“Ketika gejolaknya tak terkendali, emosi dapat berubah menjadi penggoda yang paling genit atau diktator yang paling tiran.”
Surabayastory.com – Berbondong stimulus mengunjungi kita sebagai konsekuensi logis interaksi kita pada kehidupan ini. Kadang berwujud sebagai pengalaman indah, namun tak jarang hadir sebagai masalah yang menyesakkan dada. Tanggapan atas stimulus-stimulus itu seringkali bermuara pada perasaan kita yang kemudian mewujud sebagai emosi-emosi.
Emosi bukanlah setan penggoda yang mesti ditumpas habis. Emosi memang dapat berubah menjadi setan penggoda yang menjerumuskan kita, namun ia juga dapat mewujud sebagai motivator yang penuh daya gerak untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik.
Oleh sebab itu adalah perlu kiranya mengenali emosi-emosi kita sendiri, baik karakteristiknya maupun potensi-potensinya. Selain itu seyogyanya kita juga terampil menyaksikan dan selalu memonitor gerak emosi-emosi yang ada dalam diri untuk kemudian mengendalikannya.
Akan sulit bagi kita untuk bersyukur dan berseru: ”Life begins everyday”, bila kita masih terganggu dan belum terampil mengendalikan emosi-emosi kita sendiri. Untuk itulah dalam bab ini kita kupas soal emosi dan pengendaliannya.
Jelajah Emosi
Dalam diri tiap manusia terdapat banyak emosi, seperti marah, senang, takut, sedih, malu, malas, penasaran, jijik, dan lain-lain (termasuk berbagai kombinasinya). Namun sebagai langkah awal, kami mengajak anda untuk fokus pada empat emosi terlebih dahulu, yakni: Marah, senang, takut dan sedih, karena keempat emosi inilah yang paling sering muncul mengganggu kenyamanan perasaan kita. Dan biasanya, emosi-emosi yang lain bermuara pada keempat emosi tersebut. Selain itu, jika kita telah terampil mengamati gerak dan mampu mengendalikan keempat emosi tersebut, maka emosi-emosi yang lain akan jauh lebih mudah dicermati.
Emosi sebenarnya merupakan alat penggerak bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Sulit dibayangkan bila manusia tak memiliki emosi. Mungkin bagai robot yang bergerak atas dasar perintah program semata. Tanggapan atas keindahan akan lenyap. Tiada nilai atas keindahan. Tiada nilai juga pada harapan. Dengan sendirinya sensasi kemanusiaan pun sirna.
Kita butuh amarah dalam kadar secukupnya untuk berjuang, bekerja dan meningkatkan kualitas hidup. Kita butuh rasa senang dan gembira dalam kadar tertentu untuk regenerasi species kita. Sampai tingkat tertentu, kita juga memerlukan rasa takut dan kecemasan untuk membuat kita senantiasa waspada dan berhati-hati. Kita membutuhkan rasa sedih seperlunya untuk peduli, berempati, berbelas kasih dan menggerakkan diri menolong sesama.
Seperti halnya anggota tubuh, emosi adalah alat (dan sebaiknya diperlakukan sebagai alat) untuk kita menjalani kehidupan. Namun emosi adalah entitas yang hidup. Eksistensinya juga di-support oleh pikiran dan jasmani. Pikiran yang lepas liar dapat memancing berkembangnya emosi menjadi beringas. Tubuh yang lapar, lelah, mengantuk atau sakit dapat pula merangsang bergolaknya emosi. Ketika gejolaknya tak terkendali emosi dapat berubah menjadi penggoda yang paling genit atau diktator yang paling tiran, yang akan menggiring kita, baik dengan lembut maupun paksa, menuju kehancuran penuh penyesalan. Oleh karenanya akan kita bahas pula bahwa mengendalikan pikiran dan mengolah fisik (menjaga kualitas tubuh agar tetap fit) merupakan bagian integral dari upaya mengelola emosi.
Semua emosi dalam diri dapat bersifat jinak dan patuh, namun dapat pula tumbuh berkembang dengan teramat sangat liar, bahkan mampu membangkang, memberontak, memprovokasi dan mengambil alih komando kehidupan. Oleh karenanya mereka harus selalu diamati, didik dan dikendalikan setiap saat.
Pernahkah anda marah pada anak anda, kemudian menyesalinya? Anda sadar anda ingin marah pada anak anda. Anda sebenarnya masih sadar bahwa anda cukup menegur dan menasehatinya saja, tetapi anda tak mampu mencegah keinginan untuk marah. Lalu anda hilang kendali. Meledaklah amarah anda kepadanya, bahkan dengan kata-kata yang keras dan kasar. Namun setelah puas, anda menyesal. Pernahkah?
Maka setelah menyadari keberadaan dan mengenali karakteristik, potensi dan fungsi emosi, langkah selanjutnya untuk mempermudah mendidik dan mengendalikan emosi adalah dengan melihat atau mengamati emosi-emosi kita sendiri. Caranya: Seakan keluar dari dalam diri. Bawa kesadaran naik tinggi ke atas, lalu lihatlah ke bawah. Amati dengan teliti perilaku setiap gerak dan gejolak sekecil-kecilnya dari emosi (perasaan) dan juga pikiran.
Di sini kita dapat saksikan bahwa perasaan (emosi) dan pikiran adalah dua hal yang berbeda tetapi saling terkait mempengaruhi satu sama lain. Pikiran memiliki wujud gambar adegan peristiwa (seperti melihat kejadian masa lalu, pengandaian atau membayangkan peristiwa yang mungkin akan terjadi), sedangkan perasaan sepenuh bersifat abstrak (hanya berwujud rasa, seperti sedih, marah, takut, senang, dsb).
Pikiran mampu memancing gejolak emosi dan emosi pun mampu menciptakan pikiran berupa adegan gambar.
Setelah mampu mengamati gerak laku dan perkembangan emosi-emosi kita sendiri, maka untuk mengendalikannya, kita mesti menguasai pikiran kita terlebih dahulu. Pikiran kitalah yang akan memberi perintah kepada “dirinya sendiri” dan juga kepada perasaan untuk patuh dan tunduk atas kemauan kita. Dan untuk menguasai pikiran, kita tinggal memberi perintah saja kepada pikiran kita tersebut.
Sebagai contoh, dalam keadaan sedang “out of control”, perintahkan pada pikiran kita : ”Stop! Jangan pikirkan itu!”,… “Saya tidak akan melanjutkan pikiran itu!”. Ucapkan terus berulang dalam benak kita, sembari kita alihkan pada kehampaa atau pusatkan pada suatu obyek tertentu yang lain. Gambaran obyek pikiran yang mengganggu itu memang akan tetap muncul untuk beberapa saat, tapi dapat berhenti sampai di situ saja dan berangsur-angsur akan lenyap, tergantikan oleh obyek pemikiran yang lain. Maka diri kita pun dapat kembali tenang.
Terdengar mudah, namun pikiran memang mesti dilatih secara rutin dengan sungguh-sungguh agar memiliki ketrampilan, kecakapan dan kekuatan untuk menjadi pemimpin bagi perasaan. Itulah seni pemberdayaan pikiran.
Maka seyogyanya, setiap saat kita mesti sadar tengah memikirkan apa atau tengah merasakan apa. Sebagai contoh: “Oh, saya sedang memikirkan ini dan itu.”… “Oh, saya sedang merasakan ini.”… “Oh saya tak perlu memikirkan itu.”… “Oh, mengapa ada amarah dalam diri saya?”… “Ah, saya koq jadi sedih karena memikirkan itu.”.. “Hemmm, saya tak perlu memikirkan itu.” … dan sebagainya.
Seorang kawan pernah berkomentar, “Berarti untuk itu kita perlu pemikiran yang brilliant, positif, kreatif, berwawasan dan bijak ya?” Jawaban saya, “Dalam hal ini kamu tak perlu pintar-pintar amat. Yang penting pikiranmu mampu menenangkan emosimu. Nah, setelah itu barulah kamu berpikir untuk problem solving–nya. Jika kau tak mampu, ajaklah temanmu.” Dan kami pun tertawa bersama.
Pada saat yang bersamaan selain mampu mengendalikan emosi lewat pikiran, kita sebaiknya juga memahami bahwa badan (body) memberikan kontribusi berupa pengaruh yang sangat signifikan terhadap emosi.
Badan, raga, jasmani, tubuh atau apapun kita menyebutnya, punya andil yang cukup besar dalam mempengaruhi emosi, baik disadari maupun tidak.
Kita dapat lihat dari contoh-contoh yang sudah akrab di sekeliling kita: Sudah umum diketahui bahwa menstruasi pada wanita turut andil mempengaruhi emosinya. Banyak orang akan cenderung menjadi mudah marah ketika harus tetap beraktivitas sementara dirinya merasa lapar, mengantuk, kepanasan dan sakit gigi. Banyak orang akan merasa tenang hatinya ketika berada di area yang sejuk, bernafas dengan perlahan, berendam di kolam yang tidak terlalu dingin atau diguyur air hangat. Ada buah-buahan dan daun-daunan tertentu yang ketika di makan dapat memberikan pengaruh pada saraf otak hingga yang bersangkutan merasa tenang. Aroma-aroma tertentu juga bisa merangsang saraf otak dan memberikan berbagai macam efek kepada perasaan.
Stimulus ekstern memang memberikan dampak yang berbeda pada tubuh individu yang berbeda. Tetapi secara prinsip dapat kita saksikan bahwa reaksi tubuh terhadap rangsangan dari luar maupun kondisi tubuh seseorang turut andil dalam mempengaruhi emosinya. Tubuh yang sehat dan bugar akan memberikan dampak ketenangan emosi kepada pemiliknya. Maka ciptakan dan pelihara kondisi sehat dan bugar.
Caranya? Berolah ragalah yang benar dan teratur. Makanlah makanan yang begizi. Berikan asupan nutrisi yang tepat yang dibutuhkan oleh tubuh, termasuk diet yang tepat tentunya.
Pertanyaan berikutnya: Bagaimana berolah raga yang benar dan teratur itu? Makanan bergizi itu yang seperti apa? Nutrisi apa yang dibutuhkan oleh tubuh? Dan diet itu seharusnya bagaimana?
Karena karakterikstik dan kondisi tubuh satu orang berbeda dengan orang lainnya, maka disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter, ahli gizi, pakar nutrisi dan fitness trainer agar jasmani mendapat perlakuan yang tepat guna mencapai kesehatan dan kebugaran yang sempurna.
Dalam skala sederhana ada sebuah contoh tentang hubungan fisik dan emosi. Cobalah terseyum walau tanpa sebab apapun. Rasakan hati anda turut bergembira. Cobalah cemberut bermuka masam, maka hati anda rasanya suram. Membungkuklah maka anda akan merasa lemah tak berdaya. Coba tegakkan tubuh anda, maka anda akan dapati rasa percaya diri turut bangkit bersama tegaknya tubuh anda. Begitulah jalinan erat antara fikis dan emosi kita.
Ada pula kegiatan jasmani yang punya andil besar dalam pengelolaan emosi. Kegiatan ini dapat diperbandingkan dengan aktivitas training yang rutin diberlakukan bagi para karyawan sebuah perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan skill para karyawan tersebut, sesuai dengan harapan perusahaan tersebut.
Menahan rasa lapar dan dahaga secara sadar pada waktu tertentu secara rutin (seperti kegiatan berpuasa umat Islam pada bulan Ramadhan) merupakan sebuah cara yang sangat efektif untuk mendidik emosi kita. Dalam kegiatan berpuasa tersebut terkandung hikmah akan kesabaran, ketabahan dan kebijaksanaan. Maka cobalah.
Seni olah pernafasan (biasanya juga berkaitan dengan olah jasmani, bela diri dan tenaga dalam) seperti meditasi, yoga, tai-chi, pencak silat, kung fu, chi-khung, dsb, juga sangat menunjang peningkatan ketrampilan kita dalam mengelola emosi. Orang yang bernafas dengan tenang, perlahan dan teratur, akan jauh lebih mampu mengontrol emosinya daripada yang bernafas tidak teratur.
Mari Berlatih
- Karena dalam perjalanan hidup kita selalu membawa serta pikiran dan perasaan, maka hal tersebut merupakan kesempatan untuk melakukan latihan dan praktek sekaligus: Ketika anda ngobrol dengan seseorang, lihatlah ke dalam diri anda. Apa yang anda rasakan? Apa yang muncul dalam pikiran anda? Emosi-emosi apa yang bergerak dalam diri anda? Apakah anda menyukainya? Ada ketersinggungan dengannya? Hingga anda merasa marah? Ataukah anda merasa curiga padanya, hingga merasa cemas khawatir dibohongi olehnya? Atau apa? Rasa suka? Perhatikan timbul-tenggelam dan geraknya emosi anda.
- Ketika anda sedang berdiam seorang diri, mati emosi dan pikiran anda. Apa yang anda rasakan atau pikirkan? Tanyakan pada diri anda sendiri: Perlukah anda memikirkannya? Lalu anda tinggal memutuskan: Anda ingin menikmatinya? Atau mengendalikannya? Atau ingin mengalihkannya?
Seorang sahabat berujar, “Bagaimana bila kita jadi korban kejahatan atau kesewenang-wenangan? Masa kita diam saja, sambil berkata, ’Biar Tuhan yang membalas’?” Saya tersenyum, ”Bila kita percaya pada kemaha-adilan Tuhan, maka moment pembalasan itu pasti terjadi. Maka kalau mau, maafkan saja. Namun bila kita merasa perlu menegakkan keadilan, pastikan kita menggunakan aturan hukum yang berlaku. Ada perbedaan antara menegakkan keadilan dengan membalas dendam.” Sahabat saya bertanya lebih jauh, “Bagaimana dengan emosi?” Respon saya, “Dalam kadar secukupnya emosi diperlukan untuk menggerakkan kita menegakkan keadilan, tapi bukan untuk mengumbar pelampiasan benci dan sakit hati. Karena kalau itu yang terjadi, bisa-bisa kita tersiksa sendiri,…makan hati sendiri.”
Ketika saya berkunjung ke kantor seorang kawan, kawan saya tersebut sedang ingin marah pada para bawahannya yang berbuat kesalahan. Saya pun berbisik, “Sabar,… sabar,” Namun dengan sengit ia berkata, “Oh, tidak bisa. Hal ini tak boleh dibiarkan. Mereka harus ditegur. Mereka harus tahu kesalahannya.” Saya melanjutkan,” Sabar bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Kalau karyawanmu bersalah, tegurlah. Tunjukkan cara kerja yang benar. Kalau perlu beri sanksi. Tapi perlukah bertindak sambil ngamuk-ngamuk begitu?” –hrs