Manusia Jawa hadir dan mewarnai keindahan semesta alam. Ada tata dan etika yang membuat Jawa tetap ada dan beradab.
Surabayastory.com – Pemahaman terhadap Jawa diawali dari asal-usul Pulau Jawa, manusia Jawa, berikut kehidupan kebatinannya. Kehidupan sehari-hari orang Jawa bukan hanya diwarnai simbolisme dan ‘ritual’ tertentu, melainkan juga sangat sarat akan tata krama dan sopan-santun. Luas dikenal sejak dulu bahwa orang Jawa selalu menandai dirinya dengan keunggulan budi pekerti dan sopan santun. Tata krama merupakan persyaratan penting yang senantiasa dikedepankan untuk menjelaskan eksistensi orang Jawa. Selain menjadi hal utama, tata krama juga melekat pada diri orang Jawa sehingga menjadi penanda identitas dan sikap budaya mereka di antara budaya suku bangsa lainnya.
Tata krama terdiri atas ‘tata’ dan ‘krama’. ‘Tata’ berarti adat, aturan, norma, peraturan. ‘Krama’ berarti sopan-santun, kelakuan, tindakan, perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti aturan bertindak dan bersopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia setempat.
Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta, menjelaskan ‘sopan’ adalah hormat dan takzim (akan, kepada) atau tertib menurut adat yang baik. ‘Santun’ adalah halus dan baik bahasanya, baik tingkah lakunya atau sabar dan tenang. Sopan santun adalah penghormatan melalui sikap, perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata krama, peradaban, dan kesusilaan.
Etiket dan tata krama identik dengan unggah-ungguh (subasita, Jw). Franz Magnis Suseno menjelaskan, unggah-ungguh adalah cara bicara dan membawa diri yang selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras, yang diakui warganya dengan menempatkan diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial.
Ekspresi tata krama itu dapat dicontohkan saat orang Jawa menyapa orang lain dengan menggunakan bahasa keluarga atau krama yang merupakan bentuk sikap hormat, dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban. Sedangkan krama inggil lazim digunakan sebagai ungkapan sikap hormat tertinggi kepada orang-orang yang dihormati.
—————————————————————————————————————————————–
Dua Prinsip Dasar
Tatanan bahasa krama berfungsi mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan (gesture), urutan duduk, isi maupun bentuk pembicaraan. Tata krama merupakan sarana mempermulus pergaulan dan mencegah timbulnya konflik.
Tata krama yang bersifat hirarkis itu merupakan warisan Kerajaan Hindu-Budha sebelum kedatangan penjajah dan kemudian dilanjutkan selama masa berkuasanya kolonial di Indonesia. Tata krama tak sekadar hiasan dalam budaya Jawa, tapi sebuah sarana fungsional yang efektif bagi raja untuk mengontrol pejabat-pejabatnya.
Ada dua prinsip dasar yang melandasi etika dan tata krama di kalangan orang Jawa. Hildred Geertz mengungkapkan prinsip dasar pertama adalah manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut sebagai prinsip kerukunan, sedangkan kaidah kedua merupakan prinsip hormat.
Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis atau rukun. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial dalam keluarga, dalam rukun tetangga, hubungan di desa, dan dalam setiap pengelompokan. Tujuan bersikap rukun adalah menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial tetap selaras dan baik.
Terdapat dua segi dalam tuntutan kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Maksudnya adalah masyarakat Jawa tidak berusaha menciptakan sebuah keselarasan sosial, melainkan berusaha tidak merusak keselarasan yang telah tercipta dengan sendirinya. Yang penting keselarasan sosial tetap terjaga.
Kaidah kedua yang memainkan peranan dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip ini mengharuskan setiap orang saat bicara maupun bersikap, harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Hubungan dalam masyarakat diatur secara hirarkis. Yang berkedudukan lebih tinggi diberi hormat, sebaliknya yang berkedudukan lebih rendah wajib diperlakukan dengan sikap kebapakan/keibuan.
Bahasa Jawa mengharuskan orang Jawa mengukur kedudukan sosial lawan bicaranya. Penggunaan strata bahasa jawa krama atau ngoko memperjelas status atau kedudukan seseorang dengan orang lain. Bahkan dengan kerabat sendiri pun, unggah-ungguh berbahasa ini dipegang teguh. Inilah buah pendidikan keluarga Jawa yang menekankan pada tiga hal yaitu ’wedi, isin, dan sungkan’.
Wedi atau takut merupakan reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut akibat kurang enak terhadap suatu tindakan. Anak akan wedi terhadap orang yang dihormati, lebih tua, atau orang asing. Rasa takut menimbulkan respek atau rasa hormat pada orang lain.
Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan. Orang Jawa akan merasa isin apabila tidak menunjukkan rasa hormatnya pada orang yang lebih tua atau yang pantas untuk dihormati. Sedangkan sungkan hampir sama dengan isin. Sungkan adalah malu dalam arti yang positif. Berbeda dengan rasa isin, perasaan sungkan bukanlah rasa yang hendaknya dicegah. Hildred Geertz menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain.
Pembatinan perasaan-perasaan itu adalah tanda kepribadian yang matang. Mengerti isin, sungkan, wedi, serta faham bagaimana perasaan itu cocok berarti seorang telah mencapai cita-cita menjadi orang Jawa. Tahu bagaimana membawa diri, sehat dan matang, pendek kata menjadi Jawa sepenuhnya. –tks