Surabayastory.com – Wayang adalah cermin dari sifat dan karakter manusia. Kisahnya adalah kisah kehidupan yang pernah terjadi dan sangat mungkin akan kembali terjadi. Tentu saja dengan kisah yang tak sama persis. Begitu pula pelakonnya. Semua mengikuti zamannya, perubahan lingkungan, dan waktunya.
Salah satu kisah paling mahsyur dari wayang adalah kisah Mahabharata. Dari sini kita bisa belajar dari sejarah umat manusia. Berikut ini kisah selayang pandangnya.
*****
Butiran pasir beterbangan dihempas hembusan angin gurun dini hari.Tanahnya kering, kotor, dan berdebu.Terhampar luas tiada batas.Itulah padang tandus Kurusetra, daerah gersang di wilayah utara anak benua.
Sementara jauh di segala ufuk, langit masih saja biru kelabu. Entah apa sebab, mentari seakan enggan memulai hari baru. Sunyi mencekam memeluk ribuan tenda yang menyembunyikan tiga juta jiwa yang gelisah, yang tak terlelap walau sekejap. Mereka cemas penuh was-was. Sesaat lagi peperangan besar akan pecah. Perebutan kekuasaan atas Hastinapura, kerajaan megah di lembah Gangga. Dua pihak yang masih bersaudara tengah sengketa, dan kini siap untuk mengadu jiwa; Pandawa dan Kurawa.Mereka pun tidak sendirian, masing-masing kubu punya sekutu. Ini akan menjadi perang teramat dahsyat. Lebih dari sekadar perang saudara dinasti Bharata Yudha.
Suara terompet masih saja bersautan ketika gendering perang mulai ditabuh berulang-ulang.
“Masihkan ada waktu?” Kresna berbicara dengan dirinya sendiri. Arjuna masih saja tertunduk layu sementara langit yang tadinya biru kelabu, kini merona dengan warna jingga keemasan. Matahari telah terbit.
Sekonyong-konyong entah bagaimana, Kresna merasakan ada sesuatu yang terang benderang memasuki kesadarannya. “Baiklah Arjuna. Marilah kita bersama-sama menengok sejarah masa lalu, sejarah dinasti Bharata. Agar nanti, keputusan apapun yang kau ambil, tak akan pernah kau sesali di kemudian hari.”
“Sejarah masa lalu?….. Apa gunanya? Untuk apa?” Arjuna berkata dalam hati. “Tapi sepertinya menarik,… tak apalah, aku akan coba mengikuti pembicaraan kak Kresna.”
Kresna berkata,” Ayahmu, Pandu adalah raja Hastinapura. Memang seharusnya menjadi raja adalah kakak ayahmu paman Destarata, ayah para Kurawa.”
“Namun karena paman Destarata buta sejak lahir, dan undang-undang Hastinapura melarang orang cacat jadi raja, maka Hastinapura diserahkan kepada ayahmu.”
“Paman Destarata menikah dengan Dewi Gandari sementara ayahmu menikah dengan Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Karena tak kunjung memperoleh keturunan, ayahmu memutuskan untuk mengasingkan diri dan bertapa ditemani oleh kedua istrinya.”
“Dan sementara itu paman Destarata dinobatkan menjadi raja sementara sampai kelak digantikan kembali oleh adiknya, Pandu. Demikianlah kesepakatannya.”
“Bersama bergulirnya waktu, Dewi Gandari, istri paman Destarata melahirkan banyak anak yang kemudian disebut Kurawa. Sementara Pandu juga mendapatkan keturunan, lima anak, yang kelak disebut Pandawa. Dari Dewi Kunti lahir tiga putra: Yudhistira, Bima, dan kau sendiri, Arjuna. Lalu dari Dewi Madrim lahirlah dua adikmu yang kembar: Nakula dan Sadewa.”
“Namun tak lama kemudian ayahmu meninggal, disusul oleh Dewi Madrim. Tinggal Dewi Kunti mengasuh engkau dan saudara-saudaramu.”
Arjuna nampaknya senang dan sangat menikmati kisah nostalgia tersebut. “Ya. Aku masih ingat,saat itu aku masih kecil, kami pindah ke istana Hastinapura. Kami tumbuh bersama para Kurawa di lingkungan istana. Namun aku merasa suasana sangat tak nyaman, karena Kurawa Nampak sekali tak ramah menyambut kami. Mungkin karena mereka tahu bahwa kelak yang menjadi raja di Hastina adalah kak Yudhistiramenggantikan ayah mereka.”
“Setelah beranjak dewasa, kak Yudhistira resmi diangkat menjadi raja Hastinapura menggantikan paman Destarata. Duryudana, sulung Kurawa, Nampak jelas tak senang. Nampak sekali ia ingin menjadi raja.”
Kresna mengangguk sambil tersenyum. Ia kini yakin telah berhasil memasuki hati Arjuna. Ia pun melanjutkan,” ya,..ya… dan sayang Yudhistira tak lama menjadi raja…”
“Ketika Pandawa berlibur di suatu pondok, terjadilah kebakaran hebat atas pondok itu. Kemungkinan direkayasa oleh Kurawa, namun hal itu tak pernah terbukti. Kalian semua disangka tewas. Hingga akhirnya Duryudana segera dinobatkan sebagai raja menggantikan Yudhistira.”
“Kalian selamat dari tragedi kebakaran itu. Namun ternyata gelagatnya pihak Kurawa tak ingin menyerahkan kembali tahta Hastina. Duryudana pun Nampak tak mau turun tahta. Demi menghindari perang saudara, Pandawa memilih mengalah dengan membuka hutan Kandhawa untuk mendirikan kerajaan bari: Indraprasta.”
“Kembali Yudhistira jadi raja. Jelas bukan? Bahwa kalian, para Pandawa sudah dirampas haknya dan sudah pernah bersikap mengalah. Kalian sudah pernah mengalah ketika hak kalian diambil!”
“Ya…,” Arjuna menjawab lirih. Seakan hatinya sendu mengenang masa lalu, Arjuna melanjutkan,” Waktu terus berjalan,… walau kerajaan kecil ternyata Indraprasta sangat makmur. Rakyatnya hidup damai sejahtera.”
“Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama, karena kembali terjadi ‘bencana’. Kak Yudhistira bersedia menerima tantangan para Kurawa untuk bermain judi,…mulai dari mempertaruhkan barang-barang kecil, hingga akhirnya mempertaruhkan kerajaan masing-masing.”
“Sungguh celaka! Kak Yudhistira tega mempertaruhkan semuanya. Ia mata gelap. Dan yang terjadi selanjutnya adalah …ludes semua. Habis! Indraprasta jatuh ke tangan Kurawa. Para Pandawa jadi budak Kurawa. Untunglah pada penasihat Hastinba, seperti Eyang Bisma dan Paman Widura, dapat memperjuangkan nasib kami. Hingga terjadi kesepakatan bahwa kami hanya harus diasingkan di hutan selama 12 tahun dan ditambah satu tahun lagi hidup dalam penyamaran. Setelah itu, barulah kami boleh memperoleh kembali Indraprasta.”
“Ya,” Kresna kemudian menimpali. “Selanjutnya Indraprasta benar-benar dicaplok Hastina, kerajaan yang dibangun dengan susah payah oleh Pandawa, dikuasai Duryudana. Kurawa hidup bermewah-mewah. Hingga 13 tahun berlalu, masa pengasingan Pandawa usai sudah.”
“Namun ternyata Kurawa tak bersedia mengembalikan Indraprasta kepada kalian. Kurawa ingkar janji. Sadarilah Arjuna, jhakmu dan hak Pandawa kembali dirampas secara semena-mena. Tidakkah kau rasakan ini sebagai kejahatan besar?” Kresna bertanya dengan nada menekan.
Arjuna untuk sesaat tertegun. Alur dan isi obrolan Kresna seakan mempunyai daya magis. Ia yang tadinya benar-benar tak mau angkat senjata kini menjadi bimbang dan ragu. “Aku…bingung kak Kresna. Pikiranku gelap,..kacau. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nilai kehidupan benar-salah menjadi tidak pasti lagi bagiku.” –hs