Korea Selatan dan Indonesia berangkat dari dasar yang mirip. Kenapa Korea Selatan maju lebih cepat? Kita bisa belajar.
Surabayastory.com – Sejarah korsel dengan Indonesia sebenarnya tidak begitu berbeda. Korsel menjadi negara merdeka dua hari lebih awal dari Indonesia. Setelah merdeka, kedua negara tidak bisa langsung fokus membangun negara. Korea disibukan dengan perang saudara dan Indonesia harus menghadapi ambisi Belanda untuk menjajah kembali.
Di tahun 1950, Korea Selatan merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Sama dengan sejumlah negara di Afrika dan Asia. Sementar ekonominya hanya bersandar pada pertanian. Begitu juga Indonesia mulai pembangunannya sebagai negara miskin yang bertumpu pada pertanian. Justru kita punya kelebihan yang tidak dimiliki Korea, sumber daya alam yang besar.
Namun 4 dekade kemudian Korea Selatan berubah cepat dari negara termiskin menjadi salah satu negara paling kaya dan tercanggih di dunia. Kekuatannya berlipat-lipat dari negeri kita. Ini bisa dilihat dari berbagai indicator mulai dari PDB, pendapatan perkapita, volume ekspor, cadangan devisa, dan sebagainya.
Seperti di Indonesia, di Korea Selatan pun ada pengemis. Berbeda dengan pengemis dan gelandangan di Indonesia yang mengemis karena tidak ada pekerjaan lain, di Korsel pengemis benar-benar orang malas. Kalau di Indonesia para pengemis berpakaian kotor, usianya dari tua sampai muda, sering dikejar-kejar Satpol PP, sedangkan di Korsel mereka bersepatu, berpakaian lumayan rapi, dan sesekali berkaca mata hitam. Tak jarang para pengemis Korsel bermodalkan alat musik untuk sekadar menghibur. Mereka lebih cenderung sebagai pengamen.
Di manapaun mereka berada , pengemis Korea tak pernah merasa takut dijaring petugas ketertiban. Hanya saja di beberapa tempat keramaian ada tulisan himbauan untuk tidak memberi uang kepada mereka.
Para peminta-minta di Korsel bisa ditemukan di stasiun-stasiun kereta api. Sasaran mereka adalah orang-orang asing. Ini memang merupakan sisi lain dari Korea Selatan yang mengejutkan, Sebagai gambaran di China, kita akan sulit sekali menemukan pengemis.
Namun keberadaan pengemis ini tak ada artinya dibanding etos kerja kebanyakan orang Korea. Mereka tak sampai menghambat kemajuan Korsel karena terlalu banyak pekerja keras yang ada di Korsel.
Ada yang bilang etos kerja orang Jepang adalah 5 kali lipat dari etos kerja orang Indonesia , sedangkan etos kerja penduduk Korea Selatan adalah 3 kali lipat dari etos kerja penduduk Jepang.
Keberhasilan Korsel jelas didukung budaya kerja keras dan etos kerja yang tinggi. Orang Korsel dikenal sebagai pekerja keras, dengan jam kerja jauh lebih panjang dibandingkan bangsa di negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) lain. Faktor lain adalah adanya kemitraan kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan tantangan baru.
Etos Kerja Sejak Sekolah
Etos kerja rakyat Korsel sudah ditempa para orangtua sejak masa sekolah. Di Korea Selatan semua orang ingin anaknya menjadi yang terbaik dari segi akademik. Seorang anak yang baru menginjak umur tiga tahun sudah harus masuk sekolah berasrama (boarding school) dari Senin hingga Jumat. Otomatis si anak hanya dua hari bertemu dengan kedua orangtuanya.
Ketika masa sekolah yang sesungguhnya tiba, selain pelajaran di sekolah anak-anak masih dileskan. Begitu berambisinya para orangtua menjadikan anaknya pintar, sampai-sampai jumlah pengajar tempat les (hagwon) jauh lebih besar dibanding jumlah guru sekolah.
Jurnalis Time menemukan angka-anak Korea belajar sampai dinihari. Mereka hanya tidur 5-6 jam per hari dari yang seharusnya sembilan jam. Efek negatifnya tentu ada. Kehidupan yang penuh tekanan seperti itu akan memicu stres. Tak heran bila Korea Selatan mencatat angka bunuh diri tertinggi di antara 30 negara maju, melebihi angka bunuh diri negara Jepang.
Menyadari hal ini, Pemerintah Korea Selatan mengambil tindakan drastis dengan menghentikan kegiatan belajar anak-anak yang dirasa berlebihan. Majalah Time pernah memberitakan, pemerintah negeri ginseng itu menurunkan tim kecil berkekuatan 5-6 orang untuk merazia anak-anak yang masih belajar setelah jam 10 malam. Yang menjadi sasaran utama adalah tempat-tempat les/bimbingan belajar.
Time menemukan bahwa murid-muris itu bekerja keras (work hard), tetapi tidak bekerja secara cerdik (work smart). Contohnya, pada malam hari banyak siswa yang belajar sampai dinihari. Tapi keesokan harinya ketika di kelas mereka tertidur. Seandainya mereka memusatkan perhatian di dalam kelas, niscaya mereka tidak perlu mengikuti les ini-itu di malam hari.
Sebagai perbandingan adalah negara Finlandia sebagai satu-satunya negara maju yang mencatat hasil ujian akademik anak usia 15 tahun sebanding dengan Korea, hanya 13% anak sekolah yang mengambil les tambahan di malam hari. Jadi sebenarnya les-les semacam itu tidak
perlu jika si anak benar-benar memusatkan perhatian di sekolah.
Kegilaan belajar anak Korea juga diakibatkan oleh kompetitifnya proses masuk ke perguruan tinggi. Hanya ada tiga perguruan tinggi top di Korea Selatan yang diperebutkan oleh 580 ribu lulusan sekolah menengah. Tingkat penerimaan hanya 14%. Yang gagal biasanya mengambil les hagwon, dan setelah bekerja keras bagai kesetanan selama dua minggu untuk ujian ulang, sebagian di antara mereka bisa masuk ke perguruan tinggi top tersebut.
Korea Selatan dengan cepat bangkit dari keterpurukannya. Negara menfasilitasi semua keperluan warga negaranya untuk maju bersama. Kita bisa mencontohnya, belajar untuk bangkit dengan bekerja keras. Bukan hanya pintar berdebat dan komentar di media sosial. –drs