Ini adalah salah satu naskah terbaik di mana Albert Camus. Sebuah karya yang mengajak Anda untuk menikmati sekaligus membuat perenungan

Surabayastory.com – Ini adalah sebuah esai yang lebih cenderung berupa cerita yang merupakan bagian dari perjalanan pemikiran Albert Camus. Dibuat antara tahun 1939 hingga 1953. Dari cerita ini kita bisa mengenal jika perjalanan pemikiran filosofis akan tetap up-to date hingga kehidupan saat ini. Kita juga akan mendapati puisi-prosa menyenangkan yang menunjukkan bagaimana pemandangan dan tempat-tempat menarik di Mesir masa lalu.
Camus, sang filsuf tersohor dengan eksistensialisme (aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tentang sesuatu yang benar dan yang tidak benar). Selamat menikmati cerita perjalanan yang eksotis, dalam gaya tulisan yang puitis.
*****
AKU tumbuh di laut dan kemiskinan adalah kemewahan, kemudian aku kehilangan laut dan mendapati semua kemewahan itu kelabu dan kemiskinan itu tak tertanggungkan. Sejak itu, aku menunggu. Aku menunggu kapal untuk pulang, rumah air, kejernihan hari. Aku menunggu dengan sabar, aku sopan dengan seluruh kekuatanku. Orang-orang melihatku berjalan di jalan-jalan yang baik dan dipelajari, aku mengagumi lanskap, bertepuk tangan seperti orang lain, bersalaman, tapi bukan aku yang bicara. Orang-orang memujiku, aku bermimpi sedikit, mereka memakiku, aku jarang kelihatan terkejut. Kemudian aku lupa, dan tersenyum pada orang yang memakiku, atau aku terlalu sopan dalam menyambut orang yang aku cinta. Apa yang bisa aku perbuat jika satu-satunya yang aku ingat hanyalah satu citra? Akhirnya mereka memanggilku untuk mengatakan pada mereka siapa aku. “tidak siapa pun, tidak siapa pun…’
Di upacara pemakamanlah aku melampaui diriku sendiri. Ya, sungguh. Aku berjalan melalui jalanan pinggir kota yang ditaburi besi, menjelajahi jalanan lebar yang ditanami pepohonan semen dan menuju lubang di bumi yang dingin. Di sana, di bawah perban langit yang memerah, aku mengawasi para pekerja menguburkan teman-temanku di kedalaman enam kaki. Apabila aku melempar bunga yang disodorkan tangan yang tertutup tanah liat, tidak sekali pun bunga itu lolos dari kuburan. Kesalehanku jelas, perasaanku sebagaimana seharusnya, kepalaku tertunduk pantas. Aku dikagumi karena menemukan kata yang tepat. Namun aku tidak berguna dalam hal ini: aku menunggu.
Aku telah menunggu untuk waktu yang lama. Kadang-kadang, aku tersandung, aku kehilangan sentuhanku, sukses menghindari diriku. Apa pentingnya itu, karena aku sendirian. Maka, beginilah aku terbangun di malam hari, dan masih setengah tertidur, aku merasa mendengar suara gelombang dan napas air. Terbangun sepenuhnya, aku mengenali angina di pepohonan dan gumaman sedih kota yang kososng. Kemudian aku membutuhkan seluruh kemampuanku untuk menyembunyikan kesukaranku atau membungkusnya dengan cara yang berlaku.
Di saat lain, sebaliknya, aku tertolong. Pada hari-hari tertentu di New York, tersesat di dasar sumur batu dan baja itu di mana berkeliaran jutaan manusia, aku akan berlari dari yang satu ke yang lain, tanpa melihat di mana sumur berakhir, kelelahan, sampai aku dapat bertahan hanya oleh sekumpulan besar manusia yang mencari jalan keluarnya. Tetapi, setiap kali sirene di kejauhan dari kapal tunda dating untuk mengingatkanku bahwa kota ini, sumur kosong ini, adalah sebuah pulau, dan di ujung Battery air pembabtisanku menunggu diriku, hitam dan busuk, tertutup oleh sumbat yang berlubang.
Maka, meskipun aku tidak memiliki apa-apa, hilang semua kekayaanku, berkemah di samping semua rumahku, aku masih bisa diberkati dengan semua kekayaan ketika aku memilih, memasang layar di setiap jam, tidak mengenal keputusasaan. Tidak ada negeri bagi mereka yang putus asa, tetapi aku tahu bahwa laut dating di depan dan mengejarku, dan menjaga kegilaanku tetap siap. Mereka yang mencintai dan terpisah dapat hidup dalam penderitaan, namun ini bukan keputusasaan: mereka tahu bahwa cinta itu ada. Inilah sebabnya mengapa aku menderita, mata kering, dalam pengasingan. Aku masih menunggu. Akhirnya, satu hari tiba…
Kaki telanjang para pelaut menghentak perlahan di geladak. Saat itu fajar, dan kami memasang layar. Pada saat kami meninggalkan pelabuhan, angin kencang yang tak berlangsung lama dengan dahsyatnya menerpa laut yang menggulung ke belakang dalam gelombang-gelombang kecil dan tak berbuih. Sejenak kemudian angina menyegarkan dan menebari laut dengan harum kamelia yang dengan cepat lenyap. Maka sepanjang pagi kami mendengar layar kami menampar-nampar kolam yang riang. Air laut pekat, bersisik, tertutup oleh buih yang sejuk. Dari waktu ke waktu gelombang berkecipakan di haluan; buih yang pahit namun bermanis-manis, air liur Tuhan, mengalir di sepanjang kayu dan menghilang sendiri di air di mana menyebar ke dalam bentuk yang mati dan lahir kembali, persembunyian sapi putih dan biru, hewan kelelahan yang terapung sepanjang jalan di belakang saat jaga kami.
Sejak keberangkatan kami burung camar mengikuti kapal kami, sepertinya tanpa usaha keras, hampir tanpa menggerakkan sayap mereka. Navigasi lurus mereka yang baik hampir tanpa menggerakkan sayap mereka. Navigasi lurusmereka yang baik hamper tidak mengandalkan tiupan angin. Tiba-tiba, bunyi ceburan yang keras di sekitar dapur menimbulkan alarm keserakahan di antara burung-burung, arah terbangmereka yang teratur menjadi tidak karuan dan menimbulkan lesatan sayap-sayap putih yang seperti api. Burung camar berputar gila ke segala arah, dan kemudian tanpa kehilangan kecepatan sedikit pun satu persatu menjauhkan diri dari perkelahian dan menukik ke bawah, ke laut. Beberapa detik kemudian mereka bersama kembali di atas air, seperti halaman pertanian yang penuh percekcokan yang kami tinggalkan di belakang, membuat sarang di cekungan gelombang, dan dengan perlahan merenggut sisa-sisa makanan yang sangat lezat.
Di tengah hari, di bawah matahari yang memekakkan, laut, laut, kelelahan, hampir-hampir tidak kuat untuk bangkit. Ketika laut jatuh ke atas punggungnya sendiri, laut membuat keheningan bersiul. Laut terjerang selama satu jam dan air yang pucat, lembaran luas besi panas berwarna putih, mendesis. Dalam waktu satu menit laut akan berbalik dan memperlihatkan sisinya yang lembab ke arah matahari, yang sekarang tersembunyi dalam gelombang dan kegelapan.
Kami melintas dekat dengan gerbang Hercules, tanjung di mana Antaeus mati. Di sebelah sana, samudera membentang di mana-mana, pada satu sisi kami melewati Horn dan Tanjung Harapan, Garis Bujur bertemu Garis Lintang, laut Pasifik meminum Laut Atlantik. Sekali perlahan-lahan menuju selatan Laut Pasifik. Beberapa jauhnya terdapat Easter Island, Desolation dan barisan new Hebrides melewati kami beriringan. Tiba-tiba suatu pagi burung-burung camar lenyap. Kami berada jauh dari daratan manapun, dan sendirian, dengan layar-layar kami dan mesin-mesin kami.
Juga sendirian bersama kaki langit. Gelombang datanmg dari Timur yang tak terlihat, dengan sabar, satu demi satu; gelombang itu mencapai kami, dan kemudian dengan sabar berangkat kembali ke Barat yang tak dikenal, satu demi satu. Sebuah perjalanan yang jauh, tanpa permulaan dan tanpa akhir…. Sungai dan anaka sungai berlalu, laut berlalu dan tinggal. Beginilah kami harus mencintainya, setiap dan berlalu cepat. Aku mengawini laut.
Lautan tinggi. Matahari tenggelam, ditelan oleh kabut lama sebelum ia menyentuh kaki langit. Untuk satu saat yang singkat, laut berwarna merah muda di satu sisi dan biru di sisi lain. Kemudian air menjadi lebih gelap. Sekunar meluncur, sangat kecil, di atas permukaan lingkaran sempurna logam yang padat dan bebercak. Dan pada jam paling penuh kedamaian, sementara malam menjelang, ratusan lumba-lumba muncul dari air, bermain di sekitar kami sejenak, kemudian melarikan diri ke kaki langit di mana tidak ada manusia. Mereka meninggalkan keheningan dan kesedihan pada air yang primitif.
Masih sesaat kemudian, kami bertemu sebuah gunung es di Garis Balik. Pasti tak terlihat setelah perjalanannya yang panjang di air yang hangat ini, namun tetap efektif: gunung es itu melewati sisi kanan, di mana tali-temali diselimuti tipis oleh embun beku, sementara di sisi kiri siang hari tanpa uap kabut.
Malam tidak turun di laut. Melainkan, dari kedalaman air, di mana matahari yang telah menyelam perlahan-lahan menjadigelap dengan abunya yang tebal, malam muncul menuju langit yang masih pucat. Untuk sejenak Venus bersinar sendirian di atas gelombang hitam. Dalam sekejap mata, bintang-bintang berkerumun di langit yang cair.
Bulan telah terbit. Pertama bulan dengan lembut menyinari permukaan air, kemudian mendaki lebih tinggi dan memantul di air yang lena. Akhirnya pada puncaknya bulan menyinari seluruh koridor laut, sungai yang kaya dengan susu yang dengan gerakan kapal, mengalir tak henti-hentinya menuju kami melalui laut yang gelap. Inilah malam yang setia, malam yang sejuk yang aku panggil di tengah-tengah suatu cahaya, keriuhan gairah.
Kami berlayar menyeberangi ruang yang begitu luas, sehingga sepertinya berakhir. Matahari dan bulan terbit dan tenggelam bergantian, pada benang siang dan malam yang sama. Hari-hari di laut, datar dan tidak bisa dibedakan seperti kebahagiaan…
Hidup ini memberontak pada kelupaan, memberontak pada kenangan, seperti yang dibicarakan oleh Stevenson.
Fajar. Kami berlayar tegak lurus menyeberangi Garis Balik Utara, air mengerang dan terbahak-bahak. Hari baru memecah di atas laut yang bergelombang, penuh dengan kelap-kelip baja. Langit berwarna putih karena kabut dan panas, dengan sinar menyilaukan yang mati namun tak tertanggungkan, seolah-olah matahari telah mencair dalam kepekatan awan, pada bentangan luas kubah langit. Langit yang letih di atas laut yang tak berbentuk. Sementara hari menjelang, panas membakar dalam udara yang putih. Sepanjang hari haluan mencari-cari kawanan ikan terbang, burung-burung besi kecil, memaksa mereka dari perlindungan mereka dalam gelombang.
Di sore hari kami bertemu dengan sebuah kapal api yang kembali menuju kota. Sirene kami saling mengucapkan salam dalam tiga pekikan keras, seperti binatang prasejarah. Para penumpang yang tersesat di laut diperingatkan bahwa orang lain hadir dan saling mengucapkan salam kepada mereka, kedua kapal perlahan bergerak menjauh di atas air yang dengki; semua ini mengisi hati dengan kesedihan. Laki-laki apa yang menghargai laut dan kesepian dan yang akan pernah berhenti mencintai orang gila keras kepala yang berpegang erat pada papan dan ditarik oleh bulu tengkuk samuderaraksasa, mengejar kepulauan yang jauh terapung-apung?
Tepat di tengah-tengah Atlantik kami lunglai di bawah angin liar yang bertiup tanpa henti dari kutub ke kutub. Setiap teriakan yang kami serukan menghilang, terbang ke angkasa yang tak berbatas. Namun teriakan ini, dibawa hari demi hari dalam angina, pada akhirnya akan mencapai daratan di salah satu ujungbumi yang datar dan menggema abadi kepada dinding membeku hingga seorang manusia, tersesat di suatu tempat dalam selongsong saljunya, mendengarnya dan mulai tersenyum dengan bahagia.
Aku sedang setengah tertidur di matahari awal sore ketika suara yang mengerikan membangunkanku. Aku melihat matahari dalam kedalaman laut, gelombang berkuasa di langit yang bergelombang. Tiba-tiba laut bersinar, matahari mengalir dalam tegukan-tegukan panjang sejuk di tenggorokanku. Di sekitarku para pelaut tertawa dan menangis. Mereka mencintai satu sama lain, namun tanpa pengampunan. Pada hari itu aku mengenali dunia seperti apa adanya, aku gembira bahwa kebaikannya juga akan melakukan kejahatan dan penarikan dirinya membawa kebaikan. Pada hari itu aku menyadari bahwa ada dua kebenaran, yang satu tidak boleh diberitahukan.
Bulan langit Selatan yang ingin tahu, sedikit terpotong, menemani kami untuk beberapa malam dan kemudian meluncur dengan cepat dari langit ke laut yang menelannya. Di sana tinggal Bintang Pari, bintang yang jarang-jarang, udara yang berpori. Pada saat yang sama, angin juga berhenti sepenuhnya. Langit bergulung dan terempas di atas tiang-tiang kapal yang tidak bergerak. Mesin mati, layar tergulung, kami bersiul di malam yang hangat sementara air memukul ramah sisi kapal. Tidak ada perintah, mesin-mesin diam. Sungguh, mengapa kami harus terus dan mengapa kami harus kembali? Kami memiliki lebih dari cukup, dan kegilaan yang bisu dan tak terlihat membuai kami sampai tidur. Satu hari dating seperti ini yang menarik segala sesuatu menjadi dekat; maka kami harus membiarkan diri sendiri tenggelam, seperti mereka yang berenang sampai kelelahan. Apa yang harus kami penuhi? Selamanya, aku merahasiakannya dari diriku sendiri. O.. tempat tidur yang pahit, sofa bangsawan, mahkota terletak di dasar lautan.
Di pagi hari ini yang hangat kuku membuih lembut di bawah baling-baling kami. Kami menambah kecepatan. Menjelang tengah hari, berkelana dari benua yang jauh, sekumpulan sapi laut memotong jalur kami, menyusul kami dan berenang berirama kea rah utara, diikuti oleh burung-burung beraneka warna yang, dari waktu ke waktu, beristirahat di atas tanduk mereka. Hutan yang berdesau ini perlahan-lahan lenyap di kaki langit. Sebentar kemudian, laut diselimuti oleh bunga-bunga aneh berwarna kuning. Menjelang malam, selama jam demi jam, kami didahului oleh lagu yang tak terlihat. Aku pergi tidur, di rumah.
Semua layar kami terkembang dalam tiupan angin yang tajam, kami berlomba mnyeberangi laut yang jernih dan beriak. Pada kecepatan puncak kemudi kami menjadi terlalu berat ke arah kiri. Dan menjelang malam, kami memperbaiki arah perjalanan kami lagi, miring sangat jauh kea rah kanan sehingga layar-layar kami meluncur di atas air, kami berlayar dengan cepat di sepanjang sisi sebuah benua di selatan yang aku kenali karena di hari-hari yang sudah lewat aku pernah terbang secara buta menyeberanginya dalam peti mati barbar berupa sebuah pesawat terbang. Aku adalah raja yang bermalas-malasan dan kereta tempurku berlengah-lengah; aku menunggu laut tetapi ia tidak pernah dating. Monster meraung, berangkat dari ladang guano di Peru, menantang dirinya sendiri di atas pantai Pasific, terbang melintasi punggung Andes yang putih retak-retak dan kemudian di atas kumpulan lalat yang menyelimuti dataran raksasa Argentina, bertaut dengan satu tukikan padang rumput Uruguay yang mengalir bagai susu menuju sungai-sungai hitam Venezuela, mendarat, meraung lagi, gemetar dengan serakah ketika melihat ruang kosong baru untuk dilahap, namun tidak pernah berhenti maju ke depan atau paling tidak maju dengan gerak perlahan yang menggelikan dank eras kepala, suatu energy yang tetap, letih dan mabuk. Kemudian aku merasa bahwa aku sekarat dalam sel logamku dan memimpikan pertumpahan darah dan pesta pora. Tanpa ruang tidak aka nada kemurnian maupun kekebasan! Ketika seorang laki-laki tidak dapat bernafas, penjara berarti kematian atau kegilaan; apa yang bisa dilakukannya di sana kecuali membunuh dan memiliki? Hari ini, sebaliknya, aku memperoleh seluruh udara yang aku butuhkan, semua layar kami menampar-nampar di udara yang biru, aku akan berteriak dengan kecepatan, kami melemparkan sekstan dan kompas kami ke laut.
Di bawah angin yang angkuh layar-layar kami seperti besi. Pantai melayang dengan kecepatan penuh di depan mata kami, hutan pohon kelapa yang megah yang kakinya dibasuh oleh laguna berwarna zamrud, sebuah tanjung yang sunyi, penuh dengan layar merah, pantai yang disinari bulan. Bangunan-bangunan raksasa membayang, telah retak-retak di bawah tekanan hutan perawan yang bermula di halaman gedung pelayan; di sana-sini ipeca kuning atau pohon dengan dahan-dahan ungu menyembul melalui jendela, Rio akhirnya menjadi samar di belakang kami dan monyet-monyet Tijuca akan tertawa dan meracau dalam tumbuh-tumbuhan yang telah tumbuh menguasai reruntuhannya yang baru. Masih lebih cepat, di sepanjang pantai yang lebar di mana gelombang menyebar dalam berkas-berkas pasir, masih lebih cepat, di mana biri-biri Uruguay mencemplung ke dalam laut dan segera mengubahnya jadi kuning. Kemudian di pantai Argentina gundukan-gundukan kasar raksasa kayu api, berdiri dalam jarak yang teratur, naik perlahan ke langit memanggang setengah lembu jantan. Di malam hari es dariTierra del Fuego dating dan memukul-mukul berjam-jam di lambung kapal kami; kapal mengurangi kecepatan dan terus berlayar. Di pagihari gelombang tunggal Pasifik, yang buih dinginnya mendidihhijau dan putih sepanjang ribuan kilometersepanjang pantai Chile, perlahan-lahan terangkat dan mengancam menghancurkan kami. Kemudi menghindarinya, menyusul Kepulauan Kerguelen. Dimalam yang manis kapal Melayu pertama datang untuk menyambut kami.
‘Ke laut! Ke laut!’ teriak anak-anak laki-laki gaib dalam salah satu buku kanak-kanakku. Akutelah melupakan segalanya mengenai buku itu kecuali teriakan ini. ‘Ke laut!’, dan dari seberang Samudera Hindia ke tepi Laut Merah, di mana di malam-malam sunyi kau dapat mendengar bebatuan di padang pasir, hangus di siang hari, retak satu persatu, kami kembali ke laut kuno di mana semua tangisan ditenangkan.
Akhirnya suatu pagi kami membuang sauh di sebuah teluk yang penuh dengan kesunyian aneh, disinari oleh layar-layar yang tetap. Yang bisa kami lihat hanyalah sedikit burung laut yang bertengkar di langit di atas sisa-sisa alang-alang. Kami berenang ke tepi menuju pantai yang kosong; kami menghabiskan sepanjang hari berenang dan mengeringkan diri di pasir. Ketika malam turun, di bawah langit yang menjadi hijau dan memudar di kejauhan, laut, begitu tenang, menjadi semakin damai. Gelombang-gelombang pendek meniupkan buih yang beruap ke pantai yang hangay. Burung-burung laut telah menghilang. Yang tertinggal hanyalah angkasa, membentang menuju perjalanan yang tak bergerak.
Pengetahuan bahwa malam-malam tertentu dengan kelembutan yang abadi akan dating ke bumi dan laut ketika kami sudah pergi benar-benar dapat menolong kami dalam kematian. Laut luas, selalu pe rawan dan selalu diarungi, agamaku bersama malam! Laut membasuh dan memberi makan kami dalam galur-galurnya yang tandus, membebaskan kami dan menjaga kami tegak. Setiap gelombang membawa janjinya, selalu sama. Apa yang dikatakan gelombang? Apabila aku harus mati, di tengah-tengah pegunungan dingin, tidak diketahui oleh dunia, dibuang oleh orang-orangku sendiri, kekuatanku pada akhirnya menyusut, laut pada saat terakhir membanjir ke dalam selku, dating untuk mengangkatku di atas diriku sendiri dan membantuku mati tanpa kebencian.
Di tengah malam, sendirian di pantai. Satu saat lagi dan kemudian aku akan memasang layar. Langit sendiri telah membuang sauh, dengan seluruh bintang-bintangnya, seperti kapal-kapal itu yang tepat pada jam ini berkilau melalui dunia dengan seluruh cahaya mereka dan menyinari pelabuhan air yang gelap. Angkasa dan kesunyian sama-sama memberati hati. Cinta yang sekonyong-konyong, karya besar, tindakan yang pasti, pikiran yang mengubah romannya, semua ini pada saat-saat tertentu memberi kecemasan sama yang tak tertahankan, bertaut dengan pesona yang tak mungkin ditolak. Apakah hidup seperti ini dalam derita keberadaan yang nikmat, dalam kedekatan bahaya yang elok yang namanya tidak kita ketahui, sama dengan berlari ke ajal kita? Sekali lagi, tanpa beristirahat, biarkan kami pergi.
Aku selalu merasa bahwa aku hidup di lautan yang tinggi, terancam, di jantung kebahagiaan yang megah. ###
I am glad to be a visitor of this pure web site! , thanks for this rare info ! .