Surabayastory.com – Kita hidup di zaman yang mengagungkan popularitas. Namun budaya populer (popular culture) yang kurang banyak digali dan didalami oleh ahli sosial maupun humanis di zaman ini, membuat pergerakan budaya populer tak tercatat secara rinci. Sangat berbeda dengan masa 1970-an ketika banyak penelitian lahir dalam halaman-halaman Journal of Popular Culture. Kala itu telah terjadi kebangkitan kembali terhadap minat riset ilmu-sosial dalam media massa, terutama pada sajian berita dan hiburan televisi. Satu alasan dari kurangnya minat dalam budaya populer adalah bias anti-komersial yang digunakan dalam memandang budaya. Mereka menganggap budaya itu pantas diperhatikan apabila tercipta tanpa landasan komersial.
Keadaan krisis ekonomi, politik, dan rasial, ketiadaan minat ilmiah dalam budaya populer dapat juga disebabkan oleh tidak adanya hal yang dianggap penting.Orang menjalani dan menikmati budaya populer tanpa pernah melihat dengan jarak yang bisa merefleksikan.
Tema yang ketiga—dan jauh lebih serius—dari kritik budaya massa menuduh budaya populer mengakibatkan efek yang berbahaya terhadap orang-orang yang menggunakannya. Sejumlah efek spesifik telah didalilkan: bahwa budaya populer destruktif secara emosional karena memberikan kepuasan palsu dan bersifat brutal dalam penekanannya terhadap kekerasan dan seks; bahwa budaya populer destruktif secara intelektual karena menawarkan isi yang memikat namun vulgar dan penuh mimpi yang merintangi kemampuan orang untuk berhadapan dengan kenyataan; dan bahwa budaya populer destruktif secara budaya, merusak kemampuan orang untuk mengambil bagian dalam budaya tinggi. Misalnya, MacDonald menggambarkan budaya populer sebagai “budaya yang rendah nilainya dan tak berguna yang menghilangkan kenyataan yang sesungguhnya (seks, kematian, kegagalan, tragedi) dan juga kesenangan-kesenangan spontan yang sederhana…. Massa, yang dirusak selama beberapa generasi oleh hal-hal seperti ini, pada akhirnya menginginkan produk-produk budaya yang tak berguna dan nyaman.” Van den Haag mengatakan hal yang sama:
Semua media massa pada akhirnya mengasingkan orang-orang dari pengalaman pribadi dan meskipun nampaknya telah mengimbanginya, media massa menambah isolasi moral mereka satu sama lain, dari kenyataaan dan dari diri mereka sendiri. Seseorang akan berpaling kepada media massa ketika kesepian atau bosan. Tetapi media massa, sekali menjadi kebiasaan, akan merusak kemampuan bagi pengalaman yang berarti…. Kebiasaan memberi daya pada dirinya sendiri, membentuk lingkaran setan seperti halnya kecanduan…. Bahkan pengalaman yang paling mendalam, apabila diucapkan terlalu sering pada tingkatan yang sama (oleh media massa), menurun kadarnya menjadi sebuah klise…. Media massa mengurangi kemampuan orang untuk mengalami kehidupan itu sendiri.
Tuduhan mengenai efek berbahaya ini berdasarkan tiga asumsi: bahwa perilaku di mana budaya populer harus bertanggung jawab benar-benar ada dan menyebar luas; bahwa isi budaya populer terdiri dari model perilaku seperti ini; dan bahwa karenanya itu memiliki efek negatif. Asumsi-asumsi ini tidak didukung oleh data yang ada.
Yang pertama, tidak ada bukti bahwa sejumlah besar orang Amerika yang terekspos oleh budaya populer dapat digambarkan sebagai mengasingkan diri, pemakai narkotika, brutal, pemimpi, atau tidak mampu menghadapi kenyataan. Penggambaran ini sukar untuk dijabarkan ke dalam ukuran-ukuran empiris, sehingga penggambaran itu dapat mudah menjadi pembicaraan orang, tetapi gambaran keseluruhan yang dapat dikumpulkan dari riset sosiologi, terutama penelitian-penelitian komunitas, adalah bahwa kebanyakan orang tidak mengasingkan diri, melainkan anggota dari keluarga, teman-teman, dan kelompok sosial, dan bahwa, dalam kelompok-kelompok ini, mereka cenderung bermoral, baik, pragmatis, dan kadang-kadang sangat mementingkan orang lain. Namun, dalam situasi penuh stres, dan ketika menghadapi orang luar yang memang atau dianggap mengancam, mereka bisa sangat tidak berperasaan dan bahkan brutal. Penelitian-penelitian mengenai kaum miskin menduga bahwa di antara yang sangat miskin, beberapa (namun tidak semua) terpisah secara sosial, depresi, dan bahkan menggunakan narkotika, dan yang mengidap penyakit dapat menjadi pemimpi atau bersikap brutal, dan mundur ke dalam kecanduan atau penyakit mental yang serius daripada menghadapi kenyataan. Juga ada beberapa bukti bahwa kaum miskin menggunakan media massa lebih banyak dan lebih intens daripada yang lainnya dan mereka lebih mempercayainya, tetapi penelitian mengenai penyebab penyakit mental menduga dengan cukup tegas bahkan stres yang terus-menerus, krisis, dan rasa tidak aman yang menyertai kemiskinan adalah penyebabnya. Lebih jauh lagi, orang-orang miskin telah menjadi korban dari patologi dalam tingkat yang tinggi selama berabad-abad, lama sebelum budaya populer ditemukan, dan tentu, selama waktu seni rakyat yang diramaikan oleh kritik tumbuh subur.
Kenyataan bahwa kebanyakan orang Amerika dan bahkan kebanyakan orang miskin tidak berperilaku seperti yang dikatakan oleh para kritikus dapat digunakan untuk tidak membenarkan pendapat mengenai efek berbahaya dari permulaan, tetapi tidak diragukan bahwa isi dari budaya populer memiliki beberapa sifat yang dinyatakan oleh kritik-kritik ini. Akibatnya, seseorang harus memutuskan efek dari isi tersebut. Namun, bukti dari sebuah generasi penelitian mengenai efek dari berbagai media massa menduga bahwa media tidak memiliki pengaruh kuat Pavlovian yang dihubungkan dengannya, dan bahwa kritik mengenai dugaan efek dari isi adalah tidak valid. Lebih tepat bahwa isi media adalah satu dari banyak perangsang yang dipilih oleh orang-orang dan direspons oleh mereka dengan sejumlah cara—dan, ternyata, perangsang itu membantu untuk menciptakan melalui umpan balik yang digunakan terhadap media massa pada mulanya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa orang memilih isi media yang cocok dengan permintaan individual dan kelompok, dan bukannya menyesuaikan kehidupan mereka dengan apa yang media tentukan atau muliakan. Mereka bukanlah para individu yang terasing yang begitu mendambakan dan karenanya menerima secara membabi-buta apa yang media tawarkan kepada mereka, tetapi keluarga, pasangan, dan kelompok pertemanan yang menggunakan media ketika dan jika isinya relevan dengan tujuan dan kebutuhan kelompok. Maka audiens tidak dapat dianggap sebagai massa.
Lebih jauh lagi, orang memberikan lebih sedikit perhatian kepada media dan sangat sedikit tergerak oleh isinya daripada yang dipercaya oleh para kritikus, yang sangat sensitif terhadap materi simbolik verbal dan yang lainnya. Mereka menggunakan media untuk hiburan dan tidak akan berpikir untuk menerapkan isinya terhadap kehidupan mereka sendiri. Bahkan para remaja yang merupakan penggemar setia dari para pesohor remaja tidak memodelkan diri mereka sendiri atau mendasarkan pilihan mereka terhadap pacar atau pasangan kepada para pesohor ini, meskipun perwakilan pers menyatakan demikian. Akhirnya, pilihan isi dipengaruhi oleh persepsi selektif, sehingga orang sering memilih isi yang sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri dan menjabarkan isi yang mengandung konflik sedemikian rupa sehingga mendukung nilai-nilai ini. Maka efek utama dari media adalah untuk memperkuat perilaku dan sikap yang sudah ada, dan bukan menciptakan yang baru.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, kebanyakan penelitian mengenai efek telah mengkhawatirkan pengaruh kuat dari kekerasan di televisi, terutama terhadap anak-anak. Sementara tinjauan tahun 1969 mengenai bukti-bukti yang tersedia oleh staf dari Komisi Nasional terhadap Sebab dan Pencegahan Kekerasan berkesimpulan bahwa televisi memperkuat dan mensahkan kekerasan, tinjauan itu ragu-ragu untuk menyimpulkan bahwa televisi mempunyai efek kausal yang langsung dan signifikan; di lain pihak, laporan tahun 1972 dari Komite Penasihat Dinas Kesehatan, berdasarkan penelitian yang dilakukannya, menyimpulkan bahwa mungkin ada korelasi antara menonton televisi dan perilaku agresif.
Meskipun demikian, pembacaan yang saya lakukan mengenai penelitian yang ada menyimpulkan bahwa media mendorong perilaku dan tindakan kekerasan hanya untuk sementara orang pada sementara waktu. Tentu saja, penelitian laboratorium sudah lama menunjukkan bahwa film-film kekerasan merangsang impuls dan aksi agresif di antara subjek yang merupakan para pemuda segera setelahnya, tetapi tidak seorang pun dapat menunjukkan dengan meyakinkan bahwa efek jangka panjang bertahan. Penelitian di luar laboratorium telah menemukan beberapa korelasi antara kekerasan dalam televisi dan perilaku agresif, tetapi tidak ada yang mampu menunjukkan bahwa televisi adalah penyebabnya. Karena agresi dalam hidup nyata biasanya merupakan akibat dari konflik kelompok yang sering muncul secara spontan, dan tidak mesti bahwa anak-anak telah menonton televisi tepat sebelum konflik tersebut, sangat sukar untuk membayangkan apakah televisi telah menyebabkannya atau apakah itu telah membentuk ekspresi agresif dari konflik.
Televisi dan media lain pasti tidak memainkan peran luas dalam kehidupan kebanyakan anak-anak; aksi dan perilaku yang mereka pelajari dari orang tua dan teman-teman jauh lebih penting. Anak yang “terkucil” mungkin mengambil jalan agresi sebagian karena mereka tidak menjadi anggota suatu kelompok dan karena mereka menemukan pengganti yang memuaskan dalam fiksi media dan sumber fantasi lainnya, dan ada beberapa bukti bahwa anak-anak dan orang dewasa yang terganggu secara emosional dipengaruhi oleh kekerasan pada media, seperti orang-orang yang cenderung untuk memerankan kekerasan.
Apabila media memiliki efek yang signifikan terhadap perilaku agresif seperti yang dituduhkan oleh para kritikus dan beberapa penelitian, gelombang kekerasan yang terus meningkat seharusnya menampakkan dirinya sendiri di Amerika sejak kemunculan media massa, namun penelitian historis menunjukkan bahwa kejahatan kekerasan telah menurun dalam periode ini. Sebagai tambahan, remaja perempuan dan kelompok tidak miskin seharusnya mudah dipengaruhi oleh kekerasan seperti halnya remaja laki-laki dan kelompok miskin, karena mereka menonton sajian media yang sama dalam jumlah yang kira-kira sama, namun penelitian mengenai efek menunjukkan secara konsisten bahwa remaja perempuan tidak bereaksi secara agresif setelah menonton kekerasan dalam media, dan laporan polisi terus mengindikasikan bahwa kekerasan jauh lebih banyak di antara laki-laki dan kelompok miskin. Lebih jauh lagi, kemiskinan memelihara kekerasan bahkan sebelum media massa ditemukan. Jadi, sepertinya kita harus hati-hati untuk menggunakan hipotesa bahwa kekerasan pada media memiliki pengaruh kuat yang utama terhadap anak laki-laki dan laki-laki dewasa berpendapatan rendah, tetapi sebab utama dari pengaruh kuat itu harus ditemukan dalam kondisi kehidupan mereka, di mana kekerasan adalah hal yang lumrah, dan bukan dalam media.
Amerika dalam banyak cara adalah sebuah masyarakat yang penuh kekerasan, mengizinkan semua jenis kekerasan terhadap orang asing, minoritas, dan orang yang menyimpang, yang seharusnya direfleksikan dan dipublikasikan oleh sajian media yang faktual maupun fiksional. Tetapi sebab utama dari kekerasan itu adalah ketidakadilan pada masyarakat Amerika, yang diperburuk oleh heterogenitas populasi, menciptakan konflik sosial, dan ini pada gilirannya sering diatasi dengan penggunaan kekuatan di sisi partisipan dalam konflik—dan oleh polisi. Akibatnya, bahkan apabila seluruh media setuju untuk melarang seluruh sajian kekerasan, saya ragu bahwa tingkat kekerasan akan menurun secara signifikan.
Kesimpulan yang sama dapat diperoleh mengenai efek media terhadap perilaku seksual. Memang benar film erotis akan membangkitkan orang secara seksual untuk sementara waktu, tetapi ini mungkin bermanfaat dan pasti tidak berbahaya, karena itu tidak mengakibatkan serangan seksual. Penelitian yang dilakukan untuk Komisi terhadap Kecabulan dan Pornografi menunjukkan sekali lagi bahwa tidak ada efek jangka panjang, berbahaya atau bermanfaat, yang mengikuti dari penggunaan erotika, dan orang Denmark mendapati bahwa mengakhiri hukum yang melawan pornografi tidak mengakibatkan peningkatan dalam kejahatan seksual. Sebenarnya, apabila media memiliki pengaruh kuat yang signifikan terhadap norma-norma seksual, kebebasan dalam perilaku dan tindakan seksual sekarang ini tidak bisa terjadi, karena media sampai baru-baru ini sangat Puritan, ketinggalan jauh di belakang perubahan perilaku di antara audiens muda karena takut akan mengasingkan audiens yang lebih tua. Apabila audiens media mempraktikkan apa yang media khotbahkan, standar ganda akan tetap kuat, remaja putri akan menjadi penggoda yang perawan, dan perzinahan hanya akan ditemui di daerah pinggiran.
Pengamatan mengenai kekerasan dan seks dalam media diaplikasikan juga kepada elemen-elemen lain yang dikritik dalam budaya populer. Melalui banyak ukuran objektif, budaya populer banyak menampilkan akhir yang bahagia, para pahlawan dengan moral luar biasa dan sifat-sifat baik lainnya, dan memberi pemecahan terhadap masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan, dan sebagainya. Namun, pengukuran objektif dari isi tidak mengukur arti yang diberikan audiens kepada yang mereka lihat atau baca, dan arti ini sering berbeda dari yang menjadi perhatian para kritikus. Juga tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa isi seperti itu mengakibatkan efek-efek yang tidak dikehendaki. Misalnya, van den Haag berargumentasi bahwa media menawarkan “kepuasan pengganti”, tetapi hanya sedikit orang yang sepertinya menggunakan media untuk memecahkan masalah, atau fiksi media untuk menggambarkan atau menjelaskan kenyataan, jadi mereka tidak mengambil isi media dengan begitu saja. Mereka menggunakan media untuk menyediakan istirahat sementara dari kehidupan sehari-hari, dan fantasi memenuhi tujuan ini lebih baik daripada realisme.
Namun, sejumlah besar anak-anak dan orang dewasa tidak mampu membuat pembedaan krusial antara yang-seolah-olah-benar dalam budaya populer dan kenyataan dari kehidupan mereka sendiri, meskipun sebuah penelitian Freidson yang jarang dikutip menyatakan bahwa anak-anak terlatih dalam apa yang disebutnya “diskon dewasa” sebelum mereka berusia sepuluh tahun. Sejumlah besar anak-anak dan orang dewasa juga terperangkap oleh penggelembungan dan pelebih-lebihan dari iklan, dan harus dilindungi dari itu; tetapi bagian yang menarik dari iklan adalah bahwa orang-orang menginginkan barang-barang yang ditawarkan dan sama sekali tidak pasti bahwa iklan sendiri yang menimbulkan keinginan itu. Juga tidak salah bahwa orang menginginkan benda-benda yang berguna atau memberi kesenangan. Lebih jauh lagi, penelitian mengenai pengaruh kuat periklanan dan keluhan dari para eksekutif periklanan menyimpulkan bahwa kebanyakan orang hanya sedikit menyimpan isi iklan yang mereka lihat dan salah menafsirkan banyak dari pesannya. Iklan yang berhasil menghasilkan peningkatan tajam dalam kurva penjualan, tetapi sering ini merefleksikan perilaku dari hanya beberapa ratus ribu orang, dan tak seorang pun tahu pengaruh kuat relatif dari iklan dan produk terhadap keputusan untuk membeli. –sa (dari berbagai sumber)