Pecahnya Perang Jawa telah mengagetkan pemerintah kolonial Belanda. Di sini jejak perlawanan masyarakat Jawa pada kolonialisme dan imperialisme mulai berkobar.
Surabayastory.com – Ketika Perang Diponegoro meletus tahun 1825, Mataram sudah dipecah-belah oleh Belanda menjadi dua kerajaan dan dua kadipaten, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunan Surakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Pangeran Diponegoro adalah salah seorang pangeran di Kesultanan Yogyakarta.
Sejak awal Sang Pangeran tidak suka dengan kehadiran Belanda di Istana Keraton. Pangeran Diponegoro selalu menampakkan sikap kritisnya. Ini bukan hanya karena kehadiran orang Belanda dalam pemerintahan tapi juga karena pengaruh budaya barat yang dibawa oleh elit Belanda.
Smissaert yang diangkat sebagai residen Yogyakarta sejak tahun 1823 dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta.
Salah satu strategi yang diterapkan Smissaert adalah jarang sekali melibatkan Pangeran Diponegoro yang menjadi salah seorang Wali dari Hamengkubuwono V, dalam urusan pemerintahan. Smissaert berhasil. Tak betah dengan situasi seperti itu, Sang Pangeran meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo.
Sejak itu gagasan-gagasan untuk menentang kekuasaan Belanda terus memenuhi benak Sang Pangeran. Kalangan VOC yang menjajah Keraton juga mulai mewaspadai Pangeran Diponegoro dan gerakannya. Apalagi di Tegalrejo Sang Pangeran sangat intens berinteraksi dengan berbagai kalangan masyarakat.
Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo dalam rangka membuat jalan baru memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok). Awalnya jalan dari Yogyakarta ke Magelang itu direncanakan lewat Muntilan, tapi kemudian untuk memancing kemarahan Pangeran Diponegoro dibelokkan ke Tegalrejo, melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Tanpa seizin darinya, Belanda mematok tanah itu. Merasa terusik dengan tindakan penjajah itu, Diponegoro memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu.
Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberanian luar biasa pengikut Pangeran Diponegoro kembali mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka.
Usai insiden pencabutan patok, pada tanggal 20 Juli 1825 sore, rakyat berduyun-duyun berkumpul di kediaman Diponegoro di Tegalrejo dengan membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, lembing dan lain-lain. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda.
Mendengar perbuatan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya Belanda gusar. Mereka mengutus Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro ke keraton. Diponegoro menyatakan bersedia datang ke kraton, dengan jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak mau kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro tidak memenuhi panggilan Belanda.
Membentuk Pasukan Jawa
Selanjutnya Sang Pangeran mengkosolidasikan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan). Apalagi Pangeran Mangkubumi telah memutuskan untuk bergabung dengannya.
Melihat kegagalannya mendatangkan Diponegoro ke istana, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Karena tidak tercapai kesepakatan, terjadilah pertempuran.
Sementara tentara Belanda bersenjatakan senapan laras panjang, pasukan rakyat hanya memegang senjata tradisional seperti tombak dan keris. Peperangan sungguh berjalan tak seimbang. Dalam waktu sekejab sisi utara, timur dan selatan medan perang telah dikepung pasukan Kumpeni Belanda bersenjata lengkap. Laskar yang tinggal di sisi barat terus melakukan perlawanan keras. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Karena persenjataannya tak berimbang, laskar rakyat terdesak mundur. Di saat laskar rakyat tidak berdaya, tiba-tiba seorang pria berjubah dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, dengan mengendarai kuda putih muncul. Dia memberi komando agar laskar yang tersisa memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan laskar dan keluarganya. “Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai” ujarnya dalam hati.
Itulah gambaran situasi pada tanggal 20 Juni 1825 saat pasukan Belanda menyerang Puri Tegalrejo, tempat kediaman keluarga Diponegoro. Itu adalah awal perang yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro (1825 – 1830).
Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya akhirnya berhasil lolos dari serangan Belanda menuju barat hingga mencapai Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo. Di sini ia mengungsikan keluarganya, anak-anak dan orang yang sudah lanjut usia. Ia kemudian meneruskan perjalanan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro akhirnya melampiaskan kemarahannya dengan membakar habis kediaman Pangeran Diponegoro.
Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya akhirnya menjadikan Bukit Selarong sebagai markas perjuangan. Di sini ia juga membangun benteng pertahanan.
Langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.”
Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Daerah Selarong menjadi penuh sesak oleh pasukan rakyat yang dengan antusias bersiap siaga mengangkat senjata melawan Belanda!
Seorang ulama besar dari daerah Mojo Solo, Kiai Mojo, yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro. Ia bahkan menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda.
Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar, juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Tokoh Islam lainnya, Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) juga menyatakan dukungan terhadap Diponegoro.
Selain itu Pangeran Diponegoro juga mendapatkan dukungan dari sebagian kalangan istana dan para bupati. Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan.
Di kawasan Goa Selarong, pangeran beserta pasukan pria menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.
Di Goa Putri ini ditemukan sejumlah alat rumah tangga yang terbuat dari kuningan terdiri dari tempat sirih dan “kecohan”-nya (tempat membuang ludah), tempat “canting” (alat untuk membatik), teko “bingsing”, bokor hingga berbagai bentuk “kacip” (alat membelah pinang untuk makan sirih).
Dari segi persenjataan memang Pasukan Pangeran Diponegoro kalah jauh dibanding Belanda. Senjata yang dipakai rakyat sebatas senjata tradisional, mulai dari tombak, keris, pedang, panah, “bandil” (semacam martil yang terbuat dari besi), “patrem” (senjata prajurit perempuan), hingga “candrasa” (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yang biasa digunakan “telik sandi” (mata-mata) perempuan.
Dua senjata keramat semasa Perang Diponegoro adalah sebuah keris dengan lekukan 21 bernama Kyai Omyang, buatan seorang empu yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit dan pedang yang berasal dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut memiliki energi kesaktian yang hebat. Namun sayangnya, keris milik Pangeran Diponegoro justeru tidak ada di Indonesia dan hingga kini masih disimpan di Belanda.
Tepat tiga minggu sesudah insiden penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro melakukan penyerbuan terhadap Istana Yogyakarta dari segala penjuru dengan kekuatan 6.000 pasukan. Pasukan ini terdiri dari tiga kelompok, yang pertama dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar, saudara dari Diponegoro yang juga seorang putra dari Sultan III. Pasukan pertama ini bergerak dari arah timur dan menyerbu Dalem Pakualaman. Mereka menghancurkan jembatan Kali Code, membakar perkampungan orang-orang Cina dan Eropa.
Kelompok kedua dipimpin oleh Pangeran Adinegoro. Mereka berhasil menguasai jalan penghubung Yogya-Magelang-Surakarta serta merusak gerbang-gerbang pajak.
Kelompok ketiga di bawah pimpinan Pangeran Blitar, bergerak dari arah selatan dan menguasai jalan raya Bantul. Pasukan ini berusaha merebut keraton. Rumah para bupati (Tumenggung) yang dianggap lawan dirusak, dijarah, dan dibakar.
Dalam penyerbuan tersebut, pasukan Diponegoro juga menjarah gudang-gudang logistik dan mengangkutnya ke luar kota. Penjarahan ini mengakibatkan sebagian besar penduduk Yogyakarta menderita kekurangan bahan makanan. Sultan Hamengkubuwono V berhasil diselamatkan dan diberi pengawalan ketat di benteng Vredenburg. Sedangkan Keraton Yogyakarta berhasil dipertahankan oleh pasukan Pengawal Keraton yang dipimpin oleh Mayor Wironegoro, tanpa menimbulkan kerusakan berarti.
Menduduki Yogyakarta Tujuh Hari
Setelah itu Istana Yogyakarta tidak diduduki oleh pasukan Diponegoro, melainkan hanya diisolasi. Pasukan Diponegoro memblokade semua jalan masuk ke kota dan berjaga-jaga di pinggir kota. Praktis, Yogyakarta menjadi kota mati dan kekurangan pangan. Tawanan dan barang-barang rampasan dibawa ke Selarong. Pasukan Diponegoro berhasil menduduki Yogyakarta selama tujuh hari.
Serbuan itu berdampak luas. Para tumenggung dan demang bawahan, melakukan mobilisasi pasukan untuk melakukan perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro. Akibatnya, dalam waktu singkat hampir seluruh wilayah Kesultanan bergolak. Satu-satunya kekeliruan strategi pasukan Diponegoro adalah mereka tidak sepenuhnya menduduki Istana. Terutama keraton yang menjadi simbol kekuasaan, sekalipun objek vital lainnya berhasil direbut.
Perang kemudian berkobar meluas ke segala penjuru tanah Jawa. Laskar tempur pengikut Pangeran Diponegoro tak mudah ditaklukkan, sebab di dada mereka terpendam bara api Semangat Perang Sabil.
Belanda pun mengeluarkan taktik liciknya. Mereka menawarkan tahta dan status tanah perdikan kepada Pangeran Diponegoro. Namun bujuk rayu tawaran tahta dan uang yang terbukti ampuh dalam menyelesaikan pemberontakan Ningrat Jawa pada masa-masa sebelumnya ini tak membuat Pangeran Diponegoro goyah dari tujuannya mendirikan negara yang diinginkannya.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia memutuskan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. –drs, dari berbagai sumber