Surabayastory.com – Rumah sejarah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto menyimpan banyak sisi yang menarik untuk digali. Rumah bercat hijau dengan bentuk arsitektur Jawa itu bukan saja rumah tinggal. Di sana ada semangat pergerakan, kebangsaan, nasionalisme.
Kali ini yang akan kita ungkap adalah cerita dan jejak tentang kamar-kamar kos yang ada di sana. Tempat tinggal para pemuda yang tak sekadar rumah kosan. Ada transformasi nilai kebangsaan, kehidupan, dan pergerakan. Dari sana kemudian tumbuh para tokoh yang kemudian ada dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Menilik dari banyak cerita, kamar-kamar kos di rumah Tjokroaminoto terletak di bagian belakang rumah induk. Konon, dari beberapa informasi yang dihimpun surabayastory.com, rumah Pak Tjokro sebenarnya lebih luas dari yang ada sekarang. Dulu, masih ada tanah yang memanjang di belakang rumah. Di atas lahan ini yang kemudian disekat menjadi 10 kamar. Kamar-kamar kecil inilah yang kemudian menjadi kamar kos pemuda pergerakan, seperti Soekarno, Darsono, Semaoen, Alimin, Musso, dan Kartosoewirjo. Mereka kemudian hari memerankan peran masing-masing dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Di bagian paling belakang masih ada kandang kuda. Kuda-kuda itu kadang ikut pacuan kuda. Yang merawat kuda-kuda ini Pak Tjokro dibantu anak-anak yang kos. Namun dari waktu ke waktu, batas tanah menjadi kabur. Ruang-ruang yang dulu ditempati para pemuda sudah tak ada.
Sebenarnya, rumah kos ini dibuka Soeharsikin, isteri Pak Tjokro, untuk membantu menampung keluarga dekatnya. Di anatarnya adalah Supardan (adik Soeharsikin) dan Abikoesno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto). Abikoesno Tjokrosujoso di Surabaya bersekolah di Middelbare Technische School Surabaya, sebuah sekolah menengah teknik. Abikoesno juga dikenal memiliki sikap yang keras dan tegas. Dalam buku Tjokroaminoto disebutkan Abikoesno sering berdebat dengan Soekarno karena berbeda pendapat dan pemikiran selama tinggal di Peneleh.
Selain itu pembukaan rumah kos ini juga dimaksudkan untuk meringankan biaya harian di rumah. Soeharsikin menyadari penuh keadaan yang ada. Sebagai seorang petinggi Sarekat Islam, Tjokroaminoto jarang berada di rumah. Karena itu, Soeharsikin ingin membantu meringankan kebutuhan rumah tangga. Bagaimana caranya? Dengan bekerja tanpa harus meninggalkan rumah, Soeharsikin membuka kos di rumahnya. Rumah di Peneleh gagng VII ini kemudian juga memberikan Pembukaan rumah kost ini juga pekerjaan tambahan bagi Mbok Tambeng, seorang pembantu yang sudah lama bekerja untuk keluarga Tjokroaminoto. Mbok Tambeng turut membantu keluarga Tjokroaminoto dalam mengurusi kebutuhan pemuda-pemuda dalam rumah kos dan kebutuhan anak-anak kandung Tjokroaminoto. Soekarno sangat terbantu dengan keberadaan Mbok Tambeng dalam rumah kost tersebut. Mbok Tambeng yang membantunya menjahit celana dan menyediakan gado-gado sebagai makanan kegemaran Soekarno.
Dari biaya yang dibayarkan para pelajar untuk tinggal di rumahnya, menjadi pendapatan yang mampu meringankan kebutuhan rumah tangga Soeharsikin dan Tjokroaminoto.
Bagian yang paling menarik dalam rumah kos di Peneleh ini adalah adanya transformasi pendidikan informal di dalamnya. Melalui bimbingan Tjokroaminoto, para pemuda penghuni rumah kos di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh berpengaruh di masa-masa awal kemerdekaan. Pola pendidikan yang diberikan Pak Tjokro secara informal kemudian mempengaruhi pemikiran dan aktivitas siswa.
Di rumah Peneleh ini terdapat loteng yang sering dijadikan tempat Soekarno untuk berlatih pidato. Awalnya ia melihat cara Pak Tjokro berpidato dan berusaha menirukannya. Di kamar loteng dengan tangga terjal ini para anak kos juga sering berdiskusi.
Pendidikan yang diterapkan oleh Tjokroaminoto lebih banyak memberi contoh, tentang ketekunan, kesederhanaan, dan ketuhanan. Tjokroaminoto selalu menjunjung setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.
Tjokroaminoto memberi contoh untuk keluar dari zona nyaman yang terlanjur tertanam di benak priyayi-priyayi Jawa yang dibuai politik etis Belanda. Dengan ilmu, mata rakyat akan terbuka dengan kolonialisme dan feodalisme yang menekan bangsa Indonesia.
Semurni-murni tauhid berarti perjuangan itu harus didasari dengan keimanan dan ketakwaan. Namun bagi Tjokroaminoto lebih baik mendulukan memberi makan orang tak mampu. Dan terakhir, sepintar-pintar siasat, adalah untuk mencapai tujuan dibutuhkan cara. Perlu organisasi strategis. Pak Tjokro tetap setia dengan cita-citanya.
Rumah kos Tjokroaminoto bukan sekadar rumah tinggal. Di sini ada jiwa, kawah candradimuka para pemuda Indonesia untuk menatap masa depan dirinya dan bangsanya. –sa