MALAM. Mari bercerita tentang malam, sebuah penggal waktu yang selalu menyimpan sejuta cerita bagi anak manusia. Malam, sekelebat waktu yang singkat, tapi punya arti besar bagi bumi dan manusia. Malam ini tak seperti biasanya. Lebih panas, tak seperti mingggu-minggu atau bulan-bulan yang telah lalu. Kota ini mulai bersimbah keringat malam ini. Mungkinkah ini karena meningkatnya peradaban manusia, yang membuat semakin banyak mesin yang menderu dari waktu ke waktu, dan menyemburkan ‘hawa panas’? Atau karena panas bumi yang ikut meninggi? Aku tak tahu pasti, yang jelas malam ini cukup panas.
Malam ini juga tak seramai malam sebelumnya. Warung-warung kaki lima tempat nongkrong favorit kalau malam juga agak lengang. Si penjual yang selalu menyapaku dengan ramah itu mengatakan tak banyak yang nongkrong di warungnya. Aku suka teh, suka menjelajah, tapi belum menemukan teh dahsyat di warung pinggir jalan. Yang mendekati adalah teh Slawi atau teh Pekalongan, langka didapatkan. Benarkah kelangkaan itu sebuah kenikmatan?
Malam. Ada apa dengan malam? Malam mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang menakutkan. Maklum, malam selalu identik dengan hitam, gelap, dan kelam. Malam sering menyisakan cerita panjang yang memilukan. Tapi tak selamanya malam itu kelam. Malam juga bisa berarti sumber inspirasi.
Perjalanan malam juga akan mencetak sejuta kisah. Selalu ada cerita mendebarkan yang tiba-tiba menyembul dari bilik mata atau hati. Diawali dari lari-lari kecil untuk menghindari kenek di terminal bis,
bertemu dengan orang baru. Jika beruntung akan jadi teman menyenangkan di perjalanan dan bila tidak jadi begitu menjengkelkan, dan akan sangat mengganggu karena was-was dan harus waspada berjaga-jaga, atau sopir yang mengemudikan bis keluar dari jalanan aspal dan hampir nabrak pembatas jalan saat
belok di tikungan, atau kehilangan kendali dan ngerem mendadak untuk menghindari bis lain, karena ngantuk, kecapekan, mungkin pula habis perang bharatayuda dengan isteri yang selalu ingin setoran uang belanja naik.
Aku suka perjalanan malam hari, bagiku banyak hal tak biasa bisa terjadi. Dalam pandangan yang terbatas, bayangan pohon-pohon di kanan-kiri dalam hitam seperti mengundang tanya dan debar-debar. Mungkin orang lain begitu menikmati memandang lautan lepas dengan siluet-siluet senja di pantai, tapi aku, memandang alam yang hitam, dan terapung-apung di tengah lautan, merasakan gerakan kapal yang terombang-ambing bak timbangan, atau menikmati permukaan laut yang keperakan oleh sorot lampu kapal, membuatku lebur dan bersatu dengan alam.
Aku selalu merindukan bau lautan, dan bayangannya selalu memanggilku untuk datang. Tak banyak yang kulakukan hanya duduk-duduk di tepian, dan memandang jauh ke tengah lautan, menumpahkan semua kegalauan, kepenatan, dan tempat melontarkan seribu pertanyaan tentang hidup, yang hanya dijawab oleh desir-desir angin, lalu aku menjadi kuat setelahnya.
Aku tak pernah peduli harus menempuh ribuan mil jauhnya, merasakan pinggangku yang pegal, dan kakiku yang bengkak, dan aku semakin percaya, bahwa kebahagiaan tak ternilai. Kebahagiaan hanya kita yang paling tahu, dan bagaimana mendapatkannya. Mungkin intinya kebahagiaan di atas segalanya karena hidup tidaklah lama, kenapa tak dinikmati saja, selagi masih bisa. Kesedihan dan kebahagiaan adalah bagian dari kehidupan, jadi saat hidup tak berpihak pada kita, tak perlu ada air mata, karena itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah kebahagiaan.
***
Malam ini aku menulis surat untukmu. Sebuah surat yang akan menjadi penerus surat-surat terdahulu. Entah surat yang keberapa, aku tak pernah menghitungnya, karena aku menganggap berapa jumlah itu tak penting. Bagiku yang penting aku bisa menulis surat untukmu, membuat cerita, dan mengirimnya untukmu. Aku senang sekali jika dirimu menyukai cerita-ceritaku. Apalagi kau menyimpannya, lalu bisa membacanya kapan saja kamu suka. Buatku itu menarik sekali.
Kadang aku sedikit geli dengan apa yang kita lakukan ini. Berbagi cerita lewat jalur maya, jalur baru generasi-X untuk mengungkap perasaannya, membagi ceritanya, dan bertutur bebas tanpa halangan ruang dan waktu. Kalau pun ada, mungkin halangan itu cuma satu: jaringan internet down, kehabisan pulsa dan tetangga sebelah bukanlah pedagang pulsa.
Kadang aku tersenyum mengingatnya sepanjang jalan. Kita tak pernah bertemu, apalagi bisa ngobrol panjang. Aku tak tahu nama lengkapmu, aku tak pernah tahu tanggal lahirmu, kesukaanmu selain kopi, atau lainnya. Tetapi apakah semua itu penting? Yang penting aku merasa dirimu serasa dekat. Aku hanya mengingat senyum dan lesung pipimu yang indah. Selebihnya, aku tak tahu. Entah apa yang kau rasakan.
Mungkin benar kita bisa bertemu, bercengkerama panjang, sambil menghirup dua cangkir kopi panas yang mendamaikan batin. Mungkin juga kita bisa saling bertukar suara dengan memencet tuts-tuts keypad handphone. Tetapi surat adalah bahasa yang lain. Aku merasa surat lebih berbicara, lebih punya makna. Dengan kata-kata yang tercetak, semuanya akan menjadi otentik dan terbaca hingga lebur.
Aku ingin membuat kenangan, sebuah kenangan yang tercetak dari tinta di atas kertas. Aku ingin membagi sederet kisah di antara kita, kau dan aku, tanpa harus tahu akan berujung di mana. Karena menurutku proses adalah lebih indah daripada hasil. Hidup kita memang penuh kenangan. Seperti proses yang tiada akhir. Selalu mengundang tanya dan debar. Seperti malam yang tak selalu sama dari hari ke hari.
Di luar sana langit mulai bersemu putih, sedikit kecoklatan tapi tak lagi pucat. Sore tadi hujan deras mengguyur Surabaya, dan diselingi kilat yang menampar-nampar gedung-gedung kaca. Tiga hari ini, senja tak lagi hadir, lenyap ditelan gemuruh awan hitam yang terlihat murka.
Pertemuan kembali kita seperti sudah digariskan. Seperti pendulum yang digerakkan para dewa. Pertemuan kita semalam, juga adalah sebuah pertemuan sederhana. Sebuah pertemuan yang sama sekali tak direncanakan. Aku juga bilang itu semacam takdir, karena Surabaya yang beberapa hari ini selalu diguyur hujan lebat, tetapi kemarin malam hujan tak lagi datang. Langit sepertinya mengerti kalau kau tak suka tak suka jalanan basah. Seolah alam tahu persis jika kita sudah memendam kerinduan yang sangat, dan ingin ditumpahkan dalam sebuah pertemuan.
Aku bilang pertemuan pertama kemarin begitu indah, terbawa hingga malam dan dinihari. Dengan bibir terkatup, rasa itu tetap bergelora seakan tak ingin malam segera berganti pagi. Aku ingin menikmati sisa malam yang panjang dengan beberapa potongan pertemuan yang hadir membayang di depan mataku, dan berlangsung secara alamiah. Kisah cinta manusia memang tak semuanya berlangsung alami, tetapi aku yakin apa yang kita alami sekarang adalah natural. Tak ada rasa yang dipaksakan, tak ada zat aditif, apalagi mak comblang yang selalu menanyakan hasil dari setiap pertemuan.
Seperti lazimnya kisah cinta yang natural, kencan pertama kita juga lebih banyak berisi diam, tak banyak derai tawa. Mungkin di batin kita masih menyimpan setumpuk pertanyaan, yang sebenarnya sudah sekian hari selalu mengundang tanya: Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi?
Dari pendar bola matamu aku tahu kalau kau masih diliputi kebingungan, seperti halnya ketika kau pertama kali membukakan pintu rumahmu, sebelum aku menginjak teras lalu ngobrol panjang soal kehidupan. Dirimu kerap hanya memandang kosong sudut langit yang tiada berbatas. Mulutmu terkatup. Tetapi aku bisa membaca batinmu yang tengah terus berkecamuk meski perang antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Kau genggam erat-erat cangkir keramik di depanmu, dan secangkir cappuccino cepat sekali tandas malam itu. Aku tahu, kau masih bingung. Kau hanya bilang: “Aku takut”.
Ketika malam semakin beringsut, kau katakan padaku: “Aku takut sekali kehilanganmu, aku tak menghendaki ada perpisahan lagi.” Aku hentikan taksi, dan aku turun di sebuah pinggir jalan yang cukup ramai, dan duduk di atas trotoar. Lalu lintas sepertinya masih meraung-raung saling bekejaran, tetapi aku merasa batinku sepi. Aku merasa sekelilingku tak ada siapapun. Tak ada orang lalu lalang, tak ada motor yang diparkir berjajar, tak ada gelak tawa orang-orang penunggu malam. Aku masih merasa sunyi. Di sekelilingku cuma ada dirimu, mengepung semua panca inderaku. Anganku melayang, membayangkan kau yang juga masih diliputi rasa gundah, dengan rona wajah yang memerah, dengan pejam mata yang tak pernah sempurna, dengan dua keinginan yang terus berseberangan; antara tak ingin mengakhiri pertemuan dan harus tidur karena harus kerja besok pagi. Di saat dirimu tak bisa memejamkan mata, bayangan demi bayangan akan hadir antara ada dan tiada, yang semakin lama membentuk aura, bersinar terang seperti cahaya Buddha ketika hendak menuju Nirwana.
Kita punya bayangan yang sama. Kita juga memendam kekaguman yang tak tergerus oleh tahun. Hanya kita yang tahu, dua dunia yang bagi orang lain mungkin tak bisa menjadi nyata. Kita nikmati semuanya dalam diam, dalam keindahan malam, di bawah cahaya rembulan yang selalu kau rindukan.
Aku semakin tak mengerti, kekuatan apa yang telah begitu kuat mempertemukan kita, hingga kita punya potongan-potongan kisah, yang nantinya akan terkumpul menjadi sebuah cerita yang bernama kenangan.
Malam semakin pekat. Menjelang dini hari, rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan-awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning benar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengikuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Dari balik kabutnya, aku seperti melihat sebuah dunia yang lain. Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada insan seperti kita, dua insan yang saling mencinta dan memendam rindu?
Tak satupun yang membuatku ragu, di manapun kau berada, ke manapun kau pergi, karena Dia selalu bersamamu, menempati satu sisi di sudut hatimu. Dan di manapun kau berada, kita akan selalu menemukan, lalu kita berdua saling memandang, hingga malam usai, dan esok kita akan mengulangnya
kembali, saat alam menjadi hitam.
Biarkan gelap malam menjadi saksi sebuah kerinduan, mengumpulkan segenap kekuatan dengan menjadi kelam, sunyi tak terdengar, jauh di ujung bumi yang tak tergapai, dan biarkan saja rasa yang mengeliat menahan perih, untuk sebuah senyuman yang menemani malam, saat mata terpejam, lalu terlihatlah keindahan dunia, yang tak mampu dilihat oleh mata telanjang.
Malam mulai beringsut meninggalkan kelam. Sang Dewi Rembulan perlahan mengatupkan senyumnya di angkasa. Itu pertanda malam akan berganti hari. Aku mencintai dirimu, bulan, malam, dan kenangan.
Satu Prosa yang bagus…. saya tunggu cerpen cerpen dari Mas Sandiantoro selanjutnya…….