Surabaya pernah sangat tersanjung ketika klub sepakbola Niac Mitra merajai kancah sepak bola nasional. Hingga kini, jejaknya masih tertinggal dalam ingatan pecinta yang merindukannya.
Surabayastory.com – Mengenang NIAC Mitra, kita akan dibawa meniti kembali jejak keindahan kompetisi sepak bola Indonesia. Ketika kompetisi masih dibagi dua: galatama (profesional) dan perserikatan (klub sepak bola lokal). Kala itu, sepertinya sepak bola sangat menarik, disertai semangat kedaerahan yang tidak sempit, kompetisi yang kompetitif, serta fanatisme yang kental. Meski bersaing, tak pernah terbetik sedikitpun mengusik perbedaan ras dan agama. Sepak bola, jadi olahraga fanatis yang mendewasakan.
Dalam rentang sejarah sepak bola Indonesia, sepak bola yang telah menjadi kegemaran di pelosok negeri, telah lahir klub-klub sepak bola yang telah membukukan cerita. Tentang persaingan, keringat, airmata, dan cerita-cerita yang berujung ironi.
Kita lihat saja, klub-klub yang pernah berjaya di masa lalu, kini hanya tertinggal nama. Kenangannya timbul tenggelam, dan perlahan musnah dalam ingatan orang-orang muda yang terus lahir tanpa membaca masa lalu.
Para pembaca, kali ini, kita akan bicara tentang NIAC Mitra. Bagi para pecinta sepak bola Indonesia yang mengenyam era Perserikatan dan Galatama, nama NIAC Mitra adalah klub yang pernah berjaya dari Surabaya dan menjadi legendaris saat ini.
Jejak Sang Raksasa
NIAC Mitra memang klub legendaris. Di zamannya ia adalah raksasa. Klub paling paling sukses di era kompetisi Galatama. Pernah menaklukkan Arsenal (Inggris) di kandang sendiri, hingga para pemainnya menjadi inspirasi bagi anak-anak muda tentang bintang sepak bola.
Jejak NIAC Mitra dimulai tahun 1979, ketika menjadi salah satu klub pendiri kompetisi sepak bola Galatama Indonesia bersama Pardedetex, Jayakarta, Indonesia Muda, dan Warna Agung. Sebagai catatan, Kompetisi Galatama Indonesia termasuk kompetisi sepak bola tertua di Asia. Liga Profesional Jepang (J-League) pernah belajar pada Galatama. J-League baru diputar tahun 1993.
Dengan permainan yang yahud, didukung para pemain yang mumpuni, membuat NIAC Mitra jadi idola Torsedor (julukan supporter NIAC Mitra). Setiap pertandingannya selalu penuh penonton.
Popularisme NIAC Mitra semakin terdongkrak setelah menjadi juara di Turnamen Piala Emas Aga Khan 1979 di Pakistan Timur (saat ini dikenal dengan Negara Bangladesh). Sementara klub idola Surabaya lainnya, Persebaya, sedang menurun prestasinya.
Turnamen Piala Emas Aga Khan adalah cikal-bakal Liga Champions Asia. Sejak tahun 1960 Indonesia selalu mengirimkan wakilnya ke turnamen bergensi itu, diantaranya adalah PSM Makassar, PSMS Medan, Persib Bandung, Tim PON Aceh, Persebaya Surabaya dan NIAC Mitra.
Di turnamen 1979 ini, NIAC Mitra menghadapi lawan-lawan tangguh, terutama dari Korea Selatan dan China. Di babak penyisihan, NIAC Mitra mengalahkan Korea Selatan 4-1. Di partai berikutnya mengalahkan Liaoning (China) dengan skor 2-1. Di final, NIAC Mitra bertemu lagi dengan Liaoning, wakil China. Di partai puncak ini NIAC Mitra menang 4-2 lewat adu penalti. Kemenangan ini semakin lengkap setelah Dullah Rahim juga dinobat kan sebagai Pemain Terbaik.
NIAC Mitra semakin disukai ketika menuai zaman keemasan kala diperkuat pemain asing legendaris dari Singapura, Fandi Achmad dan David Lee. Puncak itu diraih kala menjuarai kompetisi Galatama tahun 1981/82, 1982/83, dan 1986/87. Surabaya punya dua idola: Persebaya Surabaya di Perserikatan dan NIAC Mitra di Galatama.
Bagaimana kehebatan NIAC Mitra lahir? Sebenarnya klub besar ini bermula dari perkumpulan sepak bola karyawan perusahaan industri bioskop milik Alexander Wenas. Nama awalnya adalah klub Mentos Surabaya. Setelah rutin berlatih dan mematangkan diri, kemudian mencoba ikut liga internal Persebaya, dan namanya berubah jadi PS Mitra. Ternyata hasilnya tak dinyana, mampu menahan klub besar saat itu, Warna Agung 1-1. Hasil ini membuat Wenas tergerak untuk lebih serius dan membuat PS Mitra jadi klub sepak bola profesional. Namanya kemudian dibakukan menjadi NIAC Mitra, 14 Agustus 1978. NIAC berasal dari singkatan dari New International Amusement Center, induk usaha Wenas.
Setelah itu NIAC Mitra mulai berkiprah di kompetisi Galatama yang pertama kali diputar. Di musim pertama Warna Agung menjadi juara. NIAC Mitra kemudian berbenah dengan memantapkan skuad pemain. Ada pemain-pemain berkualitas saat itu seperti Djoko Malis, “Si Kepala Emas” Syamsul Arifin, Rudy William Keltjes, Rae Bawa, Dullah Rahim, Jaya Hartono, M.Zein Alhadad, Yessy Mustamu, Yudi Suryata, Hanafing, Fandi Ahmad dan David Lee.
Dari luar lapangan, pelatih M Basri juga menjadi legenda. Basri telah mampu melahirkan super tim dengan permainan yang menarik untuk disaksikan. Gaya permainan Basri adalah semua pemain harus disiplin menguasai bidang lapangan. Di saat kehilangan bola, pemain yang paling dekat dengan bola harus dengan cepat mempersempit gerak lawan dan segera merebut bola. Setelah itu, bola harus cepat digulirkan cepat untuk menyerang. Para torsedor NIAC Mitra menyebutnya dengan strategi Buser alias buru sergap.
Setelah musim pertama gagal, NIAC Mitra dengan meyakinkan menjuarai kompetisi ini dua musim berikutnya berturut-turut. NIAC Mitra semakin perkasa sebagai klub dengan produktivitas tertinggi (memasukkan 102 gol, 3 gol di antaranya bunuh diri) musim 1981/1982. Striker Syamsul Arifin mencetak 30 gol sepanjang musim. Sebuah rekor yang sulit ditandingi hingga saat ini.
Mengalahkan Arsenal
Selain kejayaan di kompetisi Galatama, kehebatan NIAC Mitra yang terus dikenang adalah ketika berhasil mengalahkan jawara Liga Premiership Inggris, Arsenal. Dalam lawatannya ke Indonesia, klub London berjuluk Gudang Peluru itu menyerah 0-2 di stadion Gelora 10 November Surabaya. Sorak-sorai 30.000 penonton yang memadati stadion menjadi saksi pertandingan bersejarah 16 Juni 1983 itu. Dua gol dipersembahkan Fandi Ahmad (menit ke-37) dan Djoko Malis (menit ke-85).
Pihak Arsenal yang diperkuat pemain-pemain top masa itu (David O’Leary, Graham Rix, Pat Jennings, Alan Sunderland, Kenny Sansom, dan Brian Talbot) mengaku kelelahan dan tak tahan dengan cuaca Surabaya yang panas. Di Indonesia, Arsenal sebelumnya menang atas PSMS Medan dan PSSI Selection dengan skor telak, 0-3 dan 0-5.
Namun, apapun yang telah terjadi, kemenangan NIAC Mitra ini jadi catatan sejarah yang bisa dibanggakan hingga saat ini. Karena belum ada klub Indonesia yang bisa mengalahkan jawara Premiership Inggris hingga saat ini. Kemenangan ini akan selalu dikenang.
Senja Kala NIAC Mitra
Setelah memenangi kompetisi Galatama musim 1982/1983, Fandi Ahmad menerima pinangan klub Liga Utama Belanda, FC Groningen. David Lee juga ikut meninggalkan Indonesia. Hengkangnya dua pemain asing ini setelah PSSI membuat aturan baru yang melarang adanya pemain asing. Sebuah peraturan yang hingga saat ini dipandang aneh. NIAC Mitra semakin terguncang ketika para pemain lainnya juga keluar dengan berbagai alasan. Pemain bintang Djoko Malis, Rudy William Keltjes, dan Yudi Suryata ke Yanita Utama (Bogor).
NIAC Mitra sepertinya tak menduga jika para pemain seniornya akan berbondong-bondong keluar. Proses regenerasi pemain juga tak berjalan mulus. Kerjasama antara pemain senior dan yunior juga terhambat. Akibatnya, permainan NIAC Mitra menurun drastis. Kekalahan demi kekalahan diderita hingga para torsedor perlahan meninggalkan arena.
Dominasi NIAC Mitra runtuh. Empat musim berikutnya NIAC Mitra tak tentu arah. Juara kompetisi kemudian didominasi Yanita Utama dan Krama Yudha Tiga Berlian (KTB). NIAC Mitra segera berbenah. Perubahan total dilakukan dengan menyiapkan susunan pemain inti baru. Dan hasilnya, NIAC Mitra bisa kembali ke puncak dan meraih kampiun juara kompetisi Galatama 1987/1988.
Baru sebentar mengecap manisnya juara, klub ini kembali terguncang. Lagi-lagi karena aturan PSSI. Pemilik NIAC Mitra kecewa dengan peraturan baru yang menyatukan kompetisi perserikatan dengan galatama. Wenas mulai lelah dengan aturan yang menurutnya telah mengganggu eksistensi klub. Dan NIAC Mitra kemudian resmi mundur dan dibubarkan. Perpisahan disampaikan lewat pertandingan melawan Johor Malaysia, 24 September 1990. NIAC Mitra kalah 1-5 di pertandingan itu. Dan air mata perpisahan tak bisa terelakkan. –sa