Surabayastory.com – Dalam berbagai acara diskusi pendidikan di mana saya terlibat, sering muncul usulan agar pelajaran budi pekerti diberlakukan kembali di sekolah-sekolah. Usulan dari berbagai pihak itu disampaikan mayoritas dengan alasan senada; anak-anak sekarang kebanyakan kurang punya sopan santun atau kurang unggah-ungguh (bahasa Jawa).
Saya selalu menyatakan tidak sepakat dengan usulan itu berdasar dua alasan. Pertama, tak tepat budi pekerti dikemas dalam satu mata pelajaran tersendiri. Mengapa? Jika dikemas dalam satu mata pelajaran sendiri, pelajaran itu mestinya harus diampu oleh guru lulusan dari jurusan Pendidikan Budi Pekerti. Pertanyaannya, adakah jurusan itu di Pendidikan Tinggi? Budi pekerti sebagai mata pelajaran tersendiri memunculkan konsekuensi adanya tambahan jam pelajaran. Padahal upaya perampingan kurikulum sudah lama dilakukan dan sampai sekarang upaya itu belum menunjukkan hasilnya. Di samping itu, sebagai mata pelajaran, biasanya ada penilaian dan evaluasi untuk siswanya. Tak bisa saya bayangkan bagaimana model penilaian dan evaluasi untuk pelajaran budi pekerti. Jika tetap dibuat, yang bisa diukur dan dievaluasi itu ya hanya pengetahuannya tentang budi pekerti, bukan budi pekertinya sendiri.
Alasan kedua, budi pekerti itu lebih membutuhkan keteladanan untuk menumbuhkembangkan dan mereplikasikannya. Ini akan jadi hambatan terbesar dari budi pekerti sebagai mata pelajaran. Masalah terbesar persekolahan kita sekarang memang hal-hal yang berkaitan dengan budi pekerti. Sayangnya masalah terbesar ini bukan hanya muncul di kalangan siswa, tapi juga di jajaran pengelola sekolah, baik dari kalangan pendidik/guru maupun dari tenaga kependidikan. Kasus pelecehan maupun tindak kekerasan yang pelakunya (oknum) pengelola sekolah, dengan berbagai wujud berupa kekerasan fisik, kekerasan verbal yang sering diistilahkan sebagai perisakan/ perundungan (bullying) maupun kekerasan akademik seperti pemberian tugas oleh (oknum) guru yang tidak mempertimbangkan minat, waktu dan stamina siswa sampai dengan relevansi dari tugas yang diberikan terhadap kompetensi yang dibutuhkan siswa di masa depan, makin marak terjadi. Menumbuhkembangkan dan mereplikasi budi pekerti tanpa keteladanan dan dengan makin banyaknya terpapar (di depan mata kepala sendiri ataupun lewat pemberitaan media) contoh perilaku tercela, justru membuat budi pekerti makin diabaikan bahkan dilecehkan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang “Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti” yang mulai didengungkan sejak pertengahan tahun 2015, dalam pandangan saya, menjadi solusi tepat dari masalah kontroversi yang terjadi sebagaimana uraian di atas, utamanya dari sisi miskinnya keteladanan.
Gerakan, mengandung makna tindakan bersama untuk mengubah keadaan. Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti, sadar atau tidak, menghilangkan sekat antar pengajar dan yang diajar, bahkan menghilangkan sekat antar generasi. Gerakan itu berpotensi lebih meningkatkan kesadaran semua pihak, bahwa kurangnya sopan-santun atau kurang unggah-ungguh itu sesungguhnya bukan hanya perilaku yang ditunjukkan oleh kalangan siswa, tapi itu memang sudah menjadi “penyakit” yang melanda mayoritas warga bangsa.
Budi Pekerti Ki Hajar Dewantara
Dalam berbagai diskusi maupun artikel, sering dipersamakan antara “sopan-santun” dengan “budi pekerti”. Sering kita dengar pernyataan atau kita baca tulisan “sopan-santun” atau “budi pekerti”. Yang digunakan sebagai penghubung adalah kata ‘atau’ bukan kata ‘dan’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) dijelaskan sebagai berikut. Kata ‘santun’ diartikan sebagai: 1.halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan; sabar dan tenang; 2.penuh rasa belas kasihan; suka menolong. Kata ‘sopan’ diartikan sebagai: 1.hormat dan takzim (akan, kpd); tertib menurut adat yg baik; 2.beradab (tt tingkah laku, tutur kata, pakaian dsb); tahu adat; baik budi bahasanya; 3.baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul). Kata ‘budi’ diartikan sebagai: 1.alat batin yg merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; 2. tabiat, akhlak, watak; 3. perbuatan baik, kebaikan; 4. daya upaya, ikhtiar; 5. akal (dl arti kecerdikan menipu atau tipu daya; contohnya: “bermain budi”). Kata ‘pekerti’ diartikan sebagai: 1. Perangai, tabiat, khlak, watak; 2. perbuatan. Dalam KBBI itu juga dijelaskan gabungan katanya sebagai berikut: 1. gabungan kata ‘sopan-santun’ diartikan sebagai: budi pekerti yang baik, tata karma, peradaban, kesusilaan; 2. gabungan kata ‘budi-pekerti’ diartikan sebagai: tingkah laku, perangai, akhlak, watak. Rasanya penjelasan di KBBI tentang kata ‘sopan’, ‘santun’,’ budi’, ‘pekerti’, dan gabungan kata ‘sopan-santun’, ‘budi-pekerti’ perlu ditinjau ulang. Penjelasannya malah tak jelas karena tumpang tindih.
Dalam salah satu tulisannya terkait budi pekerti, Ki Hajar Dewantara menyatakan:”Orang yang telah mempunyai kecerdasan budi pekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap” (Ki Hajar Dewantara , “Keluarga”, Tahun I, no.1, 2, 3, 4. Nov-Des 1936, Jan-Feb 1937).
Terhadap kutipan tulisan Ki Hajar Dewantara ini, Kreshna Aditya (inisiator Bincang Edukasi) dalam status facebooknya, membuat catatan sebagai berikut: ”Kata kuncinya kecerdasan, memikir-mikirkan, ukuran dan timbangan, menunjukkan bahwa budi pekerti itu adalah urusan kemampuan bernalar (kekuatan pikir, logika). Lalu kata kunci: dasar-dasar yang pasti dan tetap, menunjukkan bahwa budi pekerti juga landasan prinsip atau asas yang menjadi “true compass” bagi seseorang.”.
Saya berpandangan bahwa sopan santun tidak identik dengan budi pekerti. Sopan santun merujuk pada perilaku yang ditampakkan seseorang atau sekelompok orang ketika terjadi interaksi langsung ataupun tak langsung dengan pihak lain, di mana perilaku itu mengesankan ekspresi yang disepakati dan diakui masyarakat atau sekelompok masyarakat telah memenuhi tatanan adat di masyarakat atau kelompok masyarakat itu. Budi pekerti merujuk pada sifat dan watak seseorang atau sekelompok orang, bukan karena bawaan sejak lahir tetapi terbentuk sebagai hasil dari pembiasaan menerapkan nilai-nilai yang diyakininya, dimana nilai-nilai itu sesuai dengan tatanan peradaban. Dalam keseharian kehidupan sosial masyarakat sering kita jumpai orang yang kesopansantunannya menonjol, tetapi ternyata tidak berbu dipekerti. Salah satu contoh konkritnya, orang yang budi bahasanya terpuji tetapi belakangan terbukti korupsi.
Meski sangat berbeda makna antara “Pelajaran Pendidikan Budi Pekerti” dengan “Gerakan Penumbuhan Budi pekerti”, keteladanan menjadi hal penting untuk kedua hal itu, hanya saja posisinya/ sifatnya berbeda. Untuk pelajaran Pendidikan Budi Pekerti, keteladanan adalah syarat/ tuntutan yang harus ada terlebih dulu. Artinya, tanpa keteladanan (utamanya dari para guru), pelajaran Pendidikan Budi Pekerti tidak akan bermanfaat, malah cenderung membuat para siswa melecehkan pelajaran itu atau bahkan berpotensi melecehkan budi pekerti itu sendiri. “Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti” memposisikan keteladanan sebagai sasaran pencapaian untuk dijadikan rujukan. Artinya keteladanan tidak harus ada dulu. Justru diadakannya gerakan itu untuk memunculkan dan membiasakan praktik-praktik baik yang bisa jadi contoh dan rujukan bagi yang lain.
Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti tak hanya tentang kesopansantunan saja. Lebih luas dari itu, gerakan ini bertujuan menumbuhkembangkan nilai-nilai dasar dalam tataran aktual dari kemanusiaan, yang berakar pada Pancasila sebagai dasar negara, menumbuhkembangkan patriotisme dan nasionalisme, menumbuhkembangkan dan memperkokoh semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekatkan persatuan bangsa, menumbuhkembangkan lingkungan yang menyenangkan dan budaya belajar yang serasi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga, sampai menumbuhkembangkan minat membaca pada siswa maupun masyarakat umum agar terbangun budaya yang menyuburkan bertumbuhkembangnya hasrat setiap warga bangsa untuk menjadi manusia pembelajar.
Dibutuhkan strategi yang tepat agar Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti bisa memberi dampak positif, berupa perubahan karakter, kerangka berpikir, peningkatan kinerja, dan sebagainya. Yang harus diperhitungkan dalam merancang strategi ini adalah membuat rancangan yang disesuaikan dengan posisi, peran dan fungsi masing-masing pihak, termasuk memperhitungkan adanya interaksi langsung antar pihak tertentu, dan interaksi tak langsung antar pihak yang lain, sehingga secara menyeluruh gerakan ini tetap menjadi gerakan yang selaras dan terpadu. Sebagai contoh, siswa berinteraksi langsung dengan orangtua maupun pengelola sekolah yang terdiri dari guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan (karyawan sekolah). Sebaliknya, siswa tak berinteraksi langsung dengan jajaran Dinas Pendidikan kabupaten/kota, jajaran Dinas Pendidikan Provinsi maupun dengan jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal-hal semacam itu harus diperhitungkan agar gerakan yang sudah digaungkan bisa sampai berujung pada sasaran pencapaian.
Pembiasaan dan kualitas komunikasi menjadi kunci dalam proses penumbuhan budi pekerti di lingkup antar pihak yang berinteraksi langsung yaitu antar siswa, pengelola sekolah dan orangtua siswa. Dari sisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kualitas kebijakan dan publikasinya, termasuk pernyataan-pernyataan dari para pejabatnya yang diberitakan di media, menjadi kunci yang harus diperhitungkan.
Contoh sederhana, bagaimana penumbuhan “sikap menghormati orangtua/lebih tua” sebaiknya dilakukan oleh semua pihak agar bisa berproses secara selaras dan terpadu. Kerjasama dan kesepakatan antar pihak sekolah dan orangtua untuk melakukan pembiasaan praktek menghormati orangtua dan orang yang lebih tua, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat, berlaku untuk semua (bukan hanya diberlakukan untuk siswa atau anak saja) akan menjadi kunci keberhasilan. Yang harus diingat, ini adalah gerakan (bukan pelajaran), jadi semua harus berpartisipasi aktif.
Belajar dari Buku Masterpiece Bangsa
Bagi Dinas Pendidikan tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, membuat kebijakan untuk melengkapi isi perpustakaan semua sekolah di wilayahnya dengan buku-buku masterpiece karya anak bangsa, termasuk buku kumpulan tulisan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan dan tentang kebudayaan, menunjukkan pemahaman tentang peran yang harus diambil jajaran Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam praktek nyata penghormatan kepada orangtua.
Untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kebijakan untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menerbitkan dan mengedarkannya dengan harga semurah mungkin (dengan subsidi), buku-buku masterpiece, seperti La Galigo, kitab Sutasoma dll, dengan tujuan agar sebanyak mungkin warga bangsa sekarang ini bisa membaca dan memahami buah pikiran dan gagasan sastrawan-sastrawan besar terdahulu, akan menunjukkan pemahaman dan kesungguhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menumbuhkembangkan sikap menghormati orangtua , dalam skala negara, sebagai bagian dari Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti. Untuk hal-hal lain dalam cakupan Penumbuhan Budi Pekerti, langkah dan aksi yang disesuaikan dengan posisi, peran dan fungsi masing-masing juga harus dirancang dengan baik, supaya ada keterkaitan, keselarasan dan keterpaduan langkah.
Begitu digaungkan pada medio 2015, Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti langsung direspon positif oleh masyarakat. Banyak orangtua siswa yang langsung menyadari bahwa sebelumnya mereka kurang bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Mereka menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak kepada sekolah. Bahkan untuk mengantar anaknya ke sekolah dengan dasar untuk menunjukkan dukungan semangat pada anaknya pun, sudah banyak yang abai. Jika ada yang mengantar ke sekolah, lebih didasari untuk mengurangi pengeluaran. Begitu gerakan ini digaungkan, banyak orangtua yang kemudian mengantarkan anaknya saat hari pertama sekolah di tahun ajaran sekolah, untuk menunjukkan dukungan pada anaknya dan membuat semacam akad dengan pihak sekolah. Respon positif juga ditunjukkan oleh banyak pengelola sekolah. Mereka seperti memiliki semangat baru untuk mewujudkan suasana sekolah yang menyenangkan dan membangun budaya yang bisa menumbuhkembangkan hasrat warga sekolah untuk menjadi manusia pembelajar.
Respon-respon positif itu tentu menggembirakan. Namun, butuh proses sangat panjang agar Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti bisa membuahkan hasil sesuai harapan. Berbagai rangkaian aksi perlu dirancang Kemendikbud untuk semakin menumbuhkembangkan hasrat semua pihak berperan dan terlibat aktif dalam Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti, termasuk merangkul media agar juga berperan aktif dalam Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti. Semoga Kemendikbud sudah mempersiapkan rancangan rangkaian aksi itu agar gerakan sangat penting ini tidak layu sebelum berkembang. –Sulistyanto Soejoso