri persepsi-persepsinya. Kedua, sejauh mana pengalaman personal dibutuhkan untuk validitas bagi pengajaran spiritual.
Pada usia awal, Gibran sudah menciptakan dan, atau sekaligus mendapatkan pesona bagi dirinya sendiri. Seperti semua topeng semacamnya, dalam derajat tertentu, pesona itu pasti tidak selalu benar jika dibandingkan dengan kenyataan sejatinya. Namun, saat waktu berlalu, Gibran semakin komit untuk menjalani kehidupan dalam parameter itu. Tak pelak, kesenjangan antara ‘orangnya’ dan ‘mitosnya’ menjadi semakin melebar. Orangnya, secara duniawi, adalah sosok manusia yang tidak aman secara seksual. Sedangkan, mitosnya justru memproyeksikan seorang nabi yang suci dan penuh pengetahuan.
Untungnya, Gibran sadar betul tentang kesenjangan besar itu. Banyak dari kita hidup dengan mengenakan topeng seolah-olah topeng itu adalah diri kita sejati. Dengan kesadaran semacam itu, dan sebagai manusia yang cukup peka, Gibran kemungkinan besar merasakan kesenjangan lebar itu sebagai ketegangan yang tak tertahankan –persisnya, ketegangan yang ia ekspresikan dengan cara mengakui, pada kesempatan pribadi, bahwa ia adalah pribadi berbeda dengan karya-karyanya.
Gibran adalah sekadar manusia. Bukan sang nabi, seperti banyak pembacanya menyematkan identitas ini pada dirinya. Kita biasanya habis-habisan mencermati catatan-catatan yang masih ada untuk mencari tanda-tanda itu. Justru, hidup Gibran tampaknya sudah ditentukan, direncanakan, dan sudah ada plotnya. Jalan hidup itu berevolusi secara organis dari pesona yang ia pilih untuk pakai –yakni sosok romantis yang terluka, yang berada di bawah bayang-bayang pusi dan sang nabi– kecuali perkembangan organis dari persona itu tetap bersifat dua dimensi.
Apakah Gibran sedang berbicara pada teman-teman terdekatnya atau berbicara pada audiens publik, kesan yang ia proyeksikan adalah sama. Ia dengan kukuh memainkan perannya. Sebagai seorang imigran muda yang tidak aman, ia segera bisa mempelajari bahwa perannya ini bisa memberinya penerimaan segera, dan bahkan sanjungan segera; semacam umpan balik positif yang memantapkan permainan-peran hingga menjadi sifat alami kedua bagi seseorang.
Di bawah ini adalah karya Gibran yang berisi petikan-petikan aforisme singkatnya tentang cinta, kehidupan dan spiritualitas.
Dua Sisi Kehidupan
Kesenanganmu adalah kesedihanmu yang tak bertopeng.
Dan sumur yang itu-itu juga tempat sumber memancarnya tawamu
Yang seringkali bercampur dengan air matamu.
Semakin dalam penderitaan itu menggores kedalamanmu,
Maka semakin berlipat kebahagiaan yang bisa kau terima.
Bukankah mangkuk yang menampung anggurmu adalah mangkuk yang sama yang dibakar di dalam tungku ahli tembikar itu?
Dan bukankan lute yang menyejukkan spiritmu berasal dari kayu yang sama dengan yang telah dilubangi dengan pisau?
Ketika kau merasa bahagia, tengoklah ke dalam hatimu dan akan kautemukan bahwa yang telah memberimu kesedihan adalah sama dengan yang memberimu kegembiraan.
Saat kau menderita, lihatlah lagi ke dalam hatimu, dan kau akan mengetahui bahwa sesungguhnya kau sedang menangisi sesuatu yang menjadi kegembiraanmu.
Beberapa di antara kalian berkata, “Kegembiraan lebih besar daripada penderitaan,” dan yang lain berkata, “Tidak, penderitaan yang lebih besar.”
Namun sebenarnya mereka tidak terpisahkan.
Bersama mereka hadir, dan waktu salah satunya duduk sendirian denganmu di dalam rumahmu, ingatlah bahwa yang lainnya sedang tertidur pada ranjangmu.
Sejatinya kau sedang digantungi timbangan antara penderitaan dan kebahagiaanmu.
Hanya ketika kau kosong maka kau akan diam dan setimbang.
Ketika penjaga-harta mengangkatmu untuk menimbang emas dan peraknya,
Seharusnya kebahagiaan dan kesedihanmu tidak turut naik atau turun.
Ketika Kesedihanku dilahirkan, aku merawatnya dengan penuh perhatian, dan mengawasinya dengan kelembutan cinta.
Dan Kesedihanku tumbuh seperti makhluk hidup, kuat dan cantik dan penuh dengan kesukaan yang menakjubkan.
Dan kami mencintai satu sama lain, Kesedihanku dan aku, dan kami mencintai dunia di sekitar kita; karena Kesedihan mempunyai hati yang wamah dan hatiku pun ramah kepada Kesedihan.
Dan ketika kami berselisih, Kesedihanku dan aku, hari-hari kami bagai bersayap dan malam-malam kami dilingkupi dengan mimpi-mimpi; karena Kesedihan mempunyai lidah yang fasih, dan lidahku fasih pada Kesedihan.
Dan ketika kami menyanyi bersama, Kesedihanku dan aku, tetangga-tetangga kami akan duduk di dekat jendela mereka dan mendengarkan; karena lagu-lagu kami sedalam samudra dan melodi kami penuh dengan kenangan asing.
Dan ketika kami berjalan bersama, Kesedihanku dan aku, orang-orang menatap pada kami dengan mata mereka yang lembut dan membisikkan kata-kata dengan manis yang berlebihan.
Dan di sana ada mereka yang melihat dengan kecemburuan pada kami, karena Kesedihan adalah sesuatu yang mulia dan aku bangga akan Kesedihanku.
Namun Kesedihanku pun mati, seperti semua makhluk hidup lain, dan sendirian aku ditinggalkan merenung dan terpekur.
Dan sekarang waktu aku berbicara, kata-kataku berjatuhan deras menimpa telingaku.
Dan ketika aku menyanyikan lagu-laguku, tetangga-tetanggaku tidak ada yang menyimak.
Dan saat aku berjalan-jalan, tak ada yang melihat padaku.
Hanya di dalam tidur kudengarkan suara-suara berujar mengasihani, “Lihatlah, di sana terbaring manusia yang Kesedihannya telah mati.”
Dan ketika Kegembiraanku dilahirkan, aku memeganginya dalam tanganku dan berdiri di puncak rumah berteriak, “Datanglah, tetangga-tetanggaku, datang dan lihatlah, karena kegembiraan hari ini dilahirkan padaku. Datang dan saksikan peristiwa membahagiakan ini yang tertawa di bawah cahaya mentari.”
Namun tak ada seorangpun tetangga yang datang untuk melihat Kegembiraanku, dan aku sungguh keheranan.
Dan setiap hari selama tujuh bulan berturut-turut aku mengumumkan Kegembiraanku dari puncak rumah namun tak seorang pun yang memperhatikanku. Dan Kegembiraanku dan aku hanya sendirian, tak ada yang mencari dan mengunjungi.
Kemudian Kegembiraanku tumbuh pucat dan jemu karena tak ada hati lain selain hatiku yang mengagumi kecantikannya dan tak ada bibir lain yang mengecup bibirnya.
Kemudian Kegembiraanku mati dalam kesendirian.
Dan baru sekarang ketika teringat pada Kegembiraanku yang telah mati, baru aku teringat akan Kesedihanku yang telah mati.
Namun kenangan adalah sehelai daun musim gugur yang berdesir kala angin bertiup dan selanjutnya tak terdengar lagi. –sa