Rasa cinta pada Bung Karno tidak hanya lahir dari hasil pergulatan logika dan pikiran. Ia bisa datang dari sebuah mitos, kepercayaan, sebuah wacana yang punya daya cengkeram kuat di dalam sanubari.

Surabayastory.com – Kisah tentang Bung Karno memang tak pernah basi. Ratusan buku telah ditulis orang, di dalam maupun luar negeri. Tetapi orang tidak pernah berhenti untuk membeli dan menikmati. Buku-buku tentang Bung Karno memang selalu menarik, meskipun sebagian diantaranya lebih merupakan “daur ulang” dari buku-buku atau tulisan-tulisan di berbagai media yang telah terbit sebelumnya.
Pada 2009 ini, misalnya, terbit buku “Bung Karno: Diantara Saksi dan Peristiwa”. Buku 179 halaman yang diterbitkan Penerbit Kompas ini disunting oleh Farel M. Risqy. Tulisan-tulisan di dalam buku ini pernah diturunkan di harian tersebut.
Salah satu tulisan yang menarik adalah kisah Dewi Soekarno tentang Bung Karno menjelang wafatnya pada pertengahan tahun 1970.
“Pada saat Bapak meninggal 21 Juni 1970 berdekatan dengan Hari Kemerdekaan dan Pemilu. Mungkin Jenderal Soeharto tidak merasa enak kalau Bapak masih hidup, jadi dia pendekkan kehidupan Bapak. Saya yakin karena the way he died was not natural (cara meninggalnya tidak wajar, Red),” ujar Dewi.
Menurut Dewi, menjelang meninggalnya Bung Karno sangat menderita, dengan mengeluarkan suara mengorok yang keras sejak pukul 18.00 WIB sampai pada waktu meninggalnya sekitar pukul 04.00 WIB dini hari.
“Setelah itu, saya meminta lima dokter untuk memberi laporan pada saya. Mereka katakan, Ibu, kami tidak bisa kasih laporan apa-apa karena ini perintah dari atas. Siapa yang dimaksud dari atas, ya otoritas, tentu saja Jenderal Soeharto kan,” ujarnya.
Setelah Bung Karno meninggal, Dewi mengungkapkan bahwa dirinya bertanya pada dokter-dokter kenalannya di Amerika dan Prancis. Ia gambarkan bagaimana Bung Karno meninggal dengan suara ngorok yang keras. Semua dokter bilang, hal itu kelihatannya seperti orang yang bunuh diri dengan banyak minum obat tidur. Orang yang meninggal karena pil tidur atau injeksi akan mengorok selama berjam-jam. “Padahal bukan kebiasaan Bapak menggunakan obat tidur,” tutur Dewi.
Kisah Dewi tersebut adalah satu diantara 25 kisah tentang Bung Karno. Kisah-kisah tersebut dibadi tiga bab, yakni” Bab Ajaran dan Pemikiran”, kedua”Di Tengah Saksi dan Peristiwa”, dan”Sebelum dan Sesudah Berlalu”.
Kisah-kisah atau laporan-laporan di ketiga bab tersebut memang sangat menarik, seperti kesaksian Dewi di atas. Di bab satu, ada laporan bagaimana buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno banyak dicari orang di mana-mana, bahkan ada yang berani membeli 4.000 dollar AS.
Di bab tersebut juga ada kisah tentang Bung Karno dan Wahyu Jayabaya, mengapa Bung Karno dulu sering mengutip ramalan Raja Kediri abad ke-11 tersebut, juga tentang kunjungan Bung Karno ke Petilasan Raja Jayabaya di Desa Menang, Kediri. Selain itu, juga ada kisah tentang Riwu Ga, seorang laki-laki suku Sabu dari Flores yang mengikuti Bung Karno sejak masa pembuangan hingga kemerdekaan. Bahkan terus berhubungan dengan Bung Karno hingga 1965.
Kisah Inggit Ganarsih, yang menikah dengan Bung Karno pada 1923, adalah kisah lain dari sisi kehidupan Soekarno. Perempuan bukanlah seorang pahlawan seperti Christina Marta Tiahahu, pahlawan nasional dari Maluku, juga tidak seperti Jeanne d’Arc, pahlawan putri nasional Prancis yang mengangkat pedang mengusir Inggris dari tanah airnya. Tetapi Inggit adalah perempuan yang setia mengikuti Bung Karno saat dalam kesulitan, memberi inspirasi dan mendorong semangatnya. Oleh karena itu pantaslah kalau Inggit menerima gelar pahlawan nasional.
Konspirasi Barat
Tulisan tentang Operasi M16 dan CIA mendongkel Bung Karno tak kurang menariknya. Tetapi jangan bayangkan Anda disuguhi tulisan serius seperti laporan “Soekarno’s Confrontation with United States: December 1964-September 1965” dan laporan-laporan serius sejenis yang menunjukkan konspirasi Barat, terutama Inggris dan AS, untuk menggulingkan Bung Karno.
Kisah yang ditulis dalam buku ini lebih menunjukkan sifat kemanusiaan Bung Karno di tengah niat CIA untuk menyingkirkannya, khususnya menyangkut pilot Amerika Allen Pope. Pilot tersebut tertangkap ketika sebuah pesawat pembom B-26 ditembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958, setelah berhasil menenggelamkan sebuah kapal ALRI. Pope, yang ternyata agen CIA yang diutus dari pangkalan udara Clark, Filipina, akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Amerika Serikat sangat malu karena niat jahatnya ketahuan. Tetapi Bung Karno masih berusaha menyelamatkan muka Washington. Allen Pope tak pernah diadili dan hanya dikenai tahanan rumah berkat kunjungan Jaksa Agung Robert Kennedy yang menemui Bung Karno. Dengan jiwa besar, Bung Karno membebaskan Allen Pope.
“Saya tidak mau memakai soal ini sebagai propaganda. Sekarang pergilah. Kamu diam-diam saja di Amerika. Jangan kelihatan di depan umum. Jangan memberikan wawancara. Jangan mengeluarkan pernyataan. Kamu pulang saja, sembunyi, menghilang, dan kita lupakan saja apa yang terjadi”, kata Bung Karno.
Maka, Pope pun kembali ke tanah airnya tanggal 2 Juli 1962 berkat kebaikan hati Bung Karno. Tetapi apa yang membuat buku ini lebih menarik adalah kiprah orang-orang asing yang punya kedekatan dengan Bung Karno. Pertama adalah kisah Molly Bondan, seorang perempuan Australia yang membantu Indonesia sejak kemerdekaan. Kedua, adalah Thomas Atkinson, seorang warga Negara Inggris. Keduanya punya kedekatan dengan Bung Karno, dengan membantu menuliskan pidato dalam bahasa Inggris.
Molly Bondan dan Thomas Atkinson memang punya jasa terhadap negeri ini. Keduanya membantu republik ini dengan menjadi, antara penerjemah pidato-pidato Bung Karno dalam Bahasa Inggris. Keduanya juga menjadi “corong” republik ini. Molly pernah bekerja sebagai penyiar RRI, sementara Atkinson bekerja sebagai perwakilan kantor berita Antara di London sebelum ditarik di Deplu Jakarta, dan bekerja sebagai penerjemah hingga meninggal pada 1962 karena sakit.
Bung Karno memang punya kelas tersendiri ri mata tokoh-tokoh dunia. Howard Palfrey Jones, Dubes AS untuk RI 1960-an, mengatakan, “Ia (Soekarno) mempunyai otak seperti seekor gajah. Pada masa-masa di penjara, ia membaca dan membaca, dan tampaknya ia tidak melupakan satu pun. Ia dapat mengutip kata-kata para pengarang hingga panjang dan tepat. Tentang sosialisme dan revolusi, sebagian besar para pengarang terkenal, Prancis, Jerman, Inggris, Italia, Ceko, Rusia, Belanda, Amerika, Jepang. Dalam pidato yang sama, ia bisa mengutip kata-kata Thomas Jefferson dan Lenin, khususnya pada saat ia memimpin dengan netral dan merangkul keduanya (blok Barat dan Komunis).
Sementara Norodom Sihanouk, Raja Kamboja dari tahun 1941 sampai 1955 dan tahun 1993 sampai 2004 menyatakan, “Soekarno ahli bahasa yang ulung. Ia menguasai bahasa Belanda, Prancis, Jerman, juga bahasa Pali, bahasa suci India kuno yang masih digunakan biarawan Buddha. Bahasa Inggrisnya Inggrisnya luar biasa. Saya bisa bercakap-cakap tanpa memerlukan penerjemah dengan bahasa Prancis.”
Sosok Soekarno seakan seperti sumur tanpa dasar. Ditimba setiap hari, tapi pernah ada habisnya. Dieksplorasi dari banyak sisi juga tak kunjung menciut. Soekarno justru membesar dari waktu ke waktu. Tak ada rasa bosan untuk membaca dan menggali Soekarno, tak pernah kunjung usai untuk mendalami pikiran dan sepak terjangnya yang telah mengguncang dunia. Dengan slogan ingin bangsa Indonesia tidak minder, sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia, Soekarno telah membangkitkan jiwa bangsa Indonesia sepanjang hayatnya.
Kisah-kisah yang tertulis dalam berbagai buku dan catatan, membuka wawasan dan inspirasi bagi anak bangsa Indonesia. –dph