Jamu adalah produk asli Nusantara, dan obat-obat dari dunia Barat adalah alternatif. Jangan terbalik dan dibalik. Jejak dan eksistensi jamu kembali dicari di masa pandemi.
Surabayastory.com – Kita sudah lama lupa, jika punya kekayaan karya nenek moyang. Ketika masa pandemi covid-19 datang, jamu dan rempah-rempah nusantara kembali dicari. Ketika penyakit corona belum ada obatnya, kita baru sadar bila nenek moyang kita sebagai bangsa Timur, sudah sejak berabad lampau mengenal pagebluk (wabah) dan sejarah memceritakan bagaimana mengatasinya. Kita hanya malas membaca dan enggan belajar dari masa lalu.
Jamu adalah obat pencegah sekaligus penyembuh bagi masyarakat nusantara sejak lama. Peradaban sudah terbentuk dan mengayomi hidup dan kehidupan manusia di atasnya.
Jamu punya posisi tersendiri dalam masyarakat Nusantara. Khasiat jamu masih sangat dipercaya. Apalagi penelitian membuktikan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk membuat jamu berupa tanaman-tanaman yang berasal dari alam (herbal) yang memiliki khasiat untuk pengobatan. Ditambah lagi dengan adanya tren “back to nature”, orang beramai-ramai kembali mengonsumsi jamu.
Meski pasar dibanjiri oleh banyak sekali merek obat-obatan modern, minuman kesehatan, serta serbuk-serbuk instan yang dipromosikan mampu mendongkrak kondisi vitalitas tubuh, namun posisi jamu masih mampu bertahan. Di negeri nusantara ini, jamu punya sejarah panjang serta arti kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kita dengan mudah bisa mendapatkan jamu dari para penjual keliling dari kampung ke kampong, dalam bentuk cair maupun seduhan. Bahkan banyak rumah makan yang menyediakan minuman jamu seperti beras kencur, sinom, dan kunyit asem.
Arti Kata Jamu
Tidak ada catatan yang resmi sejak kapan tradisi meracik dan meminum jamu bermula. Tapi diyakini tradisi ini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun. Tradisi meracik dan meminum jamu sudah menjadi budaya sejak periode kerajaan Hindu-Jawa.
Relief Candi Borobudur yang dibuat di tahun 772 M menggambarkan kebiasaan meracik dan meminum jamu untuk memelihara kesehatan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura dari peninggalan kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut adanya profesi “tukang meracik jamu” yang disebut Acaraki. Setelah mengenal budaya menulis, bukti sejarah mengenai penggunaan jamu semakin kuat dengan ditemukannya Usada lontar di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Jamu yang sudah dikenal selama berabad-abad di Indonesia awalnya hanya dikenal dalam lingkungan istana atau keraton yaitu Kesultanan di Jogjakarta dan Kasunanan di Surakarta. Resep jamunya pun tidak diperbolehkan keluar dari keraton.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, orang-orang lingkungan keraton yang sudah modern, mulai mengajarkan meracik jamu kepada masyarakat di luar keraton. Penyebaran jamu ke luar istana terjadi pada zaman kerajaan Mataram (Islam). Pada saat itu mulai muncul Wiku, orang pintar atau tabib yang membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan yang kemudian dijajakan dengan cara dipikul laki-laki dan digendong oleh perempuan.
Bagi masyarakat Indonesia, jamu adalah resep turun-temurun dari leluhurnya yang harus dipertahankan dan dikembangkan. Bahan-bahan jamu sendiri diambil dari bagian tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia. Baik itu akar, daun, buah, bunga, maupun kulit kayunya. Karena sejak dahulu kala negeri kita memang telah dikenal kesuburan tanahnya sehingga kita tak perlu lagi mencari tanaman herbal dari luar.
Keanekaragaman tanaman sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam usahanya untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan. Pengolahan tanah dan proses alam yang menyebabkan tumbuh suburnya tanam-tanaman tidak hanya menghasilkan makanan, tetapi juga berbagai produk yang berguna untuk perawatan kesehatan dan kecantikan.
Leluhur kita menggunakan resep yang terbuat dari daun, akar dan umbi-umbian untuk memelihara kesehatan badan dan menyembuhkan berbagai penyakit, perawatan kecantikan muka dan tubuh. Campuran tanaman obat traditional ini dikenal sebagai jamu.
Menurut ahli bahasa Jawa Kuno, istilah “jamu” berasal dari bahasa Jawa Kuno “jampi” atau “usodo” yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan maupun doa-doa dan ajian-ajian. Saat inipun bahasa Jawa Inggil dari jamu adalah jampi. Di abad pertengahan (15-16 M), istilah usodo jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi semakin populer di antara kalangan keraton. Kemudian sebutan “jamu” mulai diperkenalkan pada publik oleh “dukun” atau tabib pengobat tradisional.
Namun, meski sudah mulai keluar dari lingkungan istana, jamu masih digunakan oleh kalangan terbatas. Hingga akhirnya, banyak ahli botani yang mempublikasikan tulisan-tulisan mengenai ragam dan manfaat tanaman untuk pengobatan. Dengan demikian, jamu yang tadinya hanya merupakan milik kalangan terbatas, dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Kemudian, jamu yang dibuat oleh rumah tangga mulai berkembang menjadi industri pada awal tahun 1900. Demikianlah jamu menjadi sangat populer di Indonesia.
Jamu ternyata bukan hanya monopoli masyarakat Jawa. Di seluruh wilayah nusantara mulai dari Jawa, Bali, Madura, Kalimantan, Aceh, Sulawesi, Sumbawa, dan Papua, juga ada jamu. Setiap daerah memiliki ramuan khasnya sendiri. Namun semuanya memiliki kesamaan: bahan-bahannya terbuat dari tanaman herbal dan cara mengolahnya pun hampir sama.
Tradisi jamu di negara lain pada dasarnya serupa dengan tradisi jamu di Indonesia, yaitu merupakan warisan sejarah dari nenek moyang. Namun, Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri karena Indonesia merupakan tempat yang subur sehingga kaya akan berbagai jenis tanaman obat.
Jamu yang belakangan populer dengan sebutan herba atau herbal. awalnya dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit batang, dan buah. Namun dalam perkembangannya ada juga yang menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya. Jamu biasanya terasa pahit sehingga perlu ditambah madu sebagai pemanis agar rasanya lebih dapat ditoleransi peminumnya.
Jamu Sekarang
Sekarang jamu telah berkembang menjadi semacam minuman ringan. Baik jamu gendongan, jamu serbuk maupun jamu pabrikan diolah sedemikian rupa sehingga rasanya enak. Tak mengherankan kini jamu telah menjadi pesaing minuman ringan seperti teh kemasan, minuman soda, isotonic, jus, aneka es, dan sebagainya.
Namun jamu sebagai obat, saat ini tak seaman yang diduga banyak orang. Banyaknya jamu yang tak lagi asli, ataupun bercampur dengan obat kimia, membuat eksistensi jamu asli nusantara sangat terganggu. Kita, sebagai bangsa Nusantara, berkewajiban untuk kembali mendorong eksistensi jamu nusantara. Jamu sebagai produk asli nusantara, bukan sebagai pilihan atau alternatif terakhir. –sa, dari berbagai sumber