Surabayastory.com – Ini adalah salah satu cerita terpilih karya Gabriel García Márquez yang tak banyak diungkap. Ditulis Juni 1982, menunjukkan keahlian Gabo –sapaan Marquez- dalam menuliskan hal-hal yang indah di lingkungan terdekat. Daya imajinasinya yang luar biasa. Sebuah karya yang nikmat dibaca kala banyak waktu luang. Selamat menikmati.
WAJAHNYA CANTIK dan luwes, dengan kulit lembut sewarna roti panggang dan sepasang mata bagaikan badam hijau, dan rambutnya yang hitam lurus menyentuh kedua bahu, dan memancarkan aura keunikan yang hanya mungkin berasal dari orang-orang Indonesia atau Andes. Dia berpakaian dalam selera tinggi: jaket kucing hutan, blus sutra kasar dengan bunga-bunga yang sangat indah, celana panjang alami, dan sepatu berhiaskan garis-garis tipis sewarna bugenvil. “Ini dia perempuan paling cantik yang pernah kujumpai,” pikirku ketika aku melihatnya melintas dengan langkah-langkah seanggun singa lapar sementara aku menunggu di tengah antrian pemeriksaan tiket di Bandara Charles de Gaulle, Paris, untuk penerbangan ke New York. Kemunculannya bagai sosok supernatural yang muncul hanya sekejap lalu menghilang ke tengah belantara terminal.
Saat itu jam sembilan pagi. Semalaman hujan salju turun, dan lalu lintas lebih padat daripada biasanya di jalanan kota, dan bahkan lebih lambat lagi di jalan raya, dengan truk-truk gandengan berbaris di bahu jalan dan mobil-mobil pribadi direbus di bawah guyuran salju. Di dalam terminal bandara, bagaimanapun juga, masih terasa seperti musim semi.
Aku berdiri di belakang seorang perempuan Belanda berusia lanjut yang menghabiskan nyaris satu jam berdebat tentang berat sebelas kopernya. Aku baru mulai merasakan bosan saat menemukan penampakan sesaat yang membuatku menahan napas itu, dan begitulah sehingga aku tak pernah tahu bagaimana perselisihan tersebut berakhir. Selanjutnya juru tulis tiket menurunkanku dari atas awan dengan celaan atas kebingunganku. Sebagai basa-basi, aku bertanya pada perempuan petugas itu apakah dia percaya cinta pandangan pertama. “Tentu saja,” katanya. “Jenis cinta yang mustahil.” Dia terus mengarahkan pandangan matanya ke layar komputer dan ganti bertanya apakah aku lebih suka tempat duduk di bagian merokok atau tanpa asap rokok.
“Sama saja,” aku menjawab dengan kebencian yang kusengaja, “asalkan tidak di sebelah sebelas koper.”
Dia mengungkapkan pengertiannya dengan senyuman komersial namun tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar yang berpendaran.
“Pilih saja satu nomor,” dia berkata padaku: “Tiga, empat, atau tujuh.”
“Empat.”
Senyumannya menyala-nyala penuh kemenangan.
“Sepanjang lima belas tahun aku bekerja di sini,” katanya, “Anda adalah orang pertama yang tidak memilih tujuh.”
Dia menuliskan nomor kursi pada kartu tanda naik pesawat dan mengembalikannya bersama surat-suratku yang lain, menatap padaku pertama kalinya dengan sepasang mata sewarna-anggur yang merupakan sebuah hiburan sampai aku bisa berjumpa dengan si Cantik lagi. Tepat pada saat itulah dia memberitahuku bahwa bandara baru saja ditutup dan semua penerbangan ditangguhkan.
“Untuk berapa lama?”
“Terserah Tuhan,” dia berkata sambil tersenyum. “Radio mengatakan pagi ini akan terjadi badai salju paling buruk sepanjang tahun.”
Dia salah: Ini adalah yang paling buruk sepanjang abad. Namun di ruang tunggu kelas-satu, musim semi begitu nyata sampai-sampai mawar sekalipun terlihat segar di dalam vas dan bahkan alunan musik rekaman terasa sama indah dan menenangkannya sebagaimana dimaksudkan oleh para penggubahnya. Segera saja terlintas dalam benakku bahwa ini adalah naungan yang cocok bagi si Cantik, dan aku pun mencari-carinya ke area lain di ruang tunggu tersebut, sempoyongan oleh kegagahanku. Namun sebagian besar orang-orang yang ada di tempat itu adalah kaum lelaki dari kehidupan nyata yang membaca surat kabar berbahasa Inggris sementara istri-istri mereka memikirkan orang lain sambil memandang menembus jendela panoramik pada pesawat-pesawat yang membeku di tengah salju, hanggar-hanggar glasial, kawasan luas Bandara Roissy yang dihancurkan oleh singa-singa ganas. Begitu tengah hari tak tersisa lagi tempat duduk kosong, dan hawa panas sudah tak tertahankan sehingga aku keluar mencari udara segar.
Di luar aku menyaksikan pemandangan yang berlimpah ruah. Segala jenis manusia berdesakan ke dalam ruang-ruang tunggu dan berkemah sepanjang koridor yang mencekik napas dan bahkan hingga ke anak tangga, berbaring di lantai dengan hewan-hewan mereka, anak-anak mereka, dan perlengkapan perjalanan mereka. Komunikasi dengan kota juga terganggu, dan istana-istana dari plastik transparan menyerupai kapsul luar angkasa raksasa terdampar di tengah badai. Aku tak tahan memikirkan bahwa si Cantik tentu berada di suatu tempat di tengah-tengah gerombolan jinak itu, dan khayalan tersebut menginspirasiku dengan semangat baru untuk menunggu.
Waktu makan siang tiba kami menyadari bahwa kami benar-benar kacau balau. Antrian-antrian tak putus-putus di luar tujuh restauran, kafetaria, bar, dan kurang dari tiga jam semua tempat itu terpaksa tutup karena tak ada lagi makanan atau minuman. Anak-anak, yang untuk sejenak bagaikan semua anak di dunia ini, mulai menangis pada saat bersamaan, dan aroma manusia yang berdesak-desakan pun muncul dari kerumunan. Inilah waktunya untuk menajamkan insting. Dalam semua perebutan itu, satu-satunya yang bisa kutemukan untuk kumakan adalah dua mangkuk terakhir berisi es krim vanila di sebuah kedai anak-anak. Para pelayannya meletakkan kursi-kursi ke atas meja begitu para pelanggan pergi, sementara aku makan dengan sangat lambat di konter itu, melihat diriku sendiri di cermin dengan mangkuk kertas mungil dengan sendok kertas mungil yang terakhir, dan memikirkan si Cantik.
Penerbangan ke New York, yang dijadwalkan pagi itu, dimundurkan hingga jam delapan malam. Pada saat aku naik ke pesawat, para penumpang kelas-satu lainnya sudah berada di kursi mereka, dan seorang awak kabin menunjukkan tempatku. Jantungku berhenti. Di bangku sebelahku, di samping jendela, si Cantik sedang menempati ruangnya dengan keahlian seorang pelancong kawakan. “Seandainya aku menuliskan tentang ini, tak akan ada orang percaya padaku,” pikirku. Dan aku tergagap-gagap ragu-ragu mengucapkan salam yang tak ia dengarkan.
Dia mengatur segalanya seakan-akan hendak tinggal di sana selama beberapa tahun, meletakkan setiap barang di tempatnya secara tepat dan rapi, sampai tempat duduknya tampak bagaikan kediaman ideal, dengan segala sesuatunya berada dalam jangkauan tangan. Sementara itu, seorang pramugara membawakan untuk kami sampanye penyambutan. Aku mengambil satu gelas untuk kutawarkan padanya, namun untungnya aku berpikir lebih jernih tepat pada waktunya. Karena dia menginginkan hanya segelas air, dan dia meminta pada sang pramugara, mula-mula dalam bahasa Perancis yang tak bisa dimengerti dan selanjutnya dalam bahasa Inggris yang entah bagaimana terdengar lebih fasih, untuk tidak membangunkannya demi alasan apapun sepanjang penerbangan ini. Suaranya yang hangat dan serius dihiasi kesenduan Oriental.
Ketika sang pramugara membawakannya segelas air, dia sedang menaruh wadah kosmetiknya dengan sudut-sudut tembaga, seperti koper nenek-nenek, ke pangkuannya, dan mengambil dua pil keemasan dari sebuah kotak yang berisi pil-pil lain dalam berbagai warna. Dia melakukan semuanya dalam cara yang khidmat dan metodis, seakan-akan tak ada apapun yang tak terduga akan pernah terjadi pada dirinya sejak kelahirannya. Akhirnya dia menarik penutup jendela, menurunkan sandaran kursi serendah mungkin, menutupi tubuhnya sampai ke pinggang dengan sehelai selimut tanpa melepas sepatunya, memakai penutup mata untuk tidur, menghadapkan punggungnya ke arahku, dan kemudian terlelap tanpa jeda, tanpa desahan, tanpa perubahan sedikit pun dalam posisinya, selama delapan jam lebih dua belas menit di tengah penerbangan menuju New York.
Ini adalah perjalanan penuh semangat. Aku selamanya percaya bahwa tak ada apapun yang melebihi keindahan seorang perempuan cantik, dan mustahil bagiku bisa lolos bahkan untuk sekejap dari pesona makhluk seindah kisah dongeng yang tidur di sebelahku ini. Sang pramugara segera menghilang setelah kami lepas landas dan digantikan oleh seorang awak kabin Cartesian yang berusaha membangunkan si Cantik untuk memberikan seperangkat pembersih diri dan satu set alat pendengar untuk menikmati musik. Aku mengulangi instruksi yang telah dia sampaikan pada pramugara sebelumnya, namun awak kabin ini memaksa untuk mendengar langsung dari bibir si Cantik sendiri bahwa dia tak menginginkan makan malam juga. Pramugara tersebut harus memastikan instruksi si Cantik, dan bahkan sempat mencelaku karena si Cantik toh tidak menggantungkan papan kecil “Jangan Ganggu” sebagai peringatan di sekitar lehernya.
Aku menikmati makan malam seorang diri, berkata pada diri sendiri dalam diam apapun yang bisa kukatakan pada si Cantik sewaktu-waktu dia terbangun. Tidurnya begitu nyenyak sehingga di suatu titik aku terganggu oleh pemikiran bahwa pil-pil yang dia telan tadi bukan untuk membantu tidur, melainkan untuk mati. Pada setiap tegukan, aku mengangkat gelasku dan memberi selamat padanya.
“Untuk kesehatanmu, Cantik.”
Seusai makan malam, nyala lampu diredupkan dan sebuah film diputar bukan untuk siapa-siapa, dan kami berdua saja di tengah kegelapan dunia. Badai terburuk abad ini sudah berakhir, dan malam di Atlantik begitu luas dan jernih, sehingga pesawat seolah-olah tak bergerak di antara bintang-bintang. Kemudian aku menelusurinya, inci demi inci, selama beberapa jam, dan satu-satunya tanda kehidupan yang bisa kudeteksi adalah bayangan mimpi yang melintas sepanjang dahinya bagaikan awan berarak di atas air. Di seputar leher dia kenakan seuntai rantai yang begitu halus sehingga nyaris tak terlihat pada kulitnya yang keemasan, telinganya yang sempurna tidak ditindik, kuku-kukunya kemerahan menunjukkan kesehatan yang baik, dan pada tangan kirinya terdapat satu cincin polos. Mengingat dia terlihat tak lebih tua daripada dua puluh tahun, aku menghibur diri dengan dugaan bahwa itu bukanlah cincin kawin melainkan simbol pertunangan sementara. “Mengetahui dirimu tidur, nyenyak, aman, saluran penolakan yang tepat, garis murni, begitu dekat dengan tangan-tanganku yang terbelenggu,” aku merenung pada luapan buih sampanye, mengulangi soneta yang sangat indah dari Gerardo Diego. Kemudian aku menurunkan sandaran kursi hingga serendah kursinya, dan kami pun berbaring bersama, lebih dekat ketimbang berada dalam satu ranjang pengantin. Udara napasnya sama dengan suaranya, dan kulitnya menguarkan aroma lembut yang hanya mungkin merupakan wangi kecantikannya. Tampaknya tidak masuk akal: Musim semi sebelumnya aku membaca novel indah karya Yasunari Kawabata tentang kalangan borjuis Kyoto yang membayar mahal untuk menghabiskan malam dengan memandangi gadis-gadis paling cantik di kota tersebut, telanjang dan terbius, sementara mereka menderita sekali oleh cinta di ranjang yang sama. Mereka tak bisa membangunkan gadis-gadis itu, atau menyentuhnya, dan mereka bahkan tak mencobanya, karena inti dari kesenangan mereka adalah melihat gadis-gadis itu tidur. Malam itu, sambil mengawasi tidur si Cantik, aku tak sekedar memahami kemurnian usia uzur, bahkan menghidupkannya sepenuhnya.
“Siapa akan mengira,” aku berkata pada diriku sendiri, kesombonganku diperparah oleh sampanye, “bahwa aku menjadi seorang Jepang kuno pada masa sekarang ini.”
Kupikir aku tertidur beberapa jam, takluk oleh pengaruh sampanye dan ledakan bisu dari film yang diputar, dan begitu terbangun, kepalaku seperti mau pecah. Aku pergi ke kamar mandi. Dua kursi di belakangku ditempati oleh perempuan tua dengan sebelas koper itu yang terbaring terlentang secara aneh, bagaikan sesosok mayat terlupakan di medan pertempuran. Kacamata-bacanya, dengan seutas rangkaian manik-manik berwarna-warni terjatuh di lantai di tengah gang, dan sejenak aku menikmati kesenangan kejam dengan tidak memungutnya.
Setelah mengenyahkan kelebihan sampanye, aku menangkap bayanganku sendiri, hina dan jelek, di cermin, dan keheranan bahwa kehancuran akibat cinta bisa sungguh mengerikan. Pesawat kehilangan kendali ketinggiannya tanpa peringatan, lalu berusaha untuk lurus lagi dan melanjutkan penerbangan dengan kecepatan penuh ke muka. Tanda “Kembali ke Tempat Duduk” masih menyala. Aku bergegas keluar dengan harapan bahwa turbulensi Illahi mungkin membangunkan si Cantik dan dia akan mencari perlindungan ke dalam lengan tanganku untuk menjauhkan ketakutannya. Di tengah ketergesa-gesaanku, aku hampir menginjak kacamata perempuan Belanda itu dan merasa senang seandainya terlanjur kulakukan. Namun aku menyurutkan langkah, memungutnya, dan meletakkannya di pangkuannya dalam ucapan terima kasih untuknya karena tidak memilih nomor tempat duduk empat sebelum giliranku.
Tidur si Cantik tak bisa dikalahkan. Begitu pesawat stabil, aku harus menahan godaan untuk mengguncang-guncangkannya atas semacam dalih, karena yang kuinginkan dalam satu jam terakhir penerbangan ini hanyalah melihatnya terjaga, bahkan apabila dia marah hebat, agar aku bisa mendapatkan kembali kebebasanku, dan mungkin kemudaanku. Tapi aku tak sanggup melakukannya. “Sialan,” aku berkata pada diriku sendiri dengan cemoohan rendah. “Kenapa aku tak dilahirkan sebagai seorang Taurus!”
Dia terbangun sendiri pada saat lampu pendaratan menyala, dan dia sama cantik dan segarnya seolah-olah baru tidur di taman mawar. Pada saat itulah aku menyadari bahwa sebagaimana pasangan yang sudah menikah lama, orang-orang yang duduk saling bersebelahan satu sama lain di pesawat terbang tidak mengucapkan selamat pagi satu sama lain saat mereka terbangun. Dia pun tidak. Dia melepaskan penutup mata tidurnya, membuka matanya yang cemerlang, meluruskan sandaran kursi, menyingkirkan selimutnya, mengayunkan rambutnya sampai terjatuh ke tempat sesuai bobotnya, meletakkan perangkat pembersih diri pada lutut-lututnya, dan memulaskan dandanan yang tidak diperlukan secara cepat, yang membutuhkan waktu sedemikian tepat sehingga dia tak sempat melihat padaku sampai pintu pesawat dibuka. Kemudian dia mengenakan jaket kucing hutannya, nyaris menginjakku dengan sapaan permisi yang konvensional dalam bahasa Spanyol Amerika Latin sejati, berlalu bahkan tanpa mengucapkan perpisahan atau setidaknya berterima kasih padaku atas semua yang sudah kulakukan untuk menjadikan malam kami berdua sebagai malam yang membahagiakan, dan langsung lenyap ke tengah hutan Amazon di New York.*
JUNI 1982