BARANGKALI tak banyak yang tahu kalau pada suatu sore di tahun 1960, Bung Karno dan rombongan yang berjumlah antara 60-80 orang sempat “diselundupkan” untuk menonton di bioskop Maxim. Bekas gedungnya –yang kemudian bernama gedung bioskop Indra- sekarang masih ada di perempatan sebelah timur jalan Pemuda, depan Toko Roti Granada. Salah satu pejabat yang menyertai adalah Roeslan Abdulgani.
Siapa yang menyelundupkan? Satu diantaranya adalah Moh. Said, mantan ketua DPD Golkar Jawa Timur, yang saat itu menjadi perwira intel Kodam Brawijaya berpangkat mayor.
Tanpa banyak aturan protokoler, Presiden RI pertama nonton film di situ tanpa diketahui warga kota. Hal yang agak musykil, mengingat jabatan Bung Karno sebagai kepala Negara sebetulnya tak memungkinkan untuk bergerak tanpa setahu publik dan diatur protokol kepresidenan.
Bahkan cara Bung Karno dan rombongan menuju gedung bioskop juga termasuk janggal untuk ukuran presiden. Dia berjalan kaki ramai-ramai bersama rombongan dari Gedung Grahadi. Hebatnya, tak satupun warga kota mengenali sosok pimpinannya yang berjalan di trotoar kota, dan sempat menyeberang jalan segala.
Pulang dari bioskop juga sama, berjalan dan menyeberangi jalan untuk kembali ke Grahadi. Malam itu Bung Karno menginap di Gedung Grahadi, sementara esoknya terbang meneruskan perjalanan yang tertunda ke Denpasar.
Uniknya, tak ada warga kota yang tahu serangkaian peristiwa itu. Jangankan tahu presiden nonton bioskop, tahu Bung Karno ada di Surabaya dan menginap semalam di Grahadi saja tidak tahu. Kalau tahu, hampir bisa dipastikan Grahadi akan diserbu rakyat yang ingin bertemu tokoh pujaannya, dan koran-koran akan meliput sebagaimana layaknya kunjungan seorang presiden.
Tapi mengapa hal itu tidak terjadi? “Itu memang kunjungan Bung Karno yang tak sengaja, dan karena itu harus dirahasiakan,” kata Moch. Said.
Cerita itu berasal dari datangnya sebuah berita dari Denpasar kepada Said yang saat itu menjadi perwira sekuriti dari kodam. Berita inilah yang membuat Said pusing tujuh keliling dan super sibuk.
Bunyi beritanya: pesawat Bung Karno dan rombongan dari Jakarta tak bisa mendarat di Denpasar, dan terpaksa kembali dengan tujuan Surabaya. Said kontan kelabakan. Pasalnya, jam sudah menunjukkan pukul 16.30.
Lapangan terbang –waktu itu masih di Morokrembangan, belum di Juanda- sudah tutup. Said lalu melapor ke gubernur yang ketika itu dijabat Soekarwondo. Bersama polisi yang pernah jadi Bupati Sidoarjo, bersama Soewondo, mereka langsung ke Morokrembangan. Bandara sudah lengang, penjaga dan petugas sudah pada pulang. Yang tinggal cuma petugas keamanan.
Terpaksa, pintu ruang tunggu dibandrek. Karena waktu sudah mepet dan pesawat presiden segera mendarat, mereka bagi-bagi tugas. Gubernur Soewondo pulang duluan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitu pesawat mendarat, Said dkk. kaget melihat besarnya jumlah rombongan Bung Karno. Akhirnya, Soetejo juga diperintahkan pergi mencari bala bantuan untuk mengatur rombongan.
“Apalagi, ini tidak boleh ketahuan masyarakat. Kalau tidak, kita akan kerepotan dalam pengamanan”, kata Said.
Said lalu mempersilakan Bung Karno naik mobilnya, dan Said sendiri yang menjadi sopir. “Berangkatnya ya kluyar-kluyur begitu saja. Waktu di Tunjungan ya ndak ada orang lihat. Kalau mobil itu dinaiki Bung Karno, waduh pasti gemruduk,” kenang Said lagi.
Kosongkan Bioskop
Akhirnya mereka selamat sampai ke Grahadi. Sementara itu, Soetejo berhasil mengumpulkan sejumlah kendaraan yang dipinjam sana-sini untuk mengantar anggota rombongan ke Grahadi.
Masalah berikutnya, Said dkk. harus menyiapkan penginapan (hotel) untuk rombongan besar itu. Untuk itu butuh sedikitnya dua jam. Bagaimana membuat Bung Karno betah menunggu?
Said punya akal. Dia lalu menawari Bung Karno menonton film di bioskop Maxim. Bung Karno tak keberatan. “Ya, sudah diatur sana”, kata Bung karno seperti ditirukan Said.
Said mengatakan, segera setelah itu dirinya bergerak lagi. Film yang sudah setengah main dibubarkan. Alasannya tentu bukan karena presiden mau nonton, tapi alasan teknis. Bioskop pun dikosongkan. Tapi ada soal lain, pemilik bioskop grogi, karena kursinya masih penjalin dan (ini dia) banyak tinggi (kepinding)-nya. “Masak Presiden disuruh duduk di kursi penuh tinggi?” katanya.
Tak kurang akal, Said memborong koran yang dijual di sekitar bioskop. Untuk apa? Untuk lemek (alas) kursi, agar pantat tak diserbu tinggi (binatang tengau). Setelah semua siap, Bung Karno dan rombongan pun berangkat.
Karena jaraknya dekat, Bung Karno memilih jalan kaki menyusuri jalan Gubernur Suryo menuju Maxim. “Saya ndredheg juga, takut ketahuan masyarakat. Untungnya ndak ada yang tahu, padahal Bung Karno ndak pake penyamaran apapun. Ya, seperti rombongan keluarga biasa saja,” kata Said.
Sampai di Maxim, Said memberitahu Presiden soal kursi penjalin (rotan) dan binatang tinggi itu. Untungnya, Bung Karno tak keberatan. Begitu film main, Said langsung kabur lagi ke Grahadi.
“Lumayan, punya tambahan waktu dua jam. Saya sampai ndak tahu judul filmnya apa. Saya ndak sempat ngopeni filmnya, wong ribut cepak-cepak,” ujarnya.
Selama Bung Karno nonton, Said dkk mengatur hotel. Bung Karno sendiri menginap di Grahadi. Begitu rombongan pulang (juga dengan jalan kaki), semua beres. “Lega rasanya. Sampai sekarang, Roeslan tak akan lupa peristiwa ini. Kalau ketemu dia selalu bilang, Koen iki ono Presiden kok dijak ndelok bioskop seng akeh tinggine,” kata Said.
Bagi Said sendiri, inilah pekerjaan yang dianggap paling mengesankan sepanjang hidupnya. “Itu yang saya anggap pekerjaan paling besar yang pernah saya lakukan,” kata Said.
Mengapa? “Karena merahasiakan kehadiran kepala negara, waktunya mepet dan mendadak lagi. Itu seni. Bung Karno sendiri ndak ada keluhan. Besoknya waktu mau pulang beliau malah bilang terima kasih,” kata Said.
Masih dengan nada bangga, Said melanjutkan, “Waktu itu saya masih mayor, terus punya pikiran seperti itu, dan ndak ditolak Bung Karno. Apa ndak hebat?”
Pengagum Bung Karno
Orang boleh heran oleh cerita Said, tetapi sebenarnya hal itu bukan hal yang aneh. Karena ternyata diam-diam Said pengagum Bung Karno juga. Dalam wawancara dengan Surabaya Post, ia tiba-tiba mengungkapkan keinginannya mencari penerbit yang mau menerbitkan kembali buku yang disusunnya pada 1961 silam. Buku yang tebalnya kurang-lebih seribu halaman itu merupakan kumpulan pidato Bung karno sejak 1945 sampai 1961.
Said mengatakan, dia menerbitkan buku itu waktu dirinya masih mayor. Ejaannya juga masih lama. “Saya lagi mencari penerbit yang mau menerbitkan lagi,” kata Said kepada Nanang Krisdinanto dari Surabaya Post.
Sepengetahuan Surabaya Post kemudian, sejumlah orang yang ternyata masih menyimpan buku yang disusun Moch. Said itu. Buku berjudul Pedoman Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu diterbitkan oleh penerbit “Permata” Surabaya. Buku ini terdiri dari dua jilid, seluruhnya 2.723 halaman dan jilid pertama saja tebalnya 1.340 halaman.
Isinya selain pidato-pidato Bung Karno setelah kemerdekaan, juga ada pidato pembelaan Bung Karno ketika diadili pengadilan langraad di Bandung pada 1930 berjudul Indonesia Menggugat. Disertakan pula risalah yang ditulis Bung Karno saat beristirahat di daerah Pengalengan, Bandung, pada 1933.
Dalam kata pendahuluan (pengantar) yang ditulis pada 5 Juli 1961, Moch. Said sebagai penyusun antara lain mengatakan, buku itu disusun setelah Bung Karno memberikan amanat di Hari Ulang Tahun Kodam VII (sekarang Kodam V) Brawijaya pada 17 Desember 1960. Dalam amanat itu, Bung Karno memerintahkan agar Manipol/Usdek, yang telah ditetapkan menjadi haluan negara, dipelajari dan dilaksanakan dengan seksama.
“Untuk menjunjung tinggi amanat tersebut di atas, dengan persetujuan Penguasa Perang Daerah Jawa Timur beserta para anggota badan pembantunya, dan dengan restu P.J.M Presiden/Panglima Tertinggi, kami beserta staf kami, melangkahkan usaha untuk menyusun buku, guna disajikan kepada para pejabat, para pemimpin baik militer maupun sipil pada khususnya, dan kepada segenap masyarakat Indonesia pada umumnya”, tulis Moch. Said.
Di halaman depan tertulis, “Disusun oleh: Maj. Moch. Said, Kepala Seksi B.K.I Peperda/Perdamilda Djawa Timur”.
“Ternyata, meski dulu termasuk pendukung Orde Baru, Anda Soekarnois juga?” tanya Surabaya Post.
“Ya, Soekarnois tapi ndak nemen-nemen, wong sering diseneni,” kata Said dengan tertawa lepas. “Saya ini sering diumbah Bung Karno, angger ketemu diseneni. Saya dibilang anti-komunis, komunis phobia. Tiap Bung Karno ke sini keamanannya kan saya, jadi pasti ketemu. Ya, tiap ketemu itu saya diumbah ha-ha-ha…Tapi saya merasa disayang Bung Karno, kok. Diseneni itu artinya kan masih diperhatikan, disayang.”
Ditanya apakah tak takut Pak Harto, Said mengatakan buku itu disimpan baik-baik. Ya, ini makanya disimpen sampai dimakan rayap nggak karu-karuan. Tinggal satu ini, ndak tau toko mana yang masih punya. Saya menerbitkan ini kan dulu sebelum Orde Baru. Kira-kira punya teman-teman sudah pada dibakar,” tambah Said dengan tertawa pula.
Surabaya Post, 28 Mei 1999
–dph
Buku tersebut bila ditulis dan diterbitkan lagi …sekarang, pasti laku keras, Mungkin Mas Sandi bisa menerbitkan buku ini lagii