Monumen dipandang sebagai simbol masyarakat. Tetapi bagaimana jika monumen-monumen itu tidak ada lagi di sana? Dari semua monumen yang pernah diketahui oleh Hindia Belanda, Monumen Ratu Emma di Surabaya mungkin memiliki masa hidup terpendek.
Surabayastory.com – Ini adalah cerita tentang sebuah monumen. Letaknya di tengah kota Surabaya. Namun sekarang sudah tak lagi terlihat. Sudah hilang sebelum banyak dikenal, lenyap tak berjejak. Satu-satunya jejak yang tersisa adalah beberapa artikel di media dan beberapa arsip yang disimpan secara individu atau institusi sejarah.
Kali ini, kita akan bercerita tentang jejak monumen yang pernah ada di Surabaya dalam waktu singkat itu. Membuat sebingkai bayangan, dari lahan yang menjadi letaknya di masa silam. Membuat bayangan, apabila monumen itu masih ada sekarang, dan kita bisa menjenguknya.
Dari dulu, Surabaya sebenarnya sudah menjadi kota dengan banyak taman. Dari cerita beberapa orang Belanda yang pernah tinggal di Surabaya di masa kolonial ataupun pasca-kolonial, Surabaya dibangun dengan pohon-pohon teduh yang indah, taman-taman bunga yang cantik, serta monumen-monumen.
Ini adalah salah satu cerita dari anak Belanda yang tengah membuka album lawasnya. Ia bercerita bila dulu keluarganya di Embong Kenongo, sepelemparan batu dari kediaman gubernur yang saat ini dikenal dengan Gedung Grahadi.
Selanjutnya, mari kita berjalan-jalan di masa lalu. Kala itu, didirikan Sekolah Teknik Umum dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 12 Januari 1912. Itu adalah kelanjutan dari dari pendidikan sebelumnya di Sekolah Malam Sipil. Sekolah baru, berdasarkan pendidikan siang hari, memiliki pelatihan untuk insinyur dan masinis kereta. Dengan persetujuan Ibu Suri, ia diberi nama Sekolah Ratu Emma (Queen Emmaschool Soerabaja) berdasarkan keputusan pemerintah 11 Februari 1913. Kemudian, sekolah yang awalnya memiliki masa sekolah 4 tahun dan kemudian kursus 5 tahun, diperluas dengan kursus kimia-teknis. Sepuluh tahun setelah dimulainya, pada 1922, sekolah pindah ke gedung baru di Prins Hendrikkade.
Penentuan Lokasi Emmapark
Di tahun akademik 1935/36, persiapan pertama dibuat untuk perayaan ulang tahun ke-25. Perayaan ini tidak akan diselenggarakan tepat di awal keputusan pemerintah, tetapi setelah selesainya tahun akademik ke-25, di musim gugur 1937.
Bulan Maret 1937, dewan sekolah mengirimkan surat edaran kepada pers setempat yang mengumumkan pembangunan sebuah monumen dengan tujuan untuk menandai hari jadi Ratu Emma. Ratu Emma meninggal pada tahun 1934, dan untuk menghormatinya maka sekolah mendedikasikan namanya pada sebuah monumen. Pada awalnya, sebuah monumen dipertimbangkan di halaman sekolah, tetapi itu tidak cukup, mengingat pentingnya Ratu Emma. Sekaligus mengingatkan bahwa belum ada monumen yang didirikan untuknya di Hindia Belanda. Direktur Ir. JW Halbisch menghubungi walikota Surabaya dan bertanya apakah menurutnya ada ide yang lebih baik untuk menemukan tempat di ruang publik. Dan apakah pemerintah kota dapat mengurus monumen setelah perayaan ulang tahun?
Menurut Walikota itu adalah rencana yang bagus. Dia segera memberikan izin atas nama seluruh dewan kota. Di akhir September, masalah ini disampaikan secara formal kepada dewan kota, dengan walikota Surabaya segera menjelaskan rencananya tentang untuk lokasi monument tersebut.
Menemukan tempat yang baik menjadi pertimbangan utama. Salah satu alternative yang ditawarkan adalah di jalan setapak sepanjang Kali Mas di Ketabang atau Boengkoelpark (Taman Bungkul). Namun kedua tempat tersebut dinilai kurang cocok untuk monumen semacam itu. Karena itu kemudian mereka melirik Kroesenpark (sekarang Taman Apsari depan Gedung Grahadi). Namun di sana sudah ada Patung setengah badan Rambaldo. Patung ini adalah pelopor penerbangan AE Rambaldo (1879-1911). Kemudian atas kesepakatan bersama, patung Rambaldo dipindah ke lingkungan angkatan laut Modderlust di Tanjung Perak. Dan nama taman diubah dari Kroesenpark (dinamai JCTh. Kroesen, yang berada di sana tahun 1888-1896) menjadi Emmapark.
Desain Dipikirkan Matang
Setelah selesai penentuan lokasi, kemudian aktivitas difokuskan pada pembangunan monumen. Komisi persiapan menginginkan sesuatu yang artistik, tetapi pada saat yang sama ingin menampilkan sesuatu yang sederhana. Ini mengingat kesederhanaan luar biasa yang menjadi ciri khas HM Queen Emma.
Desain kemudian digarap oleh seorang arsitek dari Batavia, Jan Martijnse. Dalam desain itu digambarkan: monumen itu menunjukkan kekuatan, tetapi juga kesederhanaan. Material yang dipakai adalah batu gunung, dimaksudkan sebagai lambang kekekalan (kesetiaan yang tidak luntur). Air yang mengalir, yang mengalir dari atas (di belakang monumen), adalah simbol dari perilaku dan ingatan yang selalu hidup. Cawan bunga besar dengan warna bunga ungu adalah penghormatan abadi untuk sang ratu yang mulia. Sementara plakat perunggu di atas tanah dari batu pasir berwarna terang membuat kesan yang sangat terawat. Tulisan di samping plakat dengan patung ratu bertuliskan: “Emmaschool”. Desain ini dipikirkan secara seksama dan memperoleh izin dari pemerintah di Belanda.
Hari Jadi
Fakta bahwa sekolah telah memberitahu media pada bulan Maret tahun itu untuk mengantisipasi izin. Ini berhubungan dengan keadaan di mana pembiayaan yang dipersiapkan belum lengkap. Monumen itu akan ditawarkan kepada pemerintah kota oleh direktur, guru, mantan guru, murid, dan mantan murid sekolah ini. Oleh karena itu, kontribusi keuangan diperlukan dari mereka semua.
Pembangunan monumen terus dilakukan. Secara simultan dilakukan agar monument bisa lekas jadi dan diresmikan.
Akhirnya tibalah saatnya. Saat itu dilakukan pesta sekolah di taman yang luas ini. Dilakukan Senin-Kamis (20-23 Desember 1937). Selain kompetisi atletik, demonstrasi senam, pesta juga diisi dengan malam dansa (dengan penampilan Harry Martinez Band). Ada juga pertemuan resmi untuk semua pejabat tinggi yang diundang. Dalam pidatonya, ketua pergelaran ini, Halbisch, memberikan sketsa sejarah komprehensif tentang pendidikan teknik di Hindia Belanda. Dia juga berterima kasih kepada komunitas bisnis lokal karena memberikan dukungan keuangan tambahan untuk pembangunan monumen.
Di puncak perayaannya adalah pembukaan monumen yang dilakukan sehari kemudian. Media Indische Courant melaporkan: “Sebuah monument besar telah dibangun oleh para siswa sekolah, untuk menghormati para pendiri, sementara tiang ditempatkan di kedua sisi monumen, dihiasi dengan kain oranye, yang menciptakan suasana yang meriah. Di kedua sisi halaman, para siswa KES (Koningin Emma School) berbaris mengenakan pakaian olahraga. Lonceng patriotik menyapa banyak pengunjung dengan gerakan ceria. Ada perhatian besar pada upacara tersebut. Gubernur Jawa Timur dan semua otoritas sipil dan militer, dan pejabat yang diundang hadir. Tokoh-tokoh terkemuka dari dunia komersial, industri dan pendidikan juga tampak di sana. Termasuk pengelola dan staf pengajar Emma School.
Akhir Monumen
Setelah pidato Halbisch dan inspektur Hommes, gubernur Ch. O. van der Plas berbicara. Ia mengakhiri pidatonya dengan kata-kata ini: “Peringatan ini mengingatkan kita akan tugas pekerjaan kita terhadap rakyat Belanda. Semoga itu tetap menjadi monument yang kita semua bisa fokuskan.” Kemudian dia pergi ke prosesi peringatan dan memotong tali, membuka bendera yang menutupi plakat dengan patung Ratu Emma. Ia mengungkapkan monumen ini benar-benar indah, kuat dalam garis namun tetap anggun. Untuk mengakhiri semua ini, sebuah telegram dikirim oleh komite kehormatan kepada Yang Mulia Ratu Wilhelmina.
Sekolah Ratu Emma kemudian berada di waktu yang kuran baik. Beberapa tahun kemudian, komando militer setempat membuat tuntutan besar pada siswa untuk dilatih secara teknis dan kemudian ditempatkan di Dinas Pertahanan Udara. Program sekolah bahkan dipersingkat untuk itu. Para siswa pun menerima diploma mereka sebulan sebelumnya pada tahun 1941. Setelah Jepang masuk, pendidikan dilanjutkan setelah perang. Namun, pada tahun 1950, ketika sekolah akan dimulai kembali, jumlah guru yang bisa mengajar dalam bahasa Belanda ternyata tidak mencukupi.
Berangsur kemudian Emma School meredup hingga akhirnya berhenti. Sejak itu pula Emmapark berganti nama menjadi Taman Apsari. Sekarang di sana telah berganti monumen Gubernur Soerjo, gubernur pertama Jawa Timur dari bangsa Indonesia. Di belakang taman, saat ini masih terawat Patung Joko Dolog. Tidak ada jejak monumen Emma. Kita hanya dapat berasumsi bahwa itu dihancurkan oleh Jepang di tahun 1942, kurang dari lima tahun setelah pembangunannya. Monumen yang berumur sangat pendek. Monumen yang telah dibangun dan diresmikan secara besar-besaran juga hilang. Jejaknya pun perlahan hilang, dan terlupa dari ingatan. –sa