Surabayastory.com – Membaca sejarah awal peradaban Borneo, kita bisa mengikuti perjalanan yang ditulis Alfred Russel Wallace. Dengan membaca karyanya seakan kita diajak bertualang keliling Borneo (sekarang Kalimantan). Mulai berkenalan dengan penduduk setempat, masuk ke pedalaman dan berkenalan dengan suku-suku yang punya cara hidup “menyatu” dengan alam, sampai berkenalan dengan berbagai spesies hewan dan tumbuhan yang sangat kaya di hutan-hutan ini.
Wallace menyajikan karyanya seperti seorang penutur yang bercerita tentang alam sekitarnya. Tanpa harus mengerutkan dahi kita akan membaca Borneo seperti menyimak kisah tentang kepala suku dengan kaluarganya, musim-musim hujan yang selalu basah dan memisahkan satu wilayah dengan wilayah lain lewat sungai-sungai yang “berubah” alirannya, juga kisah sedih tentang anak-anak orang utan yang harus berjuang melawan berbagai penyakit.
Dengan intens dan sangat akrab, Wallace menunjukkan bagaimana sesungguhnya kelestarian sebuah lingkungan hidup saling kait-mengait dengan kisah kehidupan manusia sebagai “tokoh utama” dalam ekosistem tersebut.
Banyak hal yang bisa kita petik dari penuturan dan penelitian Wallace tentang Borneo “masa lalu” yang relatif masih terjaga dan perawan, dibandingkan dengan Borneo masa kini—yang lebih kita kenal sebagai Kalimantan—yang sudah penuh luka akibat penebangan-penebangan hutan yang nyaris tak terkontrol, tambang-tambang batubara yang semena-mena, sampai diterapkannya sistem monokultur dalam perkebunan-perkebunan baru.
Wallace memang tak menunjukkan secara eksplisit apa yang bisa terjadi akibat pengelolaan hutan hujan tropis yang salah kaprah. Namun dia menunjukkan dengan jelas betapa kaya sesungguhnya Borneo dengan keanekaragaman hayati, yang rasa nyatakan tergantikan bisa semua itu hilang ditelan pembabatan hutan dan pertambangan yang kenal tata lingkungan.
Alfred Russel Wallace, sang naturalis berkebangsaan Inggris itu masuk ke pedalaman Borneo antara November 1855 sampai Januari 1856. Bukan perjalanan yang mulus, bahkan lebih mirip petualangan ala Indiana Jones. Seperti yang dikisahkan sendiri oleh Wallace, saat memasuki sebuah perkampungan Suku Dayak.
“Segerombolan anak perempuan yang sedang membawa air dalam wadah-wadah tiba-tiba berteriak kalang kabut begitu melihat saya memasuki kampung,’’ kata Wallace. Wadah air yang mereka bawa langsung dilepas begitu saja. Anak-anak itu berlari sambil berteriak-teriak ketakutan. Begitu tiba di sungai, mereka langsung terjun dan berenang. Mereka ingin betul-betul menjauhi mahkluk yang datang ditemani beberapa warga Dayak lainnya itu.
Para lelaki Dayak yang melihata dengan itu langsung tertawa-tawa. Mereka memang tidak memberitahu anak-anak kalau mereka akan kedatangan tamu orang Eropa. “Mungkin mereka menyangka saya ini seorang mahkluk dari ruang angkasa yang sedang berkunjung ke desa mereka,’’ kata Wallace.
Memang, saat itu, sangat jarang peneliti asing yang berasal dari Eropa melakukan risetnya di Borneo. Bagi para peneliti ini, menjelajahi Borneo seringkali lebih sulit dari pada pergi ke Afrika. Borneo betul-betul masih berupa belantara hutan hujan yang sebagian besar wilayahnya masih tertutup hutan perawan.
Borneo Rumah Hutan Tropis
Hutan hujan tropis (tropical rain forest) memang merupakan rangkaian hutan yang hijau sepanjang tahun. Curah hujan yang tinggi disertai kelembaman udara membuat hutan jenis ini menjadi surga bagi banyak spesies. Wallace, dan banyak peneliti lain yang datang lebih belakangan, nantinya juga akan membuktikan sendiri keanekaragaman hayati yang sangat kaya di hutan ini. Dalam sepetak tanah percobaan, Wallace mengaku bisa menemukan puluhan jenis spesies yang berbeda.
Hanya saja, seperti kesulitan yang tinggi untuk menembus masuk ke hutan hujan tropis ini, begitu juga sebenarnya kesulitan untuk memahami saling ketergantungan ekologis yang ada di ekosistem jenis ini. Saat itu, beberapa peneliti juga sudah menunjukkan adanya sistem perladangan berpindah. Pola-pola tebang dan bakar untuk kemudian dijadikan ladang sudah dilakukan penduduk setempat. Namun, karena berlangsung dalam skala yang sangat kecil, cara ini tidak terlalu menimbulkan gangguan lingkungan yang berarti.
Siapa sebenarnya Alfred Russel Wallace yang membuat cerita (story) yang besar tentang cerita Borneo? Wallace adalah seorang naturalis besar asal Inggris yang hampir seumur hidupnya dihabiskan di Bumi Nusantara ini, terutama di Pulau Kalimantan –dulu disebut Borneo– dan Pulau Celebes (Sulawesi). Dalam karya Wallace tentang Borneo ini, kita seakan diajak untuk berpetualang keliling Borneo dan Celebes, serta berkenalan dengan masyarakat dan alam lingkungan di sekelilingnya.
Sebagai seorang naturalis yang reputasinya sering disetarakan dengan Charles Darwin, Wallace setiap harinya mengumpulkan berbagai spesies yang menjadi ciri khas wilayah Nusantara. Dan di Borneo, spesies yang menjadi favoritnya adalah Orangutan.
Berkat ketekunan dan kerajinannya melakukan penelitian, Wallace akhirnya mampu merangkai sebuah “teori” yang secara bersamaan juga dilakukan Darwin lewat penelitiannya di Galapagos.
Wallace adalah sosok ilmuan yang dikenal sangat santun. Meski sarat dengan pengalaman bertualang dari belantara Nusantara Timur di Ternate sampai barat Sumatera, dalam makalahnya yang oleh beberapa pihak disebut lebih dulu ditulis dari pada karya Darwin, Wallace justru mempersembahkan karyanya itu bagi Darwin.
Wallace menulis sendiri dengan tangan yang betul-betul bergulat dengan belantara, lumpur dan rawa, adalah salah satu karya terpenting tentang alam kita. Karya yang bersama Darwin, The Origin of the Species, tak tergantikan hingga saat ini. –sa