MANGGA. Cuma mangga. Tapi bagi Hendra, lain ceritanya. Mangga itu sedap benar baunya. Arumanis sih! Kata Hendra dalam hati. Enak benar dipakai cuci mulut sesudah buka puasa nanti. Tapi harganya? Jangan tanya!
Dari tempat ia berdiri Hendra memandang kepada orang yang sedang membeli mangga Arumanis itu: seorang nyonya. Pakai oto. Ah, baginya membeli mangga Arumanis barang 20 buah tidaklah merupakan persoalan sulit. Sedangkan bagi dia, hendra membeli dua buah saja…..!
Padahal paling sedikit ia bisa setaraf dengan nyonya itu dalam hal kekayaan, asal saja…. Ya, asal saja ia mau menerima ajakan majikannya di kantor. Soalnya sederhana: membubuhkan tandatangan pada kertas, yang disodorkan Pak Zulkifli itu. Sekali setahun. Maka setiap bulan ia akan menerima uang, yang memungkinkan ia tanpa pikir panjang, tanpa rebut tawar dulu membeli mangga Arumanis barang dua tiga puluh buah pada saat ini.
Hendra melihat nyonya itu sudah selesai membeli. Ia naik kembali ke dalam oto. Hendra pun, kata Pak Zulkifli, bisa membeli oto, lama-lama. Dalam jangka waktu setahun dua.
“Pokoknya, beres deh!” kata Pak Zulkifli. “Nasibmu tidak akan semelarat sekarang ini. Apa kelebihan si Anu, si Anu (Pak Zulkifli menyebut menyebut serentetan nama) daripada kau? Tapi mereka semuaya hidup senang. Punya rumah, punya oto. Malah kalau kamu mau, bisa juga ambil isteri muda.”
Apa kelebihan mereka dari aku? Hanya keberanian, kata Pak Zulkifli. Tapi Hendra tidak mau memiliki keberanian semacam itu. Mereka yang disebut-sebut Pak Zulkifli itu, yang hidupnya senang, malah mewah, bukannya punya kelebihan dari dia. Sebaliknya malah mereka punya kekurangan, yaitu kekurangan moral. Kiai akan bilang: kekurangan iman.
“Alaa, Bung!” kata Pak Zulkifli pastinya, jika sekiranya pikiran Hendra tadi dikemukakan. Apa manusia bisa makan hanya dengan iman dan moral saja?
Ya, apa dengan moral atau iman aku bisa membeli mangga arumanis itu? Pikir Hendra sambil berulang meraba-raba dompet uang dalam kantong. Ia ada uang untuk membeli mangga Arumanis itu, hanya sebanyak…… dua buah. Tidak lebih. Tapi itupun jika ia mau hidup sehari tanpa rokok. Ia belum bisa sama sekali menghilangkan rokok. Yang ia bisa hanyalah mengganti merek dengan merek yang murah.
Hendra melangkah, hendak pergi. Tapi ia berpaling dahulu ke arah pedagang mangga. Tiba-tiba ia berbalik kemudian melangkah ke arahnya. Aku akan membeli mangga Arumanis itu! Katanya dalam hati dengan keketapan yang timbul begitu saja, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
Ia sudah tahu harga mangga itu. Harganya mati. Tapi ia masih menawar juga. Barangkali saja bisa di bawah harga mati itu, pikirnya. Tapi sayang ternyata, tidak.
Dipilihnya mangga yang paling harum, paling sedap baunya. Biar agak kecil sedikit, asal betul-betul matang, betul-betul harum.
“Dua saja, Gan!?”
“Ya, dua saja. Buat satu orang kan cukup!”
Hendra berdusta. Tidak apa untuk menutup malu. Nyonya tadi membeli dua puluh buah, dia hanya dua buah.
Hendra tidak seorang diri. Mangga Arumanis itu bukan untuk dia seorang saja. Ada Sawitri, isterinya. Ada ketiga anaknya-anaknya. Masing-masing akan mendapat sekerat dua. Kalah keratannya kecil, bisa lebih. Ya, Hendra akan menyuruh Sawitri nanti mengerat mangga itu kecil-kecil saja, tapi banyak, daripada keratan besar tapi sedikit. Memakannya juga mesti sedikit-sedikit, supaya lebih lama rasa sedapnya melekat dalam mulut.
Hendra mempercepat jalannya. Ingin lekas-lekas sampai di rumah. Mangga ini akan disembunyikan kepada Yaya dan adik-adiknya. Ia bermaksud membuat kejutan. Sawitri juga akan heran dan senang.
Tiba-tiba Hendra menunduk. Ah, Sawitri! Katanya dalam hati. Aku hanya bisa memberi kejutan kepadamu dalam bentuk dua biji mangga, kamu yang dahulu hidup serba cukup.
Rumah kelihatannya kosong saja dari muka. Anak-anak tentunya sedang sedang bermain-main di halaman tetangga dan Sawitri di dapur. Mudah saja Hendra masuk tanpa dilihat mereka. Juga Sawitri tidak tahu ia membawa mangga. Biar bagi dia pun merupakan surprise, kata Hendra dalam hati. Mangga ditaruhnya di tempat tersembunyi, di balik ruang belakang, lalu ditimbuni serbet supaya baunya tidak tembus.
“Lembur, Kang?” tanya Sawitri ketika Hendra masuk ke dapur.
“Hhh..hh!” jawab Hendra. Anak-anak di mana?
“Di sebelah.”
Meskipun hanya sup tulang yang sedang dimasak Sawitri, air liur Hendra terbit juga mencium baunya. Ah, kalau, sedang puasa mudah sekali ngiler, piker Hendra. Tadi ngiler juga membaui mangga Arumanis.
“Besok lembur juga?” tanya Sawitri.
“Iya, dong! Tambah-tambah nafkah,” jawab Hendra.
“Kan Hari Pahlawan,” Tanya isterinya lagi.
“Ah, betul juga besok Hari pahlwan, 10 November.”
Sawitri kemudian menyambung,” Kita besok jalan-jalan yuk…”
Ah, ia butuh hiburan. Sudah sewajarnya. Sehari-harinya di rumah, mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak. Padahal ia berasal dari keluarga yang tidak jauh berbeda dengan keluarga wanita yang membeli mangga arumanis dua puluh buah tadi, kaluarga yang punya pelayan tiga orang.
“Ya, Kang, ya..?” Sawitri mendesak. Tapi Hendra merasa tidak perlu didesak.
“Iya,” jawab Hendra singkat. Hendra mengulurkan tangan dan dengan punggung telunjuk dibelai-belainya pangkal lengan Sawitri. Hendra berpikir, jika adegan ini adegan dalam film, ia akan mendekap isterinya itu, lalu berkata: Aku cinta padamu, saying! Tapi ini bukan film. Hendra hanya membelai lengan Sawitri dengan punggung telunjuk. Sawitri menyambutnya dengan sesaat meletakkan pipinya pada jari Hendra itu.
Kemudian Sawitri seperti seperti biasa memberikan laporan tentang anak-anak. Tati berbuka jam 12 sekarang. Jaja bertengkar dengan Umay memperebutkan pensil warna. Ella terjatuh, tapi tidak apa-apa. Cuma tangisnya…. Astaga, setinggi langit. Karena terkejut benar barangkali.
“Lalu, kau sendiri bagaimana?” tanya Hendra.
“Aku?”
‘Ya, kau! Apa saja sehari ini?”
Sawitri duduk-duduk dekat Hendra pada bangku.
“Kerjaku sehari ini? Biasa: bergumul dengan harga.” Sawitri menunjuk sup yang baru saja dimasaknya. Katanya: hasilnya itu, sup tulang belulang. Sup daging tidak terbeli.
Tapi dengan cepat Sawitri mengalihkan pembicaraan.
“Mau air panas buat mandi/”
Tidak, Hendra tidak mau air panas. Memang, jika ia capek sekali bekerja seharian, mandi dengan air hangat-hangat kuku enak sekali. Tapi sekali ini ia tidak mau mandi dengan air hangat.
Sambil memandang Sawitri, yang sedang mengaduk sup, hendra berpikir: bulan ini bulan puasa dan besok Hari Pahlawan.
***
Makan buka puasa sudah selesai. Kalau Sawitri tidak mengambil kebijakan menyisakan sup di dapur, niscaya makan sahur nanti tanpa apa-apa. Sup pasti sudah habis.
“Cuci mulutnya dengan the manis saja, ya?” kata Sawitri sambil berdiri hendak mengambil gula.
Sekarang, kata Hendra dalam hati, saatnya muncul dengan kejutan: mangga Arumanis.
“Bagaimana kalau cuci mulut dengan mangga?” katanya, Sawitri tertegun, mulutnya membuka.
“Dengan mangga?” tanyanya.
“Dengan mangga, Pak,” tanya Jaja dan Umay. “Dengan mangga?” kata mereka seperti mendengar sesuatu yang sulit dipercaya.
“Di mana ada mangga?” tanya Sawitri menyambung. “Di mana kita ada uang untuk membeli mangga?”
“Di sebelah, mereka membeli mangga tadi, kata Jaja. Mangga Arumanis. Memang harum-harum baunya. Sedap!
“Jaja mau mangga Arumanis?” tanya Hendra.
“Itu kan mahal-mahal, Pak!”
“Jangan menimbulkan angan-angan atau keinginan mereka makan manga segal, kata Sawitri sambil duduk kembali. “Siapa yang mau gula?” teriaknya kemudian.
Tapi tidak ada yang menggubris dia. Hendra terus berbicara:
Meski kecil, mangga Arumanis enak,” katanya.
“Mangga Keweni saja yang lebih murah juga enak Pak,” jerit Umay.
“Lebih enak mangga Gadung, manis tapi seratnya lembut,” kata Jaja.
“Mangga Golek enak juga ya pak, ya?’ sahut Tati.
Hendra berdiri.
“Mau ke mana, Pak?” tanya Sawitri dan anak-anak serempak.
“Ke kamar mandi sebentar.”
Hendra tidak pergi ke kamar mandi. Ia pergi ke ruang belakang. Diambilnya bungkusan mangga. Diciumnya. Harum! Benar harum. Dan pasti manis pula!
“Sekarang semua pejamkan mata!’ seru Hendra, ketika masuk kembali ke ruang tengah dengan menyembunyikan bungkusan di belakang punggung. Pejamkan!
“Pejamkan mata? Ada apa Pak? Mengapa?” katanya mereka penuh tanya.
“Pejamkan semua! Kalau tidak, Bapak pergi, keluar. Ayo, pejamkan, Ibu juga,” katanya.
Sawitri dan anak-anak mula-mula agak ragu-ragu. Tapi akhirnya pejam juga mata mereka masing-masing.
“Ee… jangan ada yang mengintip! Pejam, ya. Awas jangan ada yang membuka sebelum ada perintah dari Bapak!” kembali Hendra menegaskan keinginannya.
Hendra mendekat, duduk. Dibukanya bungkusan, ditaruhnya di atas meja, tepat di tengah-tengah.
“Sekarang buka semua!”
Sawitri dan anak-anak kembali membuka matanya. Mereka sekilas memandang kepada Hendra. Kemudian mengikuti pandangan Hendra ke arah mangga. Hening sesaat.
“Mangga!” bisik Jaja.
“Mangga!’ teriak Umay. Lalu semua bersorak: “Mangga! Mangga! Mangga Arumanis!”
“Dari mana dapat, Pak?”
“Beli, Pak? “Di mana belinya, Pak?”
“Buat kita ya, Pak?”
“Habis, buat siapa lagi?” jawab hendra. Minta Ibu mengupasnya. “Bu, kupas dong Bu!” sahut mereka kemudian.
Hendra menoleh kepada Sawitri. Sawitri tetap hening. Tidak pula dibalasnya pandangan Hendra. Hendra tahu apa sebabnya. Sawitri tidak mau memperlihatkan matanya, yang pasti basah itu. Tetap tanpa memandang kepada Henra, Sawitri berdiri mengambil pisau dari lemari, kemudian mengupas mangga. Sementara itu anak-anak sibuk berkomentar masing-masing tentang mangga.
“Kecil-kecil saja keratannya, Bu!” kata Hendra. Kemudian ia bertanya kepada anak-anak:
“Jaja mau mangga?”
“Umay?”
“Mau, Pak.”
“Tati?”
“Mau, Pak.”
Ella?”
‘Mau, Pak.”
“Tati dan Ella, kalau mau mangga, sun Bapak dulu. Tati pipi kiri, Ella pipi kanan.
Tati dan Ella naik ke pangkuan Hendra. Tati sebelah kiri, Ella sebelah kanan, kemudian mencium pipi Hendra.
“Lagi, Pak? Lagi ya..”
“Hhhh..hhh,” jawab Hendra.
Sementara dicium kedua anaknya, hendra melihat kepada Sawitri. Sawitri kini membalas pandangannya. Ia mau sekarang, karena matanya sudah tidak lagi basah. Tapi Hendra tahu pasti, tadi mata Sawitri basah. Di anataranya kelihatan dari warna merahnya.
Keratan mangga dibagi-bagi. Jaja dan Umay, karena sydah besar, lebih sekerat dari Tati dan Ella. Tati turun dari pangkuan Hendra. Ella tetap. Selama makan mangga tidak ada yang berbicara. Seakan-akan mereka takut, jangan-jangan enaknya mangga berkurang, jika dimakan sambil berbicara. Masing-masing merasakan benar rasa mangga, hingga sekecil-kecilnya.
Hendra dan Sawitri membagi porsinya masing-masing dengan Jaja dan Umay. Jaja dan Umay jelas kekurangan.
Setelah habis mangga, anak-anak mencari kesibukan sendiri-sendiri. Hendra dan Sawitri tetap duduk-duduk.
“Dari mana dapat uang?” Sawitri bertanya. Dengan keterusterangan yang sudah terbiasa, Hendra menjawab; “Uang rokok.”
***
Orang mengetuk pintu. Biasanya Jaja yang membukakakn pintu. Tapi ia dan adik-adiknya sudah tidur dengan nyenyaknya. Hendra tadinya hendak mencegah Sawitri menjalankan tugas Jaja itu. Menurut firasatnya tamu itu bukan orang yang ia senang benar.
Firasatnya tak meleset. Pak Zulkifli yang datang. Dengan Pak Bakhrun dari bagian personalia di kantor. Mereka dipersilakan Sawitri masuk dan duduk. Terpaksa Hendra menerimanya juga.
“Ini dari ibu anak-anak buat anak-anak di sini,’ kata Zulkifli, sambil memberikan keranjang kepada Sawitri. Keranjang itu berisi…. Mangga Arumanis. Hendra mengira-ira, mangga itu jumlahnya ada sepuluh.
Sesaat Hendra dan Sawitri berpandangan. Kok kebetulan benar. Sesaat kemudian Hendra membaca pertanyaan dalam mata Sawitri. Dijawabnya pertanyaan Sawitri dengan mahasa mata pula.
Sawitri tahu, siapa Pak Zulkifli adan apa yang dimintanya dari dia, Hendra membubuhkan tandatangan pada secarik surat. Hendra sudah menceritakannya kepadanya.
Beberapa lamanya Pak Zulkifli dan Pak Bakhrun mengobrol ngalor-ngidul dengan Hendra. Tapi akhirnya ia muncul kembali dengan permintaannya itu yang sudah diduga Hendra sebelumnya. Tapi Hendra tetap menolak, meskipun Pak Zulkifli bercerita, bahwa si Anu sedang membangun bungalow di Trawas, hasil perbuatan serupa. Si Anu membeli mobil baru, mobil kedua.
Dengan muka kecewa Pak Zulkifli pamit. Katanya, sudah malam. Ia dan Bakhrun berpamit juga kepada Sawitri. Sekali lagi Sawitri mengucapkan terimakasih atas pemberian mangga Arumanis itu.
Hendra mengantar mereka sampai ke pintu pagar halaman. Ketika ia masuk kembali, ia diikuti Bu Sumirah, dari rumah sebelah. Bu Sumirah akan menjaga rumah dan anak-anak sebentar, kata Hendra kepada Sawitri.
“Kita berdua berjalan-jalan sebentar, cari hawa” kata Hendra.
Sawitri tidak bertanya apa-apa. Juga tidak, ketika dilihatnya Hendra membawa keranjang mangga, setelah diambilnya sebuah yang diberikan kepada Bu Sumirah.
Dengan berbicara seperlunya saja, Hendra berjalan menggandeng Sawitri. Sawitri pula bertanya, ke mana hendak pergi.
Setelah hujan rintik-rintik tadi siang, langit malam itu cerah. Bintang berkedip-kedip. Sampai di jembatan sungai Kalimas, Hendra berhenti sejenak. Dilepasnya tangan dari menggandeng Sawitri. Kemudian pergi ke tepi kali. Air yang biru-hitam ditatapnya beberapa saat. Kemudian lagi a kembali kepada Sawitri, menggandengnya lagi, lalu berjalan lagi.
Di muka sebuah toko ada beberapa orang sedang berbenah-benah. Menata kardus-kardus bekas sebagai alas tidur. Gelandangan atau hanya orang yang tidak punya rumah saja? Sawitri tidak tahu.
Hendra menuju mereka, seolah kembali Sawitri dilepaskannya. Ia berkata-kata sebentar dengan orang-orang itu. Kemudian keranjang mangga, pemberian pak Zulkifli itu diberikan Hendra kepada orang-orang tuna wisma atau gelandangan itu.
“Terimakasih Gan! Terimakasih,” kata diantara mereka.
Tampak orang-orang itu setengah percaya, setengah tidak percaya kepada apa yang diterimanya dari orang ini.
Sawitri tetap tidak bertanya apa-apa kepada hendra, yang kembali kepadanya dan kembali menggandengnya. Mereka pulang. Setibanya di rumah, Bu Sumirah disuruhnya pulang.
Antara Hendra dan Sawitri terus berkuasa keheningan. Kesederhanaan dan kebersahajaan telah meluruhkan semuanya. Hanya di atas ranjang Sawitri merasakan kemesraan yang hangat lebih dari biasa dalam pelukan Hendra. Mereka bahagia sekali hari ini, bisa berbagi kesenangan dengan orang lain.
*****