Di awal tahun 1942, aku menerima sebuah surat dari seorang prajurit tak dikenal, seorang sersan di Darwin. Surat itu menjelaskan bagaimana dia telah menjalankan tugas penjagaan dengan seorang temanku, yang kemudian menunjukkan padanya fotoku (temanku membawanya sebelum dia meninggalkan rumah). Pada saat yang sama berkumandang peringatan tentang terjadinya serangan udara sehingga foto tersebut terpaksa masuk ke kantung baju sang sersan. Pada malam harinya dia menulis surat pada foto itu. Isinya tentang kesedihan (mungkin ditulis karena kesepian dan kesunyian mencekam, serta ketidakpastian apa yang akan menghadang di depan). Dan juga sebuah surat cinta yang memancarkan kehangatan.
Aku telah menulis surat kepada beberapa teman di ketentaraan. Demikian juga yang dilakukan begitu banyak gadis selama masa-masa tersebut. Aku mengesampingkan surat itu, tetapi karena ketulusan dan kejujurannya, aku membuat surat balasan beberapa waktu kemudian. Yang terjadi kemudian, pada bulan Februari 1942, para tentara ini dikalahkan oleh Jepang dan mereka ditahan. Kami kehilangan komunikasi untuk masa tiga setengah tahun.
Ketika perang berakhir, temanku yang mengambil foto tersebut tewas, bersama dengan ratusan lainnya dalam sebuah kamp yang kejam. Aku juga memastikan bahwa sersanku itu, yang menulis surat cinta padaku, juga tewas. Dan aku berusaha untuk terus menjalani hidup dan melupakan masa-masa sedih tersebut.
Tahun 1951 aku tengah berjalan-jalan di belakang kantorku di Melbourne ketika lampu berubah di sebuah perempatan jalan. Seorang lelaki yang tertangkap basah melanggar lampu merah, dicecar interograsi kecil oleh seorang polisi muda yang tengah bertugas dan memerintahkan untuk kembali ke ruas tempat dia berjalan kaki.
Marah karena didesak demikian, orang tersebut menginjakkan kakinya kembali ke trotoar dan tanpa sengaja kakinya menginjak kakiku, hingga merobekkan stocking dan melukai kakiku. Orang itu pun memohon maaf sebesar-besarnya, selanjutnya kami berjalan menuju kantor. Dia memohon agar diizinkan mengganti stocking dan janji bertemu di bar Mitre malam selanjutnya.
Kami sekarang berada di pintu kantorku, dalam ketergesaan, aku setuju untuk bertemu. Ketika dia berbalik untuk pergi dia tersenyum dan memberitahu namanya. Namanya sama dengan nama penulis surat rahasiaku pada tahun 1942. Aku benar-benar membuka ingatanku. Aku masih menyimpan surat itu, meski entah di mana aku tidak ingat. Banyak barang-barangku yang telah tercecer selama proses pindah rumah di tengah-tengah waktu yang sibuk.
Malam selanjutnya, di sebuah bar dia memberiku sepasang stocking baru dan aku memberinya surat itu. Awalnya, itu tidak berarti apa-apa baginya (bagaimana mungkin setelah tiga setengah tahun dalam kekejaman dan kelaparan?). Tetapi setelah membaca keseluruhan surat itu dia kembali mengingat. Kemudian pada malam itu ketika kami saling berpandangan satu sama lain, terasalah sesuatu yang sangat halus seakan memberitahu kami, seakan semua sudah digariskan. Peristiwa kebetulan itu terasa begitu kuat. Apalagi, pada saat itu kami berdua masih sama-sama bujangan. Kami menikah satu tahun kemudian.
Pada kesempatan hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-40 tahun, yang dirayakan oleh putra dan putri kami, aku membacakan surat yang sangat istimewa itu (yang berusia lima puluh tahun) di hadapan puluhan sahabat-sahabat dekat kami. Beberapa kawan ini, meski telah mendengar ceritaku selama bertahun-tahun, mungkin masih ragu kalau surat itu benar-benar ada. Jadi ketika aku bacakan, itulah buktinya. Aku berharap mereka bisa tersentuh dan merasakan surat itu. Dengan bantuan Tuhan, surat itu menyatukan dua orang yang jika sebaliknya yang terjadi, pasti tidak akan pernah bertemu. —Joan Luup