Bila berjalan menyusuri Kali Mas Surabaya, tampat sederet bangunan yang sekarang berubah menjadi gedung kosong dan berdebu. Di masa lalu, deretan itu adalah pabrik-pabrik masyhur yang mengubah peradaban Surabaya. Mari kita ikuti jejaknya.
Surabayastory.com – Siapa pun yang berkendara di sepanjang Kali Mas di Surabaya, sekarang akan melihat ruang-ruang kosong, luas, dan berdebu. Di sepanjang Jalan Ngagel di sisi Kali Mas, bangunan-bangunan tua itu dikelilingi semak-semak seakan lama tak bertuan. Bangunan tampak berantakan. Gedung-gedung yang berjajar dalam kesunyian itu, membentuk sebingkai bayangan tentang apa yang terjadi di masa lalu di sini. Melihat gelagarnya yang gagah, sesuatu yang besar pernah terjadi di sini.
Dalam perjalanan itu, salah satu yang tampak menonjol di sini adalah Machinefabriek Braat NV. Didirikan tahun 1901 oleh seorang industrialis Belanda, B. Braat Jnz, perusahaan ini mengkhususkan diri dalam produksi semua jenis mesin untuk industri teh dan gula. Selain itu juga memproduksi mesin kapal dan peralatan perang. Terutama karena fungsi yang terakhir, perusahaan pasti sangat berharga bagi penjajah Jepang.
Braat hanya digunakan untuk keperluan produksi yang berkaitan dengan perang pada tahun 1939-1942. Setelah itu banyak membuat peralatan untuk pabrik mesin multi-guna, jalur produksi baru yang dapat dibuat dengan cepat. Produk turunannya tidak terlalu rumit. Markas Braat adalah Surabaya, tetapi perusahaan juga memiliki cabang di Cirebon dan Batavia (Jakart). Selain mobil pengangkut, Braat juga membuat helm untuk serdadu KNIL.
Ini adalah cerita Jan, seorang anak Belanda yang kala perang kemerdekaan tinggal di kawasan Ngagel Surabaya. Ia sudah berumur lebih dari 80 tahun, dan tinggal di Belanda. Ia kerap bercerita, dan mengingat keadaan di masa kecil hingga remaja di kawasan Ngagel, Surabaya.
Kali ini, cerita dimulai di sini. Selama masa Jepang, Belanda membuat perusahaan itu hampir utuh. Tak lama kemudian perusahaan sudah kembali beroperasi penuh. Beberapa lusin orang Belanda dan Indo-Eropa yang bekerja di Braat – sisanya adalah orang Indonesia- dipaksa untuk melanjutkan pekerjaan mereka di bawah kepemimpinan Jepang. Bersama dengan keluarga mereka, mereka ditempatkan di semacam kamp kerja paksa di seberang jalan dari Kali Mas di distrik Darmo. Setiap hari mereka berjalan ke kompleks industri di distrik Ngagel dengan lebam merah di lengan mereka.
Kamp para pekerja ini kemudian ditutup di akhir 1942 atau awal 1943. Kebanyakan pria di sana saat itu adalah orang-orang Belanda. Mereka diinterogasi Jepang. Beberapa yang dicurigai melakukan kegiatan perlawanan, berakhir di penjara. Istri dan anak-anak mereka dikirim ke kamp Darmo terdekat.
Sebagai ilustrasi tambahan, bila mengutip catatan sejarah yang tertulis di situs Barata Indonesia, pabrik ini mengalami beberapa kali transformasi. Gambarannya digambarkan seperti ini. NV Braat Fabriek dibentuk tahun 1901. Mereka fokus pada fasilitas pabrik gula yang diproduksi di Jawa Timur. Selain itu juga ada Machine Fabriek & Werf NV. Molen Fliet yang dibangun tahun 1920. Fokus pekerjaannya hampir sama dengan NV Braat Machine Fabriek, memproduksi peralatan pabrik gula di Jawa Timur. Tahun 1961 Mesin Fabriek & Werf NV. Molen Fliet dinasionalisasi dan diubah namanya menjadi PN Sabang Merauke. Sementara an NV Braat Machine Fabriek dinasionalisasi dan berganti nama menjadi PN Barata.
Era berikutnya (1961-1971), tiga perusahaan nasional PN Barata, PN Peprida dan PN Sabang Merauke bergabung menjadi PT Barata Metalworks & Engineering. Bisnis utama diperluas ke pemeliharaan pabrik gula, produsen mesin pengolahan tanaman perkebunan, fabrikasi dan pemasangan konstruksi baja, produsen mesin road roller, serta layanan pemasangan proyek industri dasar.
Tahun 1974-1976 pabrik dilengkapi dengan pabrik pengecoran besi dan baja di pabrik Gresik dan Jakarta dan mulai memasuki pembangunan peralatan pelabuhan, peralatan bandara dan pembangkit listrik. Pada tahun 1989, perusahaan ini dikelola oleh Lembaga Administrasi Industri Strategis (BPIS) melalui Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1989. Berikutnya, tahun 1998, Perusahaan menjadi anak perusahaan PT Bahana Pakarya Industri Strategis (Persero) dengan keputusan Menteri Kementerian Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara. No. Kep.036 / M-PUBMN / 98 tanggal 7 Agustus 1998. Sejak 2002 hingga hari ini, perusahaan berada di bawah pengelolaan Kementerian Negara setelah PT BPIS dilikuidasi.
Machinefabriek Braat NV
Kembali ke masa lalu. Suatu peristiwa terjadi dan sangat memengaruhi staf Braat. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “perselingkuhan uurfire”. Ceritanya, pada malam 21-22 Juli 1943, Surabaya pertama kali dibom oleh Sekutu. Bagi Jepang, serangan terhadap kompleks Angkatan Laut di pelabuhan Tanjung Perak ini merupakan kejutan besar dan -mereka pikir- tidak bisa tidak menjadi hasil dari komplotan. Letupan api akan ditembakkan untuk memperingatkan pesawat tentang target mereka, dan para pelaku harus digeledah terutama di antara para pekerja Maluku dari Braat yang telah menjadi anggota layanan perlindungan udara sebelum pendudukan.
Setelah penyelidikan pendahuluan yang biasa, penangkapan dilakukan pada akhir Desember 1943. Sebanyak 71 pria, yang sebagian besar bekerja di Braat, dipenjara. “Pengakuan” diperoleh dengan menggunakan praktik penyiksaan dan pada akhir Juli 1944 semua kecuali satu tahanan dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi.
Di Braat, kekurangan staf kemudian diisi dengan memilih pria dari “jalan”. Beberapa orang di antaranya disimpan sebagai tenaga cadangan internal untuk mengganti mereka yang keluar atau ditangkap.
Peristiwa berikutnya yang benar-benar mengguncang Braat terjadi pada Mei 1944. Sekutu telah membuat inventarisasi menyeluruh tentang kemungkinan target pemboman di bulan-bulan sebelumnya. Juga foto udara Surabaya termasuk instalasi minyak di Wonokromo dan pabrik teknik Braat. Serangan itu akhirnya diluncurkan pada 17 Mei dari kapal perang Inggris dan Amerika. Beberapa saksi mengatakan:
“Selama pengeboman, Mr. L., yang bekerja di pabrik pada saat itu, terkena lembaran seng bergelombang. Dia tidak sadar dan memiliki luka yang membentang dari mata kanannya ke tengah tengkoraknya. Luka dijahit di Rumah Sakit Sipil di Surabaya. Korban tetap dalam keadaan koma dan sebenarnya sudah menyerah, tetapi akan sadar kembali setelah seminggu.
Sementara saksi lainnya yang bekerja di pabrik Braat mengatakan, ketika Braat mengalami pengeboman, ada sekitar 150 karyawan (orang Indonesia) yang meninggal. Korban meninggal lainnya adalah satu orang Eropa, Mr. Diephuis. Dia terkena tembakan peluru dari pistol. Dia sendiri mampu melarikan diri ke parit perlindungan. Setelah itu, ia melihat kehancuran yang sangat besar di lingkungan pabrik dan mayat-mayat yang tak terhitung jumlahnya di tanah pabrik.
Catatan dari Sekutu menunjukkan bahwa pengeboman itu berhasil. Pengintaian udara menunjukkan bahwa instalasi minyak di Wonokromo dan pabrik mesin Braat di Ngagel telah luluh lantak dan menyentuh hati. Beberapa staf Braat dipulangkan; pabrik tidak lagi berfungsi dengan baik selama tahun terakhir perang.
Jepang tidak akan menjadi Jepang jika mereka tidak curiga ada rencana lain. Beberapa hari setelah pengeboman, sekitar 50 -terutama karyawan Maluku- diangkat dari tempat tidurnya oleh Badan Intelijen Polisi (PID) dan dikirim ke Kenpeitai. Rumor beredar di Surabaya bahwa orang-orang ini juga akan dieksekusi. Dalam investigasi pasca perang oleh Layanan Investigasi Korban Perang (ODO), investigasi dilakukan di sekitar Lamongan untuk mengetahui apakah ada eksekusi yang dilakukan di sini. Namun, ini mungkin salah alarm. Kebanyakan pria dibebaskan setelah beberapa bulan.
Sebuah Monumen
Kita sekarang tahu sisa sejarah. Ketika kita meninggalkan lokasi bekas situs perusahaan dalam perjalanan kita melalui Surabaya saat ini, kita mungkin bertanya-tanya apakah itu mungkin tidak lebih baik. Kekosongan situs mungkin cocok dengan semua kenangan itu lebih baik daripada kompleks industri modern, sebagai monumen diam yang memperingati semua pekerja pabrik yang kehilangan nyawa mereka di sini. Dan mungkin suatu hari seseorang dapat mendirikan monumen virtual dengan menempelkan foto yang sesuai di lokasi ini. Tetapi sekali lagi, beberapa tergesa-gesa diperlukan, karena siapa tahu, bangunan mungkin sudah terjadi lagi.
Perusahaan ini dilakukan penggabungan perusahaan pemerintah Indonesia dan mantan perusahaan Belanda-India Machinefabriek & Scheepswerf Molenvliet dan Machinefabriek Braat di tahun 1971. Markas besar Barata Indonesia, konon, pertama kali terletak di bangunan tua Braat di Ngagel, tetapi dipindahkan ke lokasi di luar kota pada tahun 2004 karena kurangnya ruang. Kecuali satu gudang, semua bangunan dihancurkan.
Kini, kita dapat sebuah warisan yang porak-poranda, kosong tak bertuan, di tanah datar. Di sini akan dikenang, bila masih ada yang ingat, di sini dulu pernah ada perusahaan besar yang sangat berpengaruh di Surabaya, dan salah satu perusahaan terbesar di Jawa dengan lebih dari seribu karyawan. Di sini banyak sejarah istimewa yang ditorehkan. –sa