Buahnya kecil, bentuk seperti torpedo. Diameternya hanya sekitar 2 cm. Panjang antara 4-10 cm. Tapi buah ini khasiatnya besar. Belimbing wuluh memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga sangat baik untuk bahan makanan sekaligus pengawet alami.
Surabayastory.com – Proses pengawetan makanan telah ada sejak awal peradaban manusia. Saat itu pengasapan telah digunakan untuk proses pengawetan daging, ikan dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan garam, asam dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Orang kuno menggunakan bahan yang ada di alam untuk mengawetkan makanan mereka. Hal ini dilakukkan secara turun menurun.
Masyarakat Mesir kuno sekitar tahun 1550 SM telah menggunakan rempah-rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi. Sejak zaman pra sejarah manusia tampaknya telah menyadari bahwa banyak bahan alami memiliki sifat menghambat mikroba (bakteri) yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya.
Di abad modern mulai dikenal penggunaan bahan pengawet menggunakan senyawa kimia sintetis dengan tujuan untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba (bakteri), sehingga bahan pangan lebih awet dan penampilannya tidak cepat berubah.
Jadi kalau dibuat suatu periodisasi, penggunaan pengawet di dalam bahan pangan sendiri bermula dari penggunaan garam, asap dan asam (proses fermentasi) untuk mengawetkan pangan. Sejumlah bahan antimikroba kemudian dikembangkan dengan tujuan untuk menghambat atau membunuh mikroba pembusuk (penyebab kerusakan pangan) dan mikroba patogen (penyebab keracunan pangan).
Penggunaan belimbing wuluh untuk mengawetkan makanan sudah lama dipraktikan di Aceh. Memang dibanding dengan masyarakat Indonesia lainnya, rakyat Aceh paling banyak membudidayakan dan memanfaatkan tanaman belimbing wuluh. Pada umumnya, mereka mengolah belimbing wuluh menjadi penyedap rasa, yang disebut asam sunti. Di sisi lain mereka juga menggunakan air belimbing wuluh yang diperoleh dari proses pembuatan asam sunti itu untuk mengawetkan ikan dan daging.
Banyak peneliti di bidang pertanian mencoba mengkaji lebih jauh pemanfaatan air belimbing wuluh sebagai alternatif untuk mengawetkan ikan dan daging. Penelitian dilakukan dengan melihat ketahanan ikan dan daging yang diawetkan dengan air belimbing wuluh. Tak lupa dikaji pula keekonomisan penggunaan air belimbing wuluh tersebut.
Setelah mengadakan percobaan dan pengamatan, akhirnya para peneliti itu menyimpulkan, bahwa air belimbing wuluh dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mengawetkan ikan dan daging. Selain itu, penggunaan air belimbing wuluh ternyata sangat ekonomis karena mendapatkannya hampir tidak memerlukan biaya sama sekali.
Para peneliti berharap agar air belimbing wuluh dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mengawetkan ikan dan daging oleh siapa saja, Tidak hanya terbatas pada masyarakat Aceh, karena telah terbukti efektif sebagai bahan pengawet makanan. Mereka berharap tanaman belimbing wuluh dapat dibudidayakan secara khusus, karena dapat mendatangkan banyak manfaat.
Pengujian secara in vitro pada bakteri Escherichia coli (E. coli), Staphylococcus aureus (S. aureus), Micrococcus luteus (M. luteus) dan Pseudomonas fluorescens (P. fluorescens). menunjukkan potensi yang aktif belimbing wuluh sebagai antibakteri. Antibakteri adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri. Antibakteri dalam definisi yang luas adalah suatu zat yang mencegah terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Antibiotik maupun antibakteri sama-sama menyerang bakteri. Kedua istilah ini telah mengalami pergeseran makna selama bertahun-tahun sehingga memiliki arti yang berbeda. Antibakteri biasanya didefinisikan sebagai suatu zat yang digunakan untuk membersihkan permukaan dan menghilangkan bakteri yang berpotensi membahayakan.
Antibakteri adalah jenis bahan tambahan yang digunakan dengan tujuan mencegah pembusukan atau terpapar racun oleh mikroorganisme pada bahan pangan. Beberapa jenis senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium dan esternya, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil karbonat dan metil askorbat. Antibakteri alami bisa berasal dari produk hewani, tanaman maupun mikroorganisme misalnya bakteriosin.
Kemampuan suatu zat antimikrobia dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya : 1) konsentrasi zat pengawet, 2) jenis, jumlah ,umur, dan keadaan mikrobia, 3) suhu, 4) waktu, dan 5) sifat-sifat kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah komponen di dalamnya. Sementara berdasarkan sifat toksisitas selektifnya terdapat antibakteri yang bersifat menghambat dan membunuh bakteri.
Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tannin, sulfur, asam format , kalsium oksalat dan kalium sitrat. Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin. Tanin ini juga digunakan sebagai astringent baik untuk saluran pencernaan maupun kulit. Dan juga dapat digunakan sebagai obat diare.
Daun belimbing wuluh juga mengandung senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh banyak mikroorganisme.
Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman seperti belimbing wuluh, daun jambu, jahe, sirih, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa hasil penelitian in vitro terhadap efek anti bakteri, menunjukkan potensi yang cukup signifikan pada beberapa tanaman tersebut. Hal ini dtunjukkan dengan terbentuknya zona hambat pada area cakram yang dibuat dengan menggunakan media agar.
Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya. Senyawa antimikroba yang diinginkan adalah yang luas, meskipun hal ini sulit dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis mikroba. Tapi terhambatnya suatu jenis mikroba kadang-kadang menyebabkan mikroba jenis lain di dalam produk tersebut menjadi dominan. Oleh karena itu, senyawa antimikroba untuk suatu produk harus besifat aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan di dalam produk itu.
Tanaman belimbing wuluh, baik daun, buah bahkan batangnya mempunyai manfaat dan khasiat. Kandungan kimia pada A.bilimbi adalah tanin, saponin, glukosida, sulfur, asam format, peroksida. Identifikasi golongan pada ekstrak etanol dari buah belimbing wuluh menunjukkan adanya senyawa flavonoid, triterpenoid. Kandungan daun belimbing wuluh adalah tanin, flavonoid, dan terpenoid. Pelarut aseton:air (7:3) adalah pelarut yang terbaik untuk memperoleh ekstrak senyawa tanin pada daun belimbing wuluh. Perhitungan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter, adalah 10,92%.
Tanaman belimbing wuluh, baik pada batang, buah dan daun, berdasarkan hasil pengujian secara in vitro pada bakteri Escherichia coli (E. coli), Staphylococcus aureus (S. aureus), Micrococcus luteus (M. luteus) dan Pseudomonas fluorescens (P. fluorescens) menunjukkan potensi yang aktif sebagai antibakteri. Senyawa aktif yang diduga terdapat pada tanaman belimbing wuluh yang bersifat sebagai antibakteri antara lain, senyawa-senyawa metabolit skunder tanin, flavonoid, alkaloid, terpenoid, saponin.
Belimbing wuluh yang melimpah di Indonesia, belum dimanfaatkan dengan maksimal. Di negeri tropis ini, banyak kekayaan alam yang masih terbuang dengan sia-sia. –drs