Putra Sang Fajar
Abad ini adalah suatu zaman di mana bangsa-bangsa baru
dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang
Berkembangnya negara-negara sosialis
yang meliputi seribu juta manusia
Abad ini pun dinamakan abad atom
dan abad ruang angkasa
Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi kemanusiaan ini
terpikat oleh suatu kewajiban untuk menjalankan
tugas-tugas kepahlawanan
Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam
Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang
paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini,
lambang kekembaran. Dan memang itulah sesungguhnya
Dua sifat yang berlawanan
Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet
Aku bisa keras dan laksana baja
dan aku bisa lembut berirama
Pembawaanku adalah paduan dari pada
pikiran sehat dan getaran perasaan.
Aku seorang yang suka memaafkan,
akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala
Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang bilik besi
namun demikian aku tidak sampai hati
membiarkan burung terkurung di dalam sangkar
Aku menjatuhkan hukuman mati
namun aku tak pernah mengangkat tangan
untuk memukul mati seekor nyamuk
sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu
“hayo, nyamuk, pergilah
jangan kau gigit aku”
Karena aku terdiri dari dua belahan
aku dapat memperlihatkan segala rupa
aku dapat mengerti segala pihak
aku memimpin semua orang
boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan
boleh jadi juga pertanda lain.
Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu
menjadikanku seorang yang merangkul semuanya.
Ibu telah memberikan pangestu kepadaku
ketika aku baru berumur beberapa tahun
Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit
dan duduk di dalam gelap di beranda muka kami yang kecil
tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa-apa
ia tiada berkata apa-apa
hanya memandang arah ke timur
dan dengan sabar menantikan hari akan siang
Aku pun bangun dan mendekatinya
diulurkannya kedua belah tangannya
dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya
Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya
ia memelukku dengan tenang.
Kemudian dia berbicara dengan suara lunak
“Engkau sedang memandangi fajar, nak.
Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi
orang yang mulia, engkau akan menjadi
pemimpin dari rakyat kita.
Karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi
di saat fajar mulai menyingsing
Kita orang jawa mempunyai satu kepercayaan
bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit
nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu
Jangan lupakan itu
Jangan sekali-kali kau lupakan, nak bahwa
engkau ini putra dari Sang Fajar.”
Bersamaan dengan kelahiranku
menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru
dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru
Karena aku dilahirkan di tahun 1901
Bagi Bangsa Indonesia abad ke sembilan belas
merupakan zaman yang gelap
sedangkan zaman sekarang baginya adalah
zaman yang terang-benderang dalam menaiknya
pasang revolusi kemanusiaan
Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan
Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus
Orang yang percaya kepada tahyul meramalkan,
“Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno”
Sebaliknya orang Bali mempunyai kepercayaan lain
kalau Gunung Agung meletus ini berarti
bahwa rakyat telah melakukan maksiat
Jadi orang pun dapat mengatakan
bahwa Gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Soekarno
Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya
karena anak yang jahat lahir ke muka bumi ini
Berlainan dengan pertanda-pertanda yang
mengiringi kelahiran itu
maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan
Bapak tidak mampu memanggil dukun
untuk menolong anak yang akan lahir
Keadaan kami terlalu ketiadaan
Satu-satunya orang yang menghadapi itu
ialah seorang kawan dari keluarga kami
seorang kakek yang sudah terlalu amat tua
Dialah, dan tak ada orang lain selain orang tua itu
yang menyambutku menginjak dunia ini.
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Sejarahlah yang Akan Membersihkan Namaku
Dengan setiap rambut di tubuhku
aku hanya memikirkan tanah airku
Dan tidak ada gunanya bagiku
melepaskan beban dari dalam hatiku
kepada setiap pemuda yang datang kemari
aku telah mengorbankan untuk tanah ini
Tidak menjadi soal bagiku
apakah orang mencapku kolaborator
Aku tidak perlu membuktikan kepadanya
atau kepada dunia, apa yang aku kerjakan
Halaman-halaman dari revolusi Indonesia
akan ditulis dengan darah Soekarno
Sejarahlah yang akan membersihkan namaku
—Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Janganlah Menjadi Politikus Salon
Janganlah menjadi politikus salon!
Lebih dari separo
politisi kita adalah politisi salon
yang mengenal Marhaen
hanya dari sebutan saja.
Apakah orang mengira dapat
menyelesaikan revolusi sekarang ini
meski tingkatannya
tingkatan nasional sekalipun
tidak dengan rakyat murba
Politikus yang demikian itu
sama dengan seorang jenderal
yang tak bertentara
Kalau ia memberi komando
dia seperti orang berteriak di padang pasir
Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata
Jika tidak terjun di kalangan mereka
mendengarkan kehendak-kehendak mereka
menyadarkan mereka akan diri sendiri
membuat revolusi ini revolusi mereka?
–Sarinah
Aku Melihat Indonesia
Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep
Aku mendengar Lautan Hindia bergelora
membanting di pantai Ngliyep itu
Aku mendengar lagu, sajak Indonesia
Jikalau aku melihat
sawah-sawah yang menguning-menghijau
Aku tidak melihat lagi
batang-batang padi yang menguning menghijau
Aku melihat Indonesia
Jikalau aku melihat gunung-gunung
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu
Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet
dan gunung-gunung yang lain
Aku melihat Indonesia
Jikalau aku mendengarkan
Lagu-lagu yang merdu dari Batak
bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan
Aku mendengarkan Indonesia
Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran
bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan
Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku
bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio
Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut
menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi
bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut
Aku mendengarkan Indonesia
Jikalau aku menghirup udara ini
Aku tidak lagi menghirup udara
Aku menghirup Indonesia
Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar
“Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!”
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia
—Bung Karno dan Pemuda
Sarinah-Sarinah
Tetapi pikiran saya
terus melayang
melayang satu soal
soal wanita
Kemerdekaan!
Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemeerdekaan
Tetapi, ya, kemerdekaan yang bagaimana?
Kemerdekaan seperti yang dikehendaki
oleh pergerakan feminismekah
yang hendak menyamaratakan
perempuan dalam segala hal dengan laki-laki
Kemerdekaan ala Karini?
Kemerdekaan ala Khalidah Hanum?
Kemerdekaan ala Kollontay?
Oleh karena soal perempuan
adalah soal masyarakat
maka soal perempuan
adalah sama tuanya dengan masyarakat
soal perempuan adalah
sama tuanya dengan kemanusiaan
atau lebih tegas:
soal laki-laki dan perempuan
adalah sama tuanya
dengan kemanusiaan
Sejak manusia hidup
di dalam gua-gua dan rimba-rimba
dan belum mengenal rumah
sejak “zaman Adam dan Hawa”
kemanusiaan itu pincang
terganggu oleh soal ini
Manusia zaman sekarang
mengenal “soal perempuan”
Manusia zaman purbakala
mengenal “soal laki-laki”
Sekarang kaum perempuan duduk di tingkatan bawah
di zaman purbakala kaum laki-laki duduk di tingkatan bawah
Sekarang kaum laki-laki berkuasa
di zaman purbakala kaum perempuanlah yang berkuasa
Kemanusiaan,
di atas lapangan soal laki-laki perempuan
selalu pincang
dan kemanusiaan akan terus pincang
selama saf yang satu menindas saf yang lain
Harmoni hanya dapat dicapai
kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain
tetapi dua “saf” itu sama derajat
– berjajar – yang satu di sebelah yang lain
yang satu memperkuat kedudukan yang lain
Tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri
sebab siapa melanggar kodrat alam ini
ia akhirnya niscaya digilas remuk redam
oleh alam itu sendiri
Alam benar adalah “sabar”
alam benar tampak diam
tetapi ia tak dapat diperkosa
ia tak mau diperkosa
ia tak mau ditundukkan
ia menurut kata Vivekananda adalah “berkepala batu”
–Sarinah
Keterangan:
- -Kollontay : seorang tokoh pergerakan wanita di Rusia, pada permulaan revolusi 1917
- -Vivekananda : seorang pejuang kemerdekaan India sebelum masa M.K. Gandhi
Kemerdekaan Saya Bandingkan dengan Perkawinan
Kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan
ada yang berani kawin, lekas berani kawin
ada yang takut kawin.
Ada yang berkata:
Ah, saya belum berani kawin
tunggu dulu gaji 500 Gulden
Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung
sudah ada permadani
sudah ada lampu listrik,
sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul,
sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset,
sudah mempunyai ini dan itu,
bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet
barulah saya berani kawin
Ada orang lain yang berkata:
Saya sudah berani kawin
kalau saya sudah mempunyai satu meja
kursi empat, “meja makan”
lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur
Ada yang lebih berani dari itu
yaitu saudara-saudara Marhaen!
Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja
dengan satu tikar
dengan satu periuk
dia kawin
Marhaen dengan satu tikar, satu gubuk: kawin
Lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur: kawin
Sang ndara yang mempunyai rumah gedung
Electrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun kawin
Belum tentu mana yang lebih gelukkig
belum tentu mana yang lebih bahagia
Sang ndara dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul
atau Sarinem dengan Samiun yang mempunyai
satu tikar satu periuk, saudara-saudara!
Tekad hatinya yang perlu
tekad hatinya Samiun kawin
dengan satu tiker dan satu periuk
dan hati Sang nDara yang baru berani kawin
kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset
plus kinderuitzet – buta 3 tahun lamanya
–Lahirnya Pancasila