Susu punya cerita panjang yang jarang kita baca. Ini lho sejarah dan jejaknya di masa lalu hingga berkembang sekarang dengan banyak varian.
Surabayastory.com – Susu merupakan jenis makanan yang sangat dikenal di seluruh dunia dan pemanfaatannya sudah dimulai sejak jaman kuno. Susu menghidupi sejak kita masih bayi. Susu yang berasal dari induk merupakan makanan terbaik. Dalam sejarah peradaban manusia, pelan-pelan terjadi perubahan ketika dimulainya pemanfaatan susu hewan menjadi konsumsi manusia. Kontroversi menyertai kehadiran susu yang tampaknya kian berperan besar dalam proses pertumbuhan manusia. Padahal secara alamiah susu diperuntukkan hanya bagi bayi mamalia hingga si bayi bisa mencerna makanannya sendiri.
Sebenarnya hanya sedikit populasi dunia yang rutin minum susu, sebagian besar lebih menyukai produk turunannya seperti mentega, keju dan yogurt. Di sisi lain, susu hewan boleh jadi merupakan salah satu jenis minuman kontroversial. Kandungan nutrisi sekaligus bahaya yang dimiliknya membuat susu memiliki dua sisi: dianggap sebagai ‘racun putih’ sekaligus sebagai ‘ramuan putih’. Situasi ini timbul karena efek samping dari kepopoleran, di mana tidak semua orang memiliki akses kepada hewan penghasil susu, akibatnya susu harus dikemas dan diangkut lewat perjalanan jauh. Pengaruh proses pengemasan dan pengangkutan terhadap kualitas susu pun menuai sejumlah kritik.
Maka, banyak pertanyaan di seputar susu sekarang: apakah susu hewan menimbulkan manfaat atau justru merugikan manusia? Apakah susu hanya boleh dikonsumsi sesekali atau menjadi sumber gizi setiap hari? Apakah susu bisa dimasukkan ke dalam kelompok makanan, minuman atau penyembuh? Apakah susu yang telah diproses sekarang ini juga dikenal oleh leluhur kita? Apakah menuangkan susu enaknya sebelum atau sudah menyeduh teh? Tidak ada jawaban yang jernih atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, persisi sama sebagaimana warna susu itu sendiri.
Di luar kontroversinya, bagi sebagian besar pembaca susu mungkin memiliki kenangan tersendiri teruatama saat kita kecil. Kita masih ingat setiap pagi disuruh minum susu meskipun tidak menyukainya, atau selalu menunggu waktu minum susu tiba karena suka denganr rasanya yang gurih dan lembut. Kita mungkin ingat denting bel sepeda abang pengantar susu, atau kotak susu yang bergambar kartun sapi dan padang rumput. Kita barangkali ingat susu kesukaan kita entah rasa coklat, vanilla atau strawberi, atau susu dingin di kulkas yang menjadi pengobat haus sepulang dari sekolah.
Susu sering digambarkan sebagai sumber makanan penyempurna (ingat slogan 4 sehat 5 sempurna), susu sebenarnya merupakan asupan dasar pembentuk kehidupan bagi anak mamalia yang baru lahir. Bewujud cairan keruh keputihan, susu dibentuk dan disimpan dalam kantung susu mamalia betina, dan dikeluarkan dari sebuah ‘tabung’ berlubang mencuat yang dinamakan puting. Tujuan pemberian susu oleh induknya adalah untuk memberikan satu-satunya asupan makanan bagi bayi yang baru lahir. Susu merupakan makanan pertama bagi mamalia, menyediakan semua kandungan gizi untuk kehidupan dan pertumbuhan hingga saatnya anak disapih.
Sebuah kepercayaan abad kuno menyebutkan bahwa darah menstruasi yang tertahan selama kehamilan dipercaya menjadi sumber makanan bagi janin, ketika bayi lahir darah itu berubah menjadi susu, sehingga mereka meyakini susu merupakan darah yang diproses melalui dua kali pemrosesan. Yang benar, susu adalah hasil pengolahan di dalam tubuh induk yang berasal dari asupan makanan sang induk, diserap dari darah ketika melewati jaringan kantung susu.
Komposisi Susu
Kandungan susu paling banyak adalah air (lebih dari 85%); sisanya terdiri dari lemak susu, gula susu (terutama laktosa) sebagai sumber energi, protein (terutama kasein) sebagai sumber asam amino serta sejumlah vitamin dan mineral. Kandungan nutrisi tidak terlarut dalam susu memiliki kadar berbeda-beda tergantung pada jenis hewan, juga dipengaruhi oleh asupan makan, kondisi emosi dan fase laktasi induk.
Filsuf Romawi bernama Pliny dalam tulisan berjudul The Natural History (77 SM), menyebutkan susu bahwa : “setiap jenis susu terasa lebih encer di musim semi dibandingkan di musim panas, penyebabnya karena hewan-hewan merumput di padang-padang yang rerumputannya baru tumbuh”. Dalam catatan harian Samuel Pepys yang terkenal, ia menceritakan kisah Dr Cayus, yang sudah sangat tua dan hanya minum susu langsung dari payudara perempuan. Akibatnya jika minum dari perempuan yang sedang marah, ia pun merasakan kemarahan. Sebaliknya jika menyusu pada perempuan penyabar, ia pun tertular jadi seorang penyabar, di luar kelaziman sesuai umurnya.
Rasa susu beraneka macam sesuai dengan jenis hewan dan pakan. Aroma dan rasa dipengaruhi oleh pakan, demikian juga produk turunannya. Contohnya keju Cheshire yang terkenal bercita rasa asin karena sapi di daerah itu merumput di padang-padang yang tanahnya asin antara daerah Northwich dan Middlewich. Dalam susu juga bisa terdapat kandungan herbal dari tanaman yang dimakan hewan, bisa bersifat menyembuhkan atau malah beracun. Jika tanaman yang dimakan memiliki kadar racun, akibatnya bisa fatal bagi manusia.
Pada awal periode laktasi, sesaat setelah kelahiran anak, susu pertama yang dikeluarkan dari putng induk dinamakan kolostrum. Kolostrum dikenal sebagai susu pertama dan memiliki kandungan gizi terbaik bagi bayi. Kolostrum ini berwarna kuning kemerahan, kental dan lengket, memiliki kandungan energi tinggi, mengandung protein dan antibodi serta rendah kadar lemaknya. Kadar makanan berkonsentrasi tinggi ini sangat diperlukan oleh bayi baru lahir, selain itu susu memiliki anti imun yang mampu menangkal bibit penyakit. Setelah beberapa hari diproduksi, susu pun mulai encer serta berwarna lebih cerah. Susu yang matang ini akan terus bertambah jumlahnya hingga mencapai puncak produksi. Waktu puncak ini tergantung kepada jenis hewan. Produksi susu pun pelan-pelan akan berkurang seiring si anak mulai memasuki masa penyapihan dan siap memamah makanan yang lebih berat.
Mengapa Susu Hewan
Manusia merupakan satu-satunya mamalia yang tetap minum susu setelah masa penyapihan. Mengapa hal ini jadi pertanyaan? Salah satu alasannya adalah karena susu bisa diperoleh oleh leluhur kita. Domestikasi hewan seperti kambing, domba, sapi, kerbau, rusa, unta, kuda dan biri-biri membuat leluhur kita bisa memanfaatkan produksi susu hewan-hewan tersebut. Suplai yang sebenarnya tidaklah melimpah tersebut telah menemani manusia melewati peradaban dengan sejumlah keuntungan: memberikan asupan makanan dan air di daerah kering seperti Afrika dan Timur Tengah, menyediakan tambahan gizi bagi penduduk yang kekurangan makanan berbahan karbohidrat, sebagai sumber vitamin D jika sedang musim dingin di negara-negara empat musim, serta bebas dari parasit tidak seperti air yang rentan terkontaminasi. Memerah susu hewan peliharaan juga merupakan salah satu cara yang efisien untuk mengubah protein nabati menjadi protein hewani daripada harus menyembelih hewan untuk memperoleh dagingnya.
Namun tidak semua susu hewan peliharaan bisa dikonsumsi manusia. Susu babi, misalnya, seperti cerita Pliny yang menyebutkan meskipun berguna untuk menyembuhkan tenesmus atau anyang-anyangan, disentri dan kembung, namun konsumsi susu bagi tidak menjadi kebiasaan manusia. Babi dianggap sebagai hewan yang suka sembarangan makan dan jorok oleh sebagian besar manusia. Untuk memerah babi juga sulit karena jumlah putingnya yang mencapai jumlah 14, serta hanya mengeluarkan susunya sekitar 10 hingga 30 detik, bandingkan sekitar dua sampai 5 menit pada sapi. Tentu saja menjadi sulit untuk melakukan industrialisasi susu babi. Bagaimana dengan susu mamalia lain seperti kucing, tikus dan anjing? Alasan jijik dan produksi yang sedikit mungkin menjadi pertimbangan utama yang menghalangi manusia mengonsumsi susu hewan-hewan tersebut.
Memerah Hewan
Kegiatan memerah susu merupakan salah loncatan peradaban dalam sejarah manusia. Pada awalnya, tujuan domestikasi hewan seperti kambing, domba dan sapi adalah untuk memenuhi kebutuhan daging, kulit dan tanduk. Domestikasi hewan terjadi pada tahun 9000 hingga 7000 SM di daerah Irak. Secara perlahan, hewan peliharaan pun mulai diekspoitasi untuk mengambil manfaat lain misalnya susu, bulu dan untuk menarik bajak atau roda. Pemanfaatan sekunder itu mulai dilakukan sejak era lima milenium sebelum Masehi. Bukti-bukti tentang pemerahan susu di masa awal ditemukan oleh para arkeologis dari penelitian struktur tulang binatang. Tulang hewan betina menunjukkan umur yang lebih tua dibanding usia penyembelihan, menunjukkan bahwa hewan tersebut dibiarkan hidup lebih lama untuk diambil manfaat lainnya, misalnya diperah susunya.
Selain itu, pemetaan lewan penanggalan radio karbon pada residu susu dalam pecahan keramik menunjukkan bahwa pemerahan susu mungkin sudah dilakukan lebih awal, yaitu sejak tujuh milenium sebelum Masehi. Proses pemerahan susu dilakukan umumnya di daerah Anatolia, sekarang bagian dari negara Turki. Di daerah tersebut, jumlah sapi lebih banyak dibandingkan kambing dan domba karena menghasilkan susu yang bisa memenuhi kebutuhan populasi besar.
Peninggalan arkeologis lain terdapat pada seni lukis batuan di gua daerah Gurun Sahara yang masuk ke wilayah Libya. Lukisan berangka tahun 5000 SM itu menggambarkan domestikasi sapi dan domba sebagai hewan gembala yang diperah susunya. Tulang-tulang yang menunjukkan pemerahan kuda juga ditemukan di wilayah Kazakhstan, Asia Tengah berangka tahun 3500 – 3100 SM. Gambar lain terdapat pada kulit silinder dari wilayah Mesopotamia yang menampilkan sapi sedang diperah sedang anak-anak sapi hanya memandangi. Lukisan itu berangka tahun 2000 SM.
Metode Awal Susu
Pertama kali melakukan proses pemerahan susu, manusia memiliki kendala untuk mengambil susu dari puting hewan yang akan diperah. Menjauhkan anak-anaknya dari sang induk ketika akan diperah, tidak mudah untuk dilakukan karena si induk akan enggan mengeluarkan cairan susunya. Pengeluaran susu ini terkait erat dengan proses psikologis secara bawah sadar. Susu dikeluarkan oleh induknya ketika saraf-saraf di puting sang induk mendapat rangsangan berupa gerakan menghisap yang dilakukan anaknya. Gerakan ini menyebabkan hormon oksitosin keluar menuju aliran darah untuk merangsang pengeluaran susu.
Di awal peradaban, manusia harus belajar menimbulkan refleks rangsangan pada hewan tanpa perlu dihisap oleh anaknya. Sejumlah tindakan untuk mengakali pun dilakukan. Misalnya, jika anak-anaknya masih hidup, sang induk akan menyusui anaknye dalam waktu sekejap, semata-mata untuk merangsang pengeluaran susu pertama. Cara lain, menempatkan anaknya di depan si induk ternyata bisa untuk mengelabui si induk agar bersedia mengeluarkan susunya ketika diperah oleh pemiliknya. Jika anaknya mati, tubuh si anak akan dikuliti. Kulit tersebut disiram dengan air kencing si anak, dimasukkan ke dalam bejana dari labu kering, dipadatkan dengan jerami atau dipasang di punggung seseorang. Setiap hendak diperah, si induk dipancing dengan aroma yang tersisa dari anaknya. Saat si induk menjilati ‘anaknya’ tersebut, serta merta putingnya bisa mengeluarkan susu. Jika usaha ini gagal, kedua kakinya akan diikat, lalu melalui tabung khusus, udara ditiupkan ke dalam vagina atau rektum.
Dalam buku yang ditulis di abad 440 SM, The Histories, Herodotus menuturkan praktek pemerahan oleh suku nomadik Scintia di daratan Eurasia: “mereka menusukkan tabung dari tulang yang menyerupai seruling ke dalam lubang anus, lalu meniupnya. Satu orang bertugas meniup, satu orang lain bertugas memerah. Menurut mereka, dengan meniupkan udara pembuluh darah jadi menggembung dan menyebabkan kantung susu tertekan, susu pun mengalir. Cara lain untuk memerah susu, adalah menjadwalkan waktu yang teratur untuk memerah dan dilakukan oleh orang yang sama sambil bersenandung khusus kepada hewan-hewan tersebut.
Memerah di Masa Lalu
Sebuah relief pada sarkofagus bangsa Ur berangka tahun sekitar 2500 SM memperlihatkan proses pemerahan susu di masa-masa awal: kaum lelaki berada di belakang hewan yang akan diperah, menjulurkan badan ke arah kantung susu. Tampak di daerah Timur Jauh dan wilayah dingin di barat Asia, pemerah lebih menyukai posisi di belakang hewan, sementara dari adegan yang tergambar pada relief makam di Mesir di awal milenium ketiga sebelum Masehi, mereka lebih menyukai memerah dari sisi samping. Praktik yang sama berlangsung di kawasan Eropa dan India.
Gambaran memerah susu, entah sambil duduk di belakang atau berjongkok, dengan ujung ekor di depan wajah, di antara kedua kaki belakang hewan yang terbuka sambil menjulurkan tangan ke arah kantung susu, merupakan teknik yang banyak dipakai di era awal pemerahan susu dan tetap digunakan di negara-negara Mediterania sampai sekarang.
Sedangkan untuk memerah susu keledai, tampaknya hanya ada satu cara: pemerah duduk berlutut, dengan ember disimpan di atas paha lain. dikencangkan dengan sebuah tali yang diikat pada tangan. Untuk meraih kantung susu, tangan dilingkarkan pada kaki belakang terdekat. Biasanya anak keledai diperbantukan untuk menyusu pertama kali agar susu bisa mengalir, lalu anak keledai tersebut ditarik oleh orang lain namun tetap di dekat induknya selama proses pemerahan. Pemerahan unta juga serupa, anak unta didekatkan dengan induknya. Tubuh unta yang tinggi menyebabkan pemerahnya harus berdiri, dengan satu kaki ditekuk untuk menyimpan ember penampung susu dengan bertumpu pada satu kaki lainnya. Pemerah menggunakan kedua tangan untuk memeras susu. Sedangkan memerah seekor rusa diperlukan dua orang sekaligus. Satu orang memegang tanduk, sedangkan yang lain memerah susunya. –nat