Otonomi daerah melahirkan banyak peluang bersaing. Setiap desa di Kabupaten/Kota seakan berpacu menampilkan potensi dan keunikan.
Surabayastory.com – Sebagian di antara desa-desa itu berhasil menerobos perhatian masyarakat, sedangkan sisanya masih berkutat dengan keterbatasan dan ketiadaan pemetaan potensi daerahnya.
Kreativitas dan kesiapan sumber daya birokrasi menjadi prasyarat utama kita memajukan desa, sekaligus memakmurkan warganya. Berbagai upaya pemerintah kabupaten/kota menjual potensinya sudah dilakukan, namun sebagian besar masih terkendala ‘bagaimana harus mengomunikasikannya’ secara efektif dan produktif.
Dalam banyak hal, desa masih dipandang sebelah mata. Pada era reformasi ini perhatian Pemerintah kepada desa juga mengecil. Terbukti, makin banyak saja indikator ‘’kegagalan desa’’, seperti turunnya produksi tanaman pangan; merosotnya sentra produksi; buruknya harga pasca panen; dan tersisihnya peranan desa dalam peta politik bangsa.
Apakah benar tren pembangunan desa akan terus menurun, hingga akhirnya desa akan melahirkan semakin banyak kantung-kantung kemiskinan. Bagaimana seharusnya warga desa secara swadaya mampu mengatasinya, tanpa harus selalu bergantung kepada Pemerintah?
Inilah pertanyaan yang sering berkecamuk, yang tentu saja tidak menghasilkan ‘enerji positif’ untuk kita manfaatkan sebagai pendorong keberhasilan. Selama desa diberi makna geografis (sebagai tempat) belaka, maka akan terjadi penggambaran yang kurang produktif. Seharusnya kita memandang desa dengan makna psikografis. Desa adalah jiwa dan spirit kita.
Inilah gambaran klasik tentang desa :
- Suatu tempat yang bernuansa tradisional, relijius, bersifat paguyuban, hangat dan penuh persahabatan antarwarga.
- Tempat yang tenteram, damai, tidak serba tergesa
- Lebih berbudaya agraris, ketimbang industri
- Suatu tempat di luar kota yang umumnya kekurangan fasilitas dasar, seperti air bersih, listrik, gas, jalan raya, perumahan layak.
- Suatu tempat yang tertinggal, minim keramaian, kurang sarana hiburan dan kurang fasilitas hiburan modern seperti pusat perbelanjaan, restoran, dan kehidupan malam
Local Genius
Penggambaran seperti ini justru telah membekap potensi desa sebagai tempat bertumbuh- suburnya kecerdasan lokal (local genius) maupun kearifan (wisdom) yang melengkapi kecerdasan keilmuan akademik. Banyak gagasan segar dan orisinal dilahirkan melalui orang-orang desa yang bergelut dengan pengalaman dan kerja keras. Thukul Arwana sangat berhasil mengeksploitasi desa sebagai menu penyegar suasana. Desa adalah segala bentuk ‘keterbelakangan fisik’ yang diejek. Namun dari desa pula lahir semangat juang tinggi dan kearifan menjalani kehidupan. Biar sudah kaya dan naik Harley Davidson, Thukul tetap tampil ndeso.
Sarjiyo, yang hanya tamatan SMP dan tak lulus Sekolah Pertanian Pembangunan, kini dikenal sebagai ‘ahlinya biogas’. Pria kelahiran Kulon Progo, Jogjakarta 3 Desember 1966 ini, dengan segala keberaniannya bereksperimen, berhasil menciptakan instalasi biogas yang sangat bermanfaat bagi masyarakat desa. Sarjiyo berhasil membangun unit keluarga kecil yang hanya dengan dua ekor sapi di kandangnya, mampu memenuhi sendiri kebutuhan bahan bakar.
Begitulah seharusnya, tak usah minder dengan ke-desa-an kita, karena desa berperan sebagai penyeimbang paradigma pembangunan negara yang cenderung bersifat industrial dan eksploitatif. Melupakan keselarasan dan harmoni. Putaran hidup modern agaknya sudah bergeser dari hiruk-pikuk kota besar, menuju ketenteraman suasana perdesaan. Hidup bersuasanakan desa akan menjadi kebutuhan masa depan. Desa juga selalu memiliki ciri khas dan keunikan tertentu yang berpotensi ditonjolkan.
Memanfaatkan Kelebihan
Agar mampu hidup bersaing dan bermanfaat besar bagi warganya, seyogyanya desa-desa kita diposisikan sebagai ‘produk industri’ yang menarik dan dapat dipasarkan. Setiap desa perlu memiliki satu atau beberapa produk andalan. Produk itu harus memiliki keunggulan kompetitif agar punya daya saing. Pilihan terhadap produk maupun jasa ini sangat mempengaruhi faktor-faktor penting lainnya sebagai pendukung keberhasilan. Ingat, meskipun kita punya produk unggulan dan tiada duanya, tetapi kita lemah cara mengelola dan mempromosikannya, tidak akan berhasil.
Jika kita sudah berhasil menentukan satu atau beberapa produk pilihan, langkah selanjutnya sebagai berikut:
- Lakukan pengenalan produk dengan mempertimbangkan kedekatan demografis dan psikografis.
- Lakukan pendekatan dan mudahkan hubungan dengan media massa (media cetak, radio, televisi, internet)
- Lakukan langkah pengenalan dan promosi di luar media massa, seperti membuat stiker, buku panduan, peta lokasi, brosur, spanduk, baliho, dan berbagai bentuk cinderamata yang unik-menarik.
- Lakukan koordinasi dengan petani/pengrajin agar menjaga kelangsungan dan ketersediaan produk tersebut secara berkesinambungan.
Tiga tahap yang kita lakukan ini merupakan titik awal, upaya kita semua untuk ‘menjual desa’ dengan melibatkan seluruh warga, dan menikmati benefit-nya secara bersama-sama pula.
Buatlah Tamu Ketagihan
Begitulah, setiap keunikan itu harus kita kabarkan dan perkenalkan kepada calon konsumen, dalam jangkauan seluas-luasnya. Setelah dikenal masyarakat, kita harus mengulang-ulangnya agar masyarakat tidak lupa. Cara ini akan membentuk ketertarikan dan kepedulian (awareness) masyarakat, supaya mereka tertarik dan akhirnya mencoba.
Nah, kesan (percobaan) pertama itulah bagian paling penting. Karena respon berikutnya akan sangat menentukan apakah konsumen berhasil dipikat atau justru ngeloyor pergi. Maka seperti kata iklan pengharum tubuh: ‘’Kesan pertama begitu menentukan, selanjutnya terserah Anda….’’
Bersyukurlah bila konsumen benar-benar tertarik, sehingga bersedia membeli atau mencoba. Artinya sudah terjadi transaksi antara penyedia produk dan pembelinya. Setiap transaksi harus dipertahankan, agar konsumen datang kembali karena ‘ketagihan’.
Saya perjelas kembali faktor-faktor yang membangun kekuatan produk kita dengan 6 (enam) faktor penunjang, yaitu :
- Faktor Kekuatan Produk
- Harus eksklusif, tidak banyak bandingannya
- Tersedia dalam jumlah cukup dan terjaga kelangsungannya
- Tempatnya nyaman/bersih dan mudah dijangkau umum
- Terjamin keamanannya
- Harganya wajar dan kompetitif
- Faktor Kedekatan
- Kedekatan Geografis: Manfaatkan faktor geografis sebagai modal menarik perhatian. Misalnya promosikan diri ke daerah terdekat dan sekitar, yang tanpa susah-payah bisa dijangkau. Cara ini akan menghemat waktu dan biaya. Secara bertahap, konsumen bisa diperluas ke tempat-tempat lebih jauh.
- Kedekatan Psikografis : Manfaatkan faktor psikologis, perasaan, nuansa hati konsumen yang selalu haus hal-hal baru dan ingin mencobanya. Semakin berkesan produk-jasa ini, semakin dicari pula. Misalnya produk budaya Bali yang diminati konsumen jauh dari Pulau Dewata itu. Juga produk budaya lain yang khas. Kekayaan desa yang ‘langka’ tentu punya daya tarik tinggi. Contoh, Kabupaten Sleman yang menjual pertanian dan kehidupan desa, kepada remaja kota besar yang praktis tak mengenal kehidupan desa sesungguhnya. Bali menjual suasana tradisional desa dengan rumah-rumah penduduk dan kandang babinya.
- Faktor Aktualitas : Produk-jasa itu harus memenuhi unsur baru dan aktual, sedang dibutuhkan, atau lebih hebat lagi mampu ‘menciptakan kebutuhan baru’. Contoh, menyantap buah-buahan langsung di kebunnya; makan ikan langsung di pantainya (Jakarta, Cilacap, Malang Selatan, Sidoarjo). Unsur baru juga bisa diciptakan melalui produk-jasa kuno/lampau. Contoh: upacara minum teh di Jepang. Makan nasi hasil tumbukan lesung di tengah suasana desa.
- Faktor Keterkenalan : Manfaatkan tokoh-tokoh lokal (atau nama-nama tempat, binatang, dsb) yang kuat dan bisa dijual ke lingkup nasional/internasional. Kaitkan produk-jasa desa Anda dengan tokoh atau nama-nama ini. Misalnya:
- ‘’Menyaksikan Gunung Merapi muntahkan lahar bersama komentator juru-kunci Merapi, Mbah Maridjan. Langsung dari dekat’’.
- Ternak buaya dengan berbagai pertunjukan mendebarkan. Menjual sate-daging buaya, kerajinan dari kulit buaya, dll
- Toya Bungkah, desa kecil di lereng Gunung Batur. Tempat berkarya/ padepokan Sutan Takdir Alisjahbana
- Faktor Besaran : Manfaatkan hal-hal besar (dalam jumlah) untuk memperoleh efek dramatik peristiwa. Jika jumlahnya tidak seberapa, orang tidak akan tertarik. Tetapi ketika dibuat kolosal, bisanya menjadi menarik. Inilah hal yang sering dimanfaatkan untuk pemecahan rekor MURI. (Museum Rekor Indonesia).
Misalnya :
- Membakar sate sepanjang 5 km
- Festival internasional layang-layang melibatkan 2.500 layangan
- Kerjasama di udara 1.000 penerjun di langit Bali menjelang sunset.
- Panen bawang merah Brebes
- National Geography (Kenya) ratusan ribu bison menyeberang sungai yang penuh buaya.
- Faktor Jejaring (Network) : Bangunlah jejaring kerjasama dengan pihak-pihak lain, termasuk desa tetangga maupun ‘desa pesaing’. Ingat tidak ada produk/jasa yang bisa berjalan sendirian. Karenanya, kerjasama ini tidak harus berlangsung dengan kepentingan sejenis. Kerjasama juga bisa dibangun bersama mereka yang kepentingannya berbeda (tetapi bisa dipertemukan) untuk mencapai tujuan yang sama.
- Faktor Publikasi : Manfaatkan betul kekuatan media massa sebagai pendorong penyebaran informasi yang sangkil (efektif) dan mangkus (efisien). Lakukan pendekatan secara produktif dengan kalangan media, sehingga mesin publikasi berjalan. Cara-cara klasik publikasi seperti gethok-tular, kabar dari mulut ke mulut, bahkan interaksi langsung tatap muka, juga dapat dimanfaatkan.
Keenam faktor pendukung ini seyogyanya berjalan sinergis. Selanjutnya diperlukan seorang captain in command (pemimpin, penggerak) yang cerdas membaca kebutuhan konsumen dan membangun jaringan kerja bersama.
Kesimpulan:
Kebutuhan komunikasi di desa dan tentang desa, sangat memerlukan pengetahuan modern komunikasi sekaligus pemasaran. Sekolah Tinggi Komunikasi berada tepat di tengah kebutuhan itu, dengan catatan sekolah itu sanggup mengkombinasikan ilmu komunikasi yang mengkhusus kepada Kehumasan (Public Relations) berpadu dengan Pemasaran (Marketing Communications).
Tetapi gabungan komunikasi/kehumasan dengan pemasaran pun belum cukup. Ia masih harus diperkaya dengan kehadiran disiplin ilmu lain seperti sosiologi perdesaan, antropologi-budaya masyarakat setempat, pertanian, bahkan teknologi madya/terapan.
Hal inilah yang menuntut sebuah pendekatan komprehensif tentang upaya-upaya Negara membangun dan memajukan desa. Upaya tersebut jangan hanya disempitkan ke arah pertanian atau peternakan semata.
Bagi pengajaran dan pengembangan keilmuan di Sekolah Tinggi Komunikasi-AWS, tema-tema di atas dapat dijadikan intellectual approach untuk lebih berperan nyata membantu mengembangkan desa, berdasarkan karakter dan keunikannya yang khas. Dengan ruang terbuka yang penuh tantangan ini, tidak lagi ada alasan para ilmuwan komunikasi sulit mengambil peranan nyata membangun desa. Ahli komunikasi tak seharusnya hanya bermain di wilayah media massa.
Sesungguhnya dengan membangun desa, kita memulai kerja besar membangun negara. –tks