Surabayastory.com – Hari ini diperingati sebagai Hari Ibu secara nasional. Mari duduk sejanak, menghela nafas panjang, dan membayangkan ibu kita. Apa yang telah kita perbuat? Seberapa panjang dosa kita, seberapa besar bakti kita. Ibu adalah jiwa kita, jiwa anak-anak masa depan bangsa.
Selamat Hari Ibu.
*****
Ibu
–oleh: D. Zawawi Imron
1966
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, dedaunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
*****
Ibu
–oleh: Chairil Anwar
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu…..
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu…..
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia obati dengan penawar dan semangat
Dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun…..
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….
Ibu….
Aku sayang padamu…..
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya…..
*****
Ibu di Atas Debu
–oleh: WS Rendra
5 Juni 1998
Perempuan tua yang termangu
teronggok di tanah berdebu.
Wajahnya bagai sepatu serdadu.
Ibu! Ibu!
Kenapa kamu duduk di situ?
Kenapa kamu termangu?
Apakah yang kamu tunggu?
Jakarta menjadi lautan api.
Mayat menjadi arang.
Mayat hanyut di kali.
Apakah kamu tak tahu
di mana kini putramu?
Perempuann tua yang termangu
sendiri sepi mengarungi waktu
kenapa kamu duduk di situ?
Ibu! Ibu!
Di mana rumahmu?
Di mana rumahmu?
Di mana rumah Hukum?
Di mana rumah Daulat Rakyat?
Di mana gardu jaga tentara
yang mau melindungi rakyat tergusur?
Di mana pos polisi
yang mau membela para petani
dari pemerasan pajabat desa
Ibu! Ibu!
Kamu yang duduk termangu
terapung bagai tempurung di samudra waktu
berapa lama sudah kamu duduk di situ?
Berapa hari? Berapa minggu? Berapa bulan?
Berapa puluh tahun
kamu termangu di atas debu?
Apakah yang kamu harapkan?
Apakah yang kamu nantikan?
Apakah harapan pensiun guru di desa?
Apakah harapan tunjangan tentara
yang kehilangan satu kakinya?
Siapa yang mencuri laba dari rotan di hutan?
Siapa yang menjarah kekayaan lautan?
Ibu! Ibu!
Dari mana asalmu?
Apakah kamu dari Ambon?
Dari Aceh? Dari Kalimantan?
Dari Timor Timur? Dari Irian?
Nusantara! Nusantara!
Untaian zamrud tenggelam di lumpur!
Pengantin yang koyak dandanannya
dicemarkan tangan asing
tergolek di kebun kelapa kaya raya.
Indonesia! Indonesia!
Kamu lihatkah itu ibu kita?
Duduk di situ. Teronggok di atas debu.
Tak jelas menatap apa.
Mata kosong tetapi mengandung tuntutan.
Terbatuk-batuk.
Suara batuk.
Seperti ketukan lemah di pintu.
Tapi mulutnya terus membisu.
Indonesia! Indonesia!
Dengarlah suara batuk itu.
Suara batuk ibu itu.
Terbatuk-batuk.
Suara batuk.
Dari sampah sejarah
yang hanyut di kali.
*****
————dikutip dari beberapa sumber