Surabayastory.com – Ini adalah salah satu cerita terpilih karya HC Andersen, yang diciptakan tahun 1838. Sebuah karya legendaris yang masih dibaca hingga saat ini. Cerita ini akan bisa menjadi teman bacaan di kala liburan seperti sekarang ini. Selamat menikmati.
SUATU ketika, pernah ada seorang pedagang yang begitu kaya sehingga ia bisa memoles seluruh jalan dengan emas, dan itu pun akan tersisa cukup banyak emas untuk mengiasi seluruh gang kecil. Tapi, ia tidak melakukan hal itu. Ia tahu lebih baik nilai uang daripada sekadar menggunakannya berfoya-foya dengan cara ini. Begitu pandainya dia, sehingga ibaratnya setiap peser uang yang ia keluarkan pada akhirnya akan menghasilkan sebuah mahkota. Ini terus berlangsung sampai dia meninggal.
Putranya mewarisi seluruh kekayaan itu. Sayang, putranya hanya mewarisi kekayaannya tapi tidak mewarisi keahlian memanfaatkan hartanya. Beda dengan almarhum pedagang, sang putra justru menjalani kehidupan dengan berfoya-foya. Putra pedagang itu pergi ke tempat pesta dan tempat hiburan setiap malam, membuat layang-layang dari lembaran uang kertas, dan melemparkan keping emas –bukannya batu– ke laut, juga membuat boneka itik dan ayam dari emas. Karena bergaya hidup seperti ini, si putra pedagang segera kehilangan semua hartanya. Hingga akhirnya, tidak satu pun yang tersisa kecuali sepasang sandal terompah, gaun tua, dan uang empat shilling (satuan uang yang dulu banyak dipakai di Negara-negara persemakmuran Inggris –Red).
Semua temannya pun meninggalkan dirinya sendirian. Tidak ada seorang teman pun yang mau berjalan bersamanya di jalan-jalan, kecuali hanya seorang teman yang sangat baik hati dan bijaksana. Saat si putra pedagang itu ditinggalkan, justru teman yang baik hati ini mengirim koper tua dengan pesan tertulis, “Berkemaslah!”
“Ya,” kata si putra pedagang merasa diperolok temannya, “Memang sangat baik untuk berkata ‘berkemaslah’. Tapi, apa yang harus saya kemasi dan ke mana saya akan pergi?”
Karena tidak punya apa-apa lagi untuk dikemasi, ia iseng saja mendudukkan dirinya ke dalam koper. Ternyata, itu koper ajaib yang menakjubkan. Ketika salah satu tombol kuncinya dipencet, koper itu langsung bisa terbang.
Si putra pedagang memang akhirnya menekan tombil kunci. Seketika, koper terbang ke atas cerobong membawa putra pedagang di dalamnya. Terbangnya langsung ke atas menuju awan. Tak pelak, setiap kali bagian bawah koper berderak-derak, si putra pedagang yang ada dalamnya ketakutan setengah mati. Jika koper itu hancur berkeping-keping, ia tentu akan jatuh jumpalitan di atas pepohonan.
Meski demikian, akhirnya, ia bisa selamat di dalam kopernya hingga jauh ke negara Turki. Setelah mendarat, ia menyembunyikan kopernya di hutan di bawah dedaunan kering, dan kemudian pergi ke kota. Ia bisa beradaptasi dengan sangat baik, karena orang-orang Turki selalu bepergian dengan mengenakan pakaian berupa gaun dan sandal terompah. Ia punya semua itu.
Sesaat kemudian, di kota, ia secara kebetulan bertemu seorang perawat yang mengasuh anak kecil. “Hai perawat Turki,” ia menyapa, “Kastil apa itu di dekat kota, yang jendelanya ditempatkan begitu tinggi?”
“Putri raja tinggal di sana,” jawab perawat itu; “Telah dinubuatkan bahwa putri akan sangat tidak bahagia tentang kekasih. Karena itu, tidak ada yang boleh mengunjungi dia kecuali kalau Raja dan Ratu hadir.”
“Terima kasih,” kata si putra pedagang. Maka ia kembali ke hutan, duduk di koper, terbang ke atap kastil, dan merangkak melalui jendela ke dalam kamar putri.
Dari situ, tampak sang putri berbaring di sofa sedang tertidur. Ia begitu cantik sehingga si putra pedagang tidak tahan untuk tidak menciumnya. Tak pelak, sang putri terbangun, dan sangat ketakutan. Tapi, si putra pedagang itu segera mengaku ia adalah malaikat Turki, yang turun melalui udara untuk bertemu dengan sang putri. Mendengar penjelasan itu, sang putri tidak jadi takut dan bahkan jadi senang bukan alang kepalang. Sang putra pedagang itu pun lalu duduk di sisi sang putri dan berbicara. Ia mengatakan mata sang putri seperti danau hitam yang indah, tempat kelebatan pikiran bisa berenang bag putri duyung kecil. Ia mengatakan dahi sang putri bagai gunung bersalju, yang berisi banyak lorong indah penuh dengan imaji. Kemudian, ia menceritakan tentang bangau yang membawa anak-anak dari sungai-sungai. Ini dongeng-dongeng yang menyenangkan sang putri. Maka, ketika ia bertanya kepada putri apakah mau menikah dengannya, sang putri setuju saja.
“Tapi, kau harus datang pada Sabtu,” kata putri; “Saat itu, Raja dan Ratu akan minum teh bersama aku. Mereka akan sangat bangga ketika mengetahui aku akan menikah dengan seorang malaikat Turki. Tapi, kau harus membuat dongeng sangat cantik untuk diceritakan pada mereka. Orang tuaku lebih ingin mendengar dongeng-dongeng daripada apa pun yang lain. Ibuku lebih suka dongeng yang mendalam dan tentang moral, tetapi ayahku suka sesuatu yang lucu untuk membuatnya tertawa.”
“Baiklah,” jawabnya, “Aku akan menghadirkan pernikahan untukmu lebih dari sekadar dongeng.”
Mereka pun berpisah. Tapi, sebelum pergi, sang putri memberinya sebilah pedang yang dipenuhi koin emas. Bekal ini bisa digunakan si putra pedagang untuk bekal.
Ia terbang ke kota dan membeli baju-gaun baru. Setelah itu, ia kembali ke hutan, di mana ia menulis dongeng sehingga siap untuk Sabtu. Meski bukan hal yang mudah, dongeng itu akhirnya siap juga pada Sabtu ketika ia harus pergi menemui sang putri. Raja, Ratu, dan seluruh bangsawan, sudah bersiap minum teh bersama Sang Putri. Si putra pedagang pun diterima dengan sangat sopan.
“Maukah kau menceritakan sebuah dongeng?” kata Ratu, “Dongeng yang instruktif dan penuh pembelajaran.”
“Ya, tapi dengan sesuatu yang lucu di dalamnya sehingga bisa juga untuk ditertawakan,” timpal sang Raja.
“Tentu saja,” jawab si putra pedagang, dan segera memulai mendongeng. Ia meminta Raja, Ratu dan semua yang hadir untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Berikut dongengnya;
Suatu ketika, ada seikat korek api yang sangat bangga dengan martabat tinggi asal-muasal keturunan mereka. Pohon silsilah mereka, yaitu sebatang pinus yang dipotong dan dijadikan batang korek, adalah pohon terbesar dan tertua di dalam hutan.
Saat ini, korek-korek api itu tergeletak di antara kotak lap dan panci besi usang, dan sedang bicara tentang masa-masa muda mereka. “Ah! Kala itu kami tumbuh di atas dahan hijau, dan warna kami sehijau mereka; setiap pagi dan sore, kami mendapat makanan berupa tetes-tetes embun secantik berlian. Setiap kali matahari bersinar, kami merasakan hangat sinarnya, dan burung-burung kecil mengisahkan dongeng-dongeng untuk kita saat mereka bersiul. Kami tahu bahwa kami kaya; pohon-pohon lain hanya bisa mengenakan pakaian hijau di musim panas, tetapi keluarga kami mampu tetap berpakaian hijau pada musim panas maupun musim dingin yang bersalju. Tetapi, pada suatu hari, pemotong kayu pun datang. Seperti ada revolusi besar, keluarga kami pun ditumbangkan oleh kapak. Kepala keluarga kami dijadikan ruas utama untuk kapal yang sangat bagus, dan dapat berlayar keliling dunia kapan pun ia mau. Cabang lain dari keluarga kami dibawa ke berbagai tempat dan untuk berbagai kegunaan. Kami sendiri sekarang berfungsi untuk menyalakan api penerang bagi siapa saja. Ini adalah kisah perjalanan bagaimana mahluk bermartabat tinggi seperti kami hingga sampai berada di dapur.”
Si panci besi usang tak mau kalah. “Keluargaku punya nasib sangat berbeda,” kata ia, sambil berdiri di pinggir korek; “Sejak pertama masuk ke dunia, aku telah digunakan untuk memasak dan menjelajah. Aku adalah yang pertama ada di rumah ini, ketika benda padat dan berguna pertama kali mulai diperlukan. Satu-satunya kesenangan saya adalah dibuat bersih dan bersinar setelah makan malam, dan duduk di tempatku lalu sekadar mengobrol yang masuk akal dengan tetangga. Kami semua, kecuali ember air yang kadang-kadang dibawa ke halaman, tinggal di sini bersama-sama di antara empat dinding. Kami baru bisa mendapatkan kabar di luar sana lewat keranjang belanjaan yang selalu dibawa ke pasar, tetapi ia kadang-kadang mengisahkan hal-hal yang sangat tidak menyenangkan tentang orang-orang dan pemerintahan. Ya, suatu hari, saya pernah dibuat begitu terkejut, hingga jatuh dan berkeping-keping. Dia memang seorang liberal.”
“Kau ini terlalu banyak bicara,” kata si kotak perapian, dan tongkat bajanya memukul batu api sampai beberapa percikan keluar. Ia berteriak, “Kita menginginkan malam yang gembira, bukan?”
“Ya, tentu saja,” kata si korek api, “Mari kita bicara tentang siapa yang terlahir dengan silsilah tertinggi.”
“Tidak, aku tidak suka selalu bicara tentang kita ini dulunya apa,” komentar si panci; “Mari kita memikirkan beberapa hiburan lain. Baik, aku yang akan mulai. Kita akan bercerita tentang sesuatu yang terjadi pada diri kita sendiri; yang akan sangat mudah, dan menarik. Suatu hari, di Laut Baltik, dekat pantai Denmark…”
“Wah, awalan yang cukup menarik!” teriak si piring; “Kita semua akan menyukai cerita seperti itu, aku yakin.”
“Ya; di masa mudaku, aku tinggal dalam keluarga yang tenang, di mana mebel dipoles, lantai dipel, dan tirai bersih dipasang setiap dua minggu.”
“Ah, apa yang menarik dari caramu mendongengkan cerita?” sergah si sapu-karpet; “Mudah sekali diterka bahwa kau berada di masyarakat perempuan, ada sesuatu yang begitu murni yang menggelinding dalam apa yang kau kisahkan.”
“Itu benar,” kata ember air, lalu ia membuat semprotan air dengan sukacita, sehingga memercikkan air di lantai.
Lalu si panci melanjutkan ceritanya, dan bagian akhirnya sama baiknya dengan bagaian awal.
Piring-piring berderak dengan senang hati, dan sapu-karpet menggiring beberapa peterseli hijau keluar dari lubang-debu dan meletakkannya di kepala panci, karena ia tahu itu akan menyakitkan hati, dan ia berpikir, “Jika aku tidak menggodanya hari ini makan dia akan mengganggu aku besok. ”
“Sekarang, mari kita menari,” kata jepitan-api, dan kemudian mereka menari riang dan memasukkan satu kaki di udara. Kursi-bantal, di sudut ruang, meledak dengan tawa ketika melihatnya.
“Apakah aku yang akan digoda sekarang?” tanya si penjepit-api; sehingga sapu menyiapkan karangan bunga lain untuk kepala si penjepit-api.
“Ah, mereka hanya barang-brang biasa,” begitu yang ada di benak korek api. “Beda dengan aku yang berketurunan tingkat tinggi.”
Guci-teh sekarang diminta menyanyi, tapi dia bilang sedang kedinginan, dan tidak bisa bernyanyi tanpa air mendidih. Mereka semua berpikir, itu hanya kepura-puraan karena dia tidak ingin menyanyi kecuali di ruang tamu tempat ada orang-orang besar di meja.
Di jendela, duduk pena tua yang biasa digunakan pelayan untuk menulis. Tidak ada yang luar biasa tentang pena itu, kecuali itu dicelupkan terlalu dalam ke tinta. Tapi si pena justru bangga dengan itu.
“Jika guci-teh tidak mau menyanyi, biarkan saja,” kata si pena. “Masih ada burung bulbul dalam kandang yang dapat bernyanyi; dia mungkin belum banyak diajari menyanyi, tapi kita sekarang tidak perlu mengatakan apa-apa tentang itu.”
“Aku pikir itu sangat tidak pantas…,” kata si ketel teh, yang biasa menjadi penyanyi di dapur, dan masih berkerabat dengan guci-teh, “…jika burung asing yang kaya harus diperdengarkan di sini. Apa ini patriotik? Biarkan si keranjang-pasar saja memutuskan apa yang benar.”
“Tentu saja aku kesal,” kata si keranjang; “Aku kesal dalam hati, lebih kesal daripada apa pun yang bisa dibayangkan. Apakah kita sudah menghabiskan malam ini dengan benar? Apakah tidak lebih masuk akal jika kita merapikan isi rumah? Jika masing-masing berada di tempatnya sendiri, aku akan bisa memimpin suatu permainan; ini tentu cukup menyenangkan.”
“Mari kita bermain drama,” kata mereka semua.
Perdebatan pun terus berlangsung hingga pintu terbuka. Si pelayan masuk. Kemudian, tak satu pun benda-benda di dalam dapur itu yang bergerak. Mereka semua diam membisu. Namun, pada saat yang sama, tidak ada satu di antara mereka yang tidak punya pendapat bahwa dirinya sendiri lah yang lebih tinggi daripada diri yang lain. Maka, mereka pun menunggu apa yang bisa dilakukan jika si pelayan menentukan pilihan.
“Ya, kalau kita telah terpiilih…,” korek-korek api masing-masing berpikir dalam hati, “….kita mungkin akan bisa menghabiskan malam dengan sangat menyenangkan.”
Lalu, si pelayan mengambil korek api dan menyalakan; Duh, mereka tergagap dan menyala!
“Nah….,” pikir si korek, “… setiap benda sudah melihat bahwa kita adalah yang pertama. Bagaimana kita bersinar; apa cahaya yang kita berikan!”
Bahkan, ketika mereka masih berbicara, cahaya pun berakhir.
“Wah… sungguh cerita yang bagus,” kata sang Ratu, “Aku merasa seolah-olah berada di dapur, dan bisa melihat korek-korek api itu; Ya, kau boleh menikahi putri kami.”
“Tentu saja,” kata sang Raja, “Kau boleh mendapatkan putri kami.”
Raja mengucapkan kalimat sopan seperti itu karena merasa si anak pedagang itu akan segera menjadi salah satu bagian dari keluarganya. Pada saat itu juga, hari pernikahan pun ditetapkan.
Pada malam sebelum pernikahan, seluruh kota diterangi. Kue dan manisan disajikan gratis pada masyarakat banyak. Anak-anak jalanan berjinjit dan berteriak, “Horeeee,” dan bersiul dengan jari-jari; seolah-olah itu hal yang sangat indah.
“Aku akan memberi mereka hal lain yang lebih menggembirakan,” kata si putra pedagang.
Maka ia pergi dan membeli kembang api, petasan, dan sejenisnya, lalu mengemas mereka ke dalam koper, dan terbang bersamanya ke udara. Di angkasa, ia mulai membakar petasan dan kembang api itu. Suara letusan dan desingan di udara sungguh menyenangkan! Orang-orang Turki, ketika melihat pemandangan seperti itu di udara, melompat tinggi sehingga sandal mereka beterbangan ke telinga. Mereka yakin betul kemeriahan ini adalah bagian perayaan bahwa sang putri benar-benar segera menikah dengan malaikat Turki.
Setelah berpesta kembang api di udara, si putra pedagang segera turun dan menyimpan kopernya di hutan. Belum rampung mengemasi kopernya, si putra pedagang tiba-tiba punya pikir lain, “Aku ingin kembali ke kota sekarang, dan mendengar apa yang mereka pikirkan tentang hiburan tadi.”
Sangat tidak aneh jika ia ingin tahu. Yang agak aneh adalah apa yang dikatakan orang-orang. Setiap orang yang ia tanyai memiliki kisah berbeda tentang hiburan itu, meski semua berpikir itu sangat indah.
“Aku melihat sendiri si malaikat Turki,” kata salah seorang yang ditemuinya; “Ia memiliki mata seperti bintang-bintang berkilauan, dan kepala seperti buih air.”
“Dia terbang dalam mantel api,” seru orang yang lain, “Malaikat-malaikat kecil dan cantik mengintip dari lipatan mantelnya.”
Si putra pedagang itu hanya tersenyum-senyum kecil, merasa sangat puas. Ia mendengar lebih banyak hal baik lagi tentang dirinya, dan mendengar kabar bahwa hari berikutnya ia menikah.
Setelah mendapatkan kabar itu, si putra pedagang kembali ke hutan untuk beristirahat di dalam koper. Tapi, ia kaget sekali. Koper itu lenyap!
Rupanya, percikan dari kembang api masih tersisa di situ dan telah membakarnya; koper itu telah terbakar menjadi abu! Tak pelak, si anak pedagang itu tidak bisa terbang lagi. Ia juga tidak akan bisa pergi untuk menemui calon istrinya. Padahal, sang putri sudah berdiri sepanjang hari di kastil menunggunya, dan kemungkinan besar ia masih menunggu di sana sampai sekarang.
Sementara, si putra pedagang berkelana ke seluruh dunia untuk mendongeng –tapi tak satu pun yang lucu seperti yang ia ceritakan tentang korek api. *