Masyarakat Jawa yang dikenal sudah mempunyai tingkat peradaban tinggi sejak dulu kala, dilingkupi banyak falsafah hidup yang membuatnya tetap ‘hidup’ dan beradab..
.
Surabayastory.com – Luas dibicarakan, filsafat Jawa atau kehidupan manusia Jawa telah lama menjadi perbendaharaan dunia. Setelah bangsa Eropa meninggalkan tanah Jawa dan Indonesia, banyak hal yang mereka tinggalkan, begitu pula beraneka hal yang mereka bawa pergi ke negaranya. Catatan dan dokumen penting budaya dan falsafah Jawa kini lengkap tersimpan di museum-museum Eropa, terutama Belanda.
Selain Belanda yang berhasil menjajah negeri ini hampir 350 tahun, bangsa Inggris juga meninggalkan jejak di beberapa wilayah, antara lain Bengkulu di Sumatra Selatan. Beberapa peninggalan dan temuan penting di Bengkulu mengabadikan dengan nyata kehadiran Inggris, misalnya nama bunga bangkai (Rafflesia Arnoldi) di hutan jajaran Bukit Barisan yang dipadankan dengan Raffles. Benteng pertahanan yang melindungi Kota Bengkulu juga bernama Inggris, yakni Benteng Marlboro. Hampir semua patung atau penanda sejarah lainnya di pantai barat Sumatra ini juga berlabel Inggris.
Hanya bangsa Jepang yang pernah menjajah seumur jagung nyaris tidak meninggalkan jejak budaya apapun. Mungkin waktu berada di Jawa memang hanya sebentar. Selain itu penjajah Jepang lebih dikenal sebagai bangsa yang keras menindas dan meninggalkan banyak penderitaan. Hampir seluruh orang Jepang yang datang ke Jawa adalah tentara dan prajurit. Naluri dan alam psikologis mereka adalah perang, penaklukan, dan penjajahan. Tidak terdapat sentuhan budaya Jepang di sini, kecuali kecakapan penduduk Jawa yang mahir berbahasa dan bernyanyi lagu Jepang.
Negara-negara lain di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, yang pernah singkat disinggahi penjajah Jepang, juga bernasib sama. Mereka itu umumnya mengenang kekejaman dan kebengisan tentara Jepang yang secara luas tega menodai gadis-gadis setempat tanpa tanggung jawab perkawinan sah (Jugun Ianfu). Gelombang protes datang dari banyak wanita Asia bekas jajahan Jepang. Namun sampai hari ini belum ada pernyataan maaf resmi pemimpin Jepang atas perlakuan buruk tentara mereka pada zaman Perang Dunia pertama itu.
Selama dijajah Belanda begitu lama, orang Jawa tidak terpuruk begitu dalam. Bahkan sebaliknya banyak pemikiran filsafat yang berkembang baik di kalangan keraton maupun masyarakat biasa di perdesaan. Salah seorang pemikir Jawa yang ajarannya mampu menembus zaman adalah Ki Ageng Soerjomentaram. Beliau adalah putra ke 55 di antara 79 putra-putri Sultan Hamengkubuwono VII yang lahir 22 Mei 1892. Ibunya BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandojo, seorang garwa ampil dan putri Patih Danuredja VI (Lihat ‘Psikologi Jawa’, Darmanto Jatman, Yayasan Bentang Budaya1997). Kelak dalam peristiwa politik keraton, Patih Danuredja VI diturunkan dari kepatihan, dan anaknya Retnomandojo diceraikan Sri Sultan.
Ki Ageng sendiri mendapatkan pendidikan dasar di sekolah keraton, kemudian bekerja sebagai pegawai administrasi. Pada umur 18 tahun beliau diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harjo (BPH) Soerjomentaram. Dalam perjalanan hidupnya Ki Ageng sangat tertarik pada kehidupan jiwa manusia Jawa yang kemudian dikenal sebagai ‘kawruh jiwa’ atau ‘kawruh begja’. Ki Ageng banyak merenungkan penderitaan manusia dan perbedaan nasib antara para pangeran keraton yang menikmati hidup enak dengan para petani yang hidup tidak enak.
Begitu pula kehidupan para abdi dalem keraton yang sepanjang usia hanya menerima perintah, bekerja setulus hati dan sepenuh hari, tetapi tidak mendapatkan imbalan cukup. Bagaimana cara golongan bawah ini bisa membahagiakan hidupnya kalau hidup sangat dikekang formalitas dan perbedaan kelas? Ki Ageng tidak merasakan kehangatan hubungan antarmanusia, kecuali hanya ‘empat De’ ; Dangu, Dhawuh, Duka, Drana (bertanya, memerintah, marah, memberi hadiah).
Laku Ki Ageng Soerjomentaram
Dikisahkan Darmanto Jatman, psikolog, penyair, dan pengajar di Universitas Diponegoro Semarang, bahwa Ki Ageng sering bepergian keluar keraton untuk menyepi dan bersamadi. Beliau meninggalkan keramaian dan keagungan para pangeran keraton untuk mencari ‘sejatinya hidup’, karena kekayaan material telah menghambat kebahagiaan manusia. Beliau kemudian menanggalkan gelar kepangerannya dan hidup sebagai petani di desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah.
Hal ini mengingatkan orang akan riwayat Budha Gautama, atau filsuf India yang mashur sebagai pemikir modern Krishnamurti. Kedua tokoh ini pergi meninggalkan kemewahan dan kenikmatan hidup untuk menghayati makna hidup yang sesungguhnya. Pemikiran Krishnamurti juga mampu menembus zaman, bahkan melebar melampaui batas negaranya. Tak bisa disangkal, jalan filsafat Krishnamurti banyak kemiripan dan keselarasannya dengan para pemikir kejiwaaan Jawa seperti Ki Ageng. Mungkin keduanya tak jauh-jauh dari sumber yang sama, Hindu-Budha, atau falsafah apapun yang bersifat universal.
Sebagian masyarakat desa Bringin masih mengingat pakaian kebesaran Ki Ageng, yaitu celana hitam petani yang longgar dengan sabuk kulit tebal, berkalung kain batik parang rusak barong, kain yang biasa dipakai para raja. Atribut ini dipersepsi sebagai ‘pemberontakan’ seorang putera keraton, atau sebaliknya justru sebuah harmoni busana antara petani dan para pangeran. Selain bertani, Ki Ageng banyak melakukan ceramah berkeliling dari kota ke kota, serta menerbitkan majalah ‘Jawah Kawruh’ yang tak bertahan lama.
Makna kegiatan Ki Ageng yang terbesar adalah menerjemahkan nilai ke dalam laku sehari-hari yang nyata. Mengubah moralisme menjadi kegiatan hidup (Darmanto Jatman hlm 44). Wejangan-wejangan ini menjadi piwulang Ki Ageng di setiap kesempatan bertemu dengan rakyat. Sebagian lagi wejangan itu diajarkan dalam setiap pertemuan beliau bersama Ki Pronowidigdo di Yayasan Hidup Bahagia di Jakarta tahun 1959. Oleh sebuah panitia penerbitan, wejangan tersebut dirangkum dalam buku ‘Ilmu Jiwa Kramadangsa’
Sesungguhnya Kramadangsa hanyalah sekadar nama, sebagai penanda rasa pribadi yang identik dengan nama sendiri setiap orang. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti tujuan hidup dan kebutuhan hidup dengan pikirannya. Tujuan hidup itu mendorong manusia menciptakan cita-cita. Namun kegagalan mencapai cita-cita (ataupun keinginan) adalah penyebab derita. Manusia itu identik keinginan, dan keinginan bersifat mulur-mungkret. Kalau tercapai manusia merasa senang, kalau tak tercapai mendatangkan kesusahan.
Ketidakmampuan memahami rasa senang dan rasa susah ini akan menimbulkan ‘rasa terikat’. Tetapi bila manusia berhasil memahami rasa itu akan timbul ‘rasa merdeka’. Kata Ki Ageng, dalam pergaulan, mengerti rasa sendiri akan menimbulkan rasa damai. Karenanya meneliti dan mengerti rasa sendiri itu perlu. Seluruh perjalanan jiwa dalam memahami proses mengerti rasa ini, tidaklah memerlukan kehadiran guru. Tidak ada guru dalam praktik pertemuan mereka.
Sikap mengajarkan tanpa guru ini juga digemakan Krishnamurti, yang membubarkan padepokan jiwa miliknya karena dia tidak memerlukan murid-murid. Menurut Krishnamurti, setiap manusia memiliki kapasitas dan kemampuan mencapai derajat tertinggi (transenden) yakni tatkala dirinya mampu menaklukkan alam pikiran dan nafsunya. Di sanalah terdapat kebahagiaan dan kesejatian hidup. Ajaran beliau berpusat pada perubahan batin yang menyeluruh di setiap individu, yang akan menghasilkan perubahan masyarakat dan perdamaian dunia. Diperlukan revolusi batin dengan cara melihat diri kita sendiri dalam keadaan yang sebenarnya. Bukan secara bertahap, melainkan seketika. (Mary Lutyens, Yayasan Idayu Jakarta dan Yayasan Krishnamurti Indonesia, 1976. Judul asli ‘’The Penguin Krishnamurti Reader’’ diterbitkan di Inggris 1954, 1963,1965).
Renungan Sosrokartono
Pemikiran Ki Ageng juga terlacak pada renungan Sosrokartono, kakak Raden Ajeng Kartini, yang hidup pada masa bersamaan dengan Ki Ageng. Sekalipun banyak orang menganggap Sosrokartono adalah guru, namun ia sendiri menolaknya dengan mengatakan: ‘’Murid, gurune pribadi. Guru, muride pribadi’’. (Kusnadi Partosatmoko, 1970). Sosrokartono dikenal luas sebagai cerdik pandai yang menguasai banyak bahasa asing, menguasai ilmu politik, hukum dan juga budayawan yang produktif dan andal. Tak heran pula orang lebih memuliakan beliau sebagai guru ilmu dan guru kehidupan.
Sebagai tokoh yang menjelajah dunia, Sosrokartono sudah pasti bergaul dengan berbagai-bagai pemikiran, keyakinan religi, dan agama-agama Barat. Boleh jadi buah pikirannya adalah kumpulan saripati keunggulan dunia. Saling terpengaruh dan saling menguatkan budaya Jawa bisa terjadi di antara budaya dan religi dunia.
Douglas R. Groothuis menulis dalam bukunya ‘’Unmasking The New Age’’, A New Religious Movement Trying to Transform Society, 1986, tentang lahirnya generasi baru yang berbeda dengan pemikiran arus besar (mainstream) Kristiani. Yang disebut generasi baru tidak mengacu pada golongan usia muda, melainkan suatu gerakan meluas yang lintas usia, bahkan lintas Negara dan budaya. Douglas sendiri tidak berhenti sebagai pemikir Barat. Dia juga belajar ke religi-religi Timur yang beraneka di Asia. Secara ringkas dapat disimpulkan, gerakan New Age ini memahamkan pengertian baru tentang ketuhanan, hubungannya dengan seisi kehidupan dunia. Bahwa pada setiap makhluk hidup dan benda yang tercipta di dunia menyiratkan sifat ketuhanan yang Esa. Pemahaman yang disebutnya sebagai hybrid spirituality (gabungan dari agama besar Hindu, Budha, Tao, dan sempalan-sempalannya) itu diyakini Douglas bakal menjadi kekuatan yang mengubah masyarakat dengan spiritualitas baru. –tks