Postmodern adalah sebuah kondisi masyarakat yang menarik untuk dipelajari dan ditelaah lebih lanjut.
Surabayastory.com – Obyek dari studi ini adalah kondisi pengetahuan pada masyarakat yang paling berkembang. Kata yang digunakan adalah postmodern dalam menggambarkan kondisi tersebut. Istilah ini kemudian digunakan di benua Amerika di antara para sosiolog dan kritikus; ia menunjukkan keadaan budaya kita mengikuti transformasi yang, sejak akhir abad kesembilan belas, telah mengubah aturan main sains, sastra, dan kesenian. Studi ini akan menempatkan transformasi tersebut dalam konteks mengenai krisis narasi.
Sains selalu berada dalam konflik dengan narasi. Dipandang dari luasnya sains, mayoritas dari mereka terbukti berupa fabel. Namun mengingat besarnya sehingga sains tidak membatasi diri dalam menyatakan peraturan yang berguna dan mencari kebenaran, ia wajib melegitimasi aturan mainnya sendiri. Dari situ kemudian dihasilkan suatu wacana mengenai legitimasi yang berkaitan dengan statusnya sendiri, wacana yang disebut filsafat.
Di sini akan menggunakan istilah modern untuk menunjukkan sains apapun yang melegitimasi dirinya sendiri dengan referensi pada suatu metawacana semacam ini yang membuat suatu keputusan eksplisit pada beberapa narasi agung, semacam dialektika spirit, hermeneutika dari arti, emansipasi atas subyek rasional atau pekerjaan, atau penciptaan kesejahteraan.
Sebagai contoh, aturan konsensus antara pengirim dan penerima dari suatu pernyataan dengan nilai-kebenaran dianggap dapat diterima apabila ia dilemparkan dalam arti secara suara bulat yang memungkinkan antara pemikiran rasional: ini adalah narasi pencerahan, yang mana tokoh pengetahuan bekerja menuju suatu akhir etika-politik yang baik-perdamaian universal. Seperti dapat dilihat dari contoh ini, bila suatu metanarasi mengimplikasikan suatu filsafat sejarah, biasanya melegitimasi pengetahuan, pertanyaan-pertanyaan akan muncul menyangkut validitas institusi yang mengatur ikatan sosial: hal-hal ini harus dilegitimasi juga. Maka keadilan diserahkan pada narasi agung dengan cara yang sama seperti halnya dengan kebenaran.
Untuk menyederhanakan hal ekstrim, didefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan pada metanarasi. Ketidakpercayaan ini tidak diragukan lagi adalah produk kemajuan sains: namun kemajuan ini pada gilirannya malah mensyaratkannya. Usangnya perangkat metanarasi atas legitimasi dapat disamakan, secara khusus, dengan krisis filsafat metafisika dan institusi universitas yang pada masa lalu bertumpu padanya.
Fungsi narasi kehilangan maknanya, kepahlawanannya, mara-bahayanya, perjalanan mahsyurnya, tujuan utamanya. Ia dihamburkan dalam awan elemen bahasa narasi – narasi, namun juga denotatif, preskriptif, deskriptif, dan sebagainya. Diterangkan dalam tiap awan adalah valensi pragmatik khusus untuk tiap-tiap macamnya. Masing-masing kita tinggal dalam persimpangan hal-hal ini. Namun bagaimanapun, kita tidak perlu menciptakan kombinasi bahasa yang stabil, dan kelengkapan-kelengkapan yang kita ciptakan tidak terlalu perlu untuk dapat dikomunikasikan.
Maka masyarakat masa depan sedikit jatuh dalam wilayah antropologi Newtonian (semacam strukturalisme atau teori sistem) dibandingkan dengan pragmatik dari partikel bahasa. Terdapat banyak permainan bahasa – suatu keanekaragaman elemen. Mereka sekedar memberi tambahan tambal sulam dalam institusi-institusi-determinisme lokal.
Bagaimanapun juga, para pembuat keputusan berusaha mengatur awan-awan sosialitas ini menurut matriks masukan/keluaran, mengikuti suatu logika yang mana mengimplikasikan bahwa elemen-elemen mereka dapat saling diperbandingkan dan bahwa keseluruhannya dapat ditentukan. Mereka menetapkan kehidupan kita dalam perkembangan kekuasaan. Dalam hal keadilan sosial dan semacam kebenaran sains, legitimasi kekuasaan tersebut didasarkan pada optimasi kinerja sistem-efisiensi. Aplikasi kriteria ini bagi semua permainan kita mengakibatkan teror pada tingkatan tertentu, baik secara lemah maupun keras: menjadi operasional (yaitu, sepadan) atau lenyap.
Logika kinerja maksimum tidak diragukan lagi inkonsisten dalam banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan, kontradiksi dalam bidang sosioekonomi: ia menuntut kerja kurang (untuk menurunkan ongkos produksi) sekaligus kerja lebih (untuk mengurangi beban sosial atas populasi tidak bekerja). Namun ketidak-percayaan saat ini telah sedemikian besar sehingga kita tidak lagi mengharapkan penyelamatan untuk bangkit dari ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan ini, seperti yang dilakukan Marx.
Masih saja, kondisi postmodern adalah hal asing bagi ketiadaan pesona sehingga menjadi positif buta dari legitimasi. Di mana, setelah metanarasi, dapatkah legitimasi bertahan? Kriteria operatif adalah teknologi; tidak ada hubungannya dalam menentukan mana yang benar atau adil. Apakah legitimasi yang ditemukan dalam konsensus diperoleh melalui diskusi, seperti yang dipikirkan Jürgen Habermas? Konsensus semacam itu terlalu keras bagi keanekaragaman permainan bahasa. Dan penemuan baru selalu lahir dari perselisihan. Pengetahuan postmodernisme tidak sesederhana alat otoritas; ia menyempurnakan sensitivitas kita pada perbedaan dan memperkuat kemampuan kita bertoleransi terhadap sesuatu yang tak dapat diukur. Prinsipnya bukan homologi para ahli, melainkan paralogi para penemu.
Berikut adalah suatu pertanyaan: apakah suatu legitimasi dari ikatan sosial, masyarakat yang adil, dapat berjalan dalam kerangka suatu analogi paradoks terhadap aktivitas ilmiah? Paradoks semacam apakah itu?
Sang filsuf akhirnya menghibur dirinya sendiri dengan pemikiran bahwa analisis formal dan pragmatis atas wacana filosofis dan etik-politik mengenai legitimasi, yang mendasari laporan ini, suatu saat akan melihat cahaya terang. Laporan ini akan menyajikan pengenalan bahwa analisis dari suatu sosiologi yang agak miring, adalah sesuatu yang terpotong namun pada saat yang sama dapat menempatkan dirinya. –lyo