Setiap tokoh besar, punya sisi nyata yang biasa dilihat dan diceritakan. Sementara sisi lain yang bersifat personal sering tersembunyi dan kadang tabu. Pangeran Diponegoro punya sisi pribadi yang tak banyak diketahui.

Surabayastory.com – Sejarah tentang orang-orang besar di negeri kita sering tidak utuh mencatat sesuatu. Kita sering disodorkan satu sosok pahlawan yang serba putih, tanpa berusaha mengenali sosok sang pahlawan secara utuh. Dan penggambaran yang sepenggal-penggal itulah yang kemudian membentuk kesan tunduk tanpa logika pada tokoh sejarah.
Hal seperti ini justru merupakan sikap yang keliru. Itu akan menjurus pada sikap kultus individu. Selain itu bila tokoh sejarah ditampilkan sisi baiknya saja maka masyarakat justru akan kecewa bila kemudian ada yang mengungkapkan bahwa tokoh pujaannya itu ternyata juga memiliki sisi-sisi yang negatif. Ini bisa mengubah simpati menjadi benci.
Ada baiknya sejak awal tokoh-tokoh pahlawan ditampilkan secara utuh baik sisi positif maupun sisi negatifnya. Dengan demikian orang terdorong untuk belajar bagaimana sisi positif itu menghasilkan manfaat sedangkan sisi negatifnya menciptakan kerugian tidak saja bagi dirinya sendiri tapi juga masyarakat.
Penggambaran yang serba putih terjadi pada kasus Pangeran Diponegoro. Selama ini, Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai sosok yang putih bersih tanpa cela. Ia digambarkan sebagai tokoh yang sakti, cakap menggunakan senjata, kuat memegang ajaran agama, lurus perilakunya, dan memiliki berbagai sifat terpuji.
Salah satu tokoh yang menampilkan gambaran Pangeran Diponegoro yang serba putih adalah Chairil Anwar, lewat puisinya yang berjudul Diponegoro.
Dalam salah satu petikan puisinya, Chairil mengatakan :
“Dan bara kagum menjadi api
Di depan Sekali Tuan Bersaksi…
Pedang di kanan, Keris di kiri..
Sekali berarti Sudah Itu Mati…”
Remy Silado dalam novelnya “Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu 2007”, dan novel “Pangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah 2008” menggambarkan Diponegoro sebagai tokoh yang tegas tanpa kompromi, digdaya , berprinsip, tidak mabuk kekuasaan. Ketika ayahnya menawari jabatan sebagai Hamengku Buwono IV, beliau menampiknya karena sebagai anak selir merasa tidak punya hak.
Sosok yang digdaya nampak ketika ia digambarkan memenangkan adu ketrampilan bergalah di atas kuda. Pangeran Diponegoro juga digambarkan lihai menidurkan badannya di atas punggung kuda sambil memegang erat galahnya.
Namun sebenarnya Pangeran Diponegoro juga memiliki sisi manusiawi. Dalam buku karya Peter Carey itu kita mendapatkan bahwa Pangeran Diponegoro adalah manusia biasa yang melakukan hal-hal manusiawi di dunia ini. Cerita-cerita menarik ini diambil dari catatan harian Letnan Dua Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), orang Jerman asal Lexemburg yang bergabung dalam ketentaraan kolonial Belanda. Perwira ini menemani perjalanan Pangeran selama tujuh minggu ke tempat pengasingan, Manado pada 20 Juni 1830 mengungkapkan sisi-sisi lain Pangeran Diponegoro.
Beberapa catatan itu adalah:
Diponegoro Punya Daya Tarik Kuat
Sang pangeran mempunyai daya tarik pribadi yang kuat, yang membuat beliau tampil menawan di hadapan perempuan. Kharismanya besar, terutama ketika berada di tengah-tengah pasukan.
Diponegoro Bergantung Kepada Pengobatan Tradisional
Ini adalah bukti bahwa jamu tradisional sudah berakar dalam kehidupan masyarakat Jawa ratusan tahun yang lalu. Sebagai survivor serangan malaria tropikana yang parah pada akhir Perang Diponegoro, sang pangeran sangat bergantung kepada pengobatan tradisional.
Kepada Knoerle, dalam perjalanan ke Menado, Diponegoro mengungkapkan sikapnya yang menganggap rendah cara pengobatan Barat. “Bagaimana kamu bisa bicara kepada saya tentang dokter-dokter dan obat-obat Belanda bila tiap hari ada orang yang mati dalam kapal ini yang dilemparkan ke laut? Betapa mencurigakan kamu orang Eropa mengenai dokter-dokter kamu.”
Selama perjalanan itu Diponegoro terus merawat diri sendiri dengan ramuan rempah Jawa seperti beras kencur dan kedawung. Untuk menangkal mabuk laut, Diponegoro hanya makan ubi kering.

Diponegoro Kaku dan Keras
Diponegoro mengakui bahwa sangat langka kerabatnya di keraton yang berani bercanda dengan dia. Satu diantara sedikit orang yang berani bercanda dengan beliau adalah, Raden Ayu Sepuh, istri pertama paman beliau Pangeran Mangkubumi.
Diponegoro Punya Selera Humor Ironi yang Satir
Pangeran mempunyai kebiasaan mengirimkan pakaian perempuan kepada para panglimanya yang dianggap telah bertindak seperti pengecut. Dalam kirimannya Diponegoro menyelipkan sebuah catatan bahwa pakaian wanita lebih baik daripada prajuritan (pakaian tempur) Jawa. Salah seorang yang mendapatkan kiriman pakaian wanita ini adalah Pangeran Suryengalogo, adiknya sendiri.
Diponegoro Minum Anggur dan Merokok
Dilaporkan oleh Knoerle juga bahwa Diponegoro minum anggur manis dan menghisap rokok Jawa (sigaret yang dilinting tebal dengan tangan/ cerutu yang terbuat dari tembakau yang dibungkus daun jagung).
Diponegoro Punya Rasa Welas Asih dan Perikemanusiaan yang Mendalam
Diponegoro punya sifat tidak tega ketika menyaksikan pembantaian di medan tempur. Seperti diceritakan kepada Knoerle, Diponegoro bahkan sampai menutup mata melihat pemandangan mengharukan orang tewas dan terluka. Kejadiannya pada 28 Juli 1826, di Kasuran, Sleman, ketika pertempuran memakan hampir semua korban terbunuh, kecuali tujuh belas di antara 50 orang anggota peleton Belanda-Jawa.
Dalam perjalanan ke tempat pengasingan Manado, di satu kesempatan Diponegoro mendengar ada seorang kelasi (prajurit angkatan laut) Belanda memilih bunuh diri daripada dihukum karena kejahatan yang tidak dilakukannya. Melihat kejadian itu Diponegoro mengungkapkan belas kasihan dan kemarahan dengan bertanya,
“Bagaimana bisa menghukum seseorang yang kejahatannya tidak bisa dibuktikan? Di Yogya, bila ayahku (Sultan HB III) atau saya sendiri menimbang untuk memberi keadilan kepada masyarakat Jawa, kami selalu bertolak dari kaidah bahwa tidak seorang pun boleh dijatuhi hukuman kalau kejahatannya belum terbukti.”
Ketika itu Diponegoro mengatakan kepada Knoerle bahwa ia bersikukuh menaruh belas kasihan kepada kelasi itu, yang katanya pastilah seorang yang berhati suci yang tentu akan mendapatkan pengampunan Allah.
Diponegoro Punya Kebiasaan Makan Sirih
Makan sirih adalah salah satu kegemaran sang pangeran. Diponegoro melakukannya terus menerus, sedemikian rupa sehingga beliau mengukur berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah seracikan kapur, daun sirih dan pinang. Seperti dilaporkan dalam catatan harian Knoerle, dalam perjalanan ke tempat pembuangan di Menado, Diponegoro minta dibelikan sirih di Surabaya atau Madura
Diponegoro Suka Bermain Catur, Berkebun, dan Memelihara Burung
Suatu permainan yang digemari Diponegoro adalah catur. Salah seorang teman main catur yang dihargainya adalah Raden Ayu Danukusumo, seorang putri Sultan Hamengkubowono.
Berkebun dan memelihara burung merupakan kesenangan khas Jawa Diponegoro. Ketika masih di tempat pembuangan di Menado, beliau diperbolehkan merancang taman meditasi di tepi sungai terdekat dengan sebuah pondok semedi menghadap sungai. Untuk burung, beliau memelihara burung tekukur-batu (perkutut) dan kakatua.
Bagaimanapun juga Diponegoro adalah manusia biasa yang tak lepas dari kekurangan. Tapi rasa hormat kita padanya tetap akan terjunjung. Karena dialah salah satu tokoh Nusantara yang mampu menggerakkan rakyat di Jawa untuk memberontak pada Belanda. Dan tentunya kepahlawanan Diponegoro juga memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh pergerakan kita di masa lampau dan juga bagi generasi sekarang. –drs