Ini adalah sebuah kisah. Tentang remaja, tentang kehidupan sehari-hari yang lazim ditemui sehari-hari. Mungkin bisa menjadi renungan, atau juga disimpan sebagai kisah inspiratif. Selamat mengikuti.
Surabayastory.com – Sudah dua hari ini Bimby tidak pulang. Ia sengaja menginap di rumah Rusdy Zaki, sahabatnya satu kelas di SMP Matahari. Kebetulan mereka sedang liburan.
Rusdy sudah akrab dengan keluarga Bimby karena ia memang sering bermain ke rumahnya. Sebaliknya Rusdy pun sering bermalam di rumah Bimby. Keluarga Rusdy sayang pada Bimby karena meski anak keluarga berada, ia sangat baik.
Bimby sudah membayangkan secara persis apa yang terjadi di rumahnya sejak ia minggat. Ayah, adik, dan kakak-kakaknya tentu bingung. Juga neneknya, dan mungkin juga ibunya.
”Mami bingung? Akh, mana mungkin. Mami orang yang sibuk dengan dirinya sendiri. Dia tidak akan peduli aku pulang atau tidak. Mamiku egois,” kata Bimby. Ia menangis di depan Bu Emil, ibunya Rusdy.
”Itu cuma perasaanmu. Tak baik berprasangka buruk seperti itu. Tak mungkin Mamamu tidak bingung kalau anaknya pergi tanpa pamit,” kata Rusdy.
”Kamu nggak tahu Mamiku. Makanya kamu bisa bilang begitu. Aku benci Mami, benci!” Tangis Bimby kian menjadi-jadi merobek-robek keheningan malam.
Perumahan … Indah itu terletak sekitar 17 kilometer dari rumah Bimby. Tapi suasana rumah membayang jelas di pelupuk matanya. Leila adik kesayangannya menangis. Juga nenek yang selalu memanjakannya. Ayahnya mungkin marah, bisa juga sedih. Dan Maminya … akh, Bimby berusaha membayangkan Maminya tak di rumah. Tapi aneh, yang muncul adalah gambar Maminya yang sedang duduk tepekur dan sesekali mengusap air matanya.
”Mami pernah juga menangis….,” kata Bimby tiba-tiba. Ucapannya mengagetkan Rusdy dan Bu Emil.
”Kenapa Mamimu? Kenapa!?” desak Rusdy. Bimby terdiam, dan ketika Rusdy mendesak lagi, bocah berwajah imut-imut itu akhirnya bicara. ”Mamiku pernah menangis ketika sangat kesal karena aku membantah kata-katanya,” katanya, kali ini suaranya melemah.
”Mamimu cuma menangis kesal, tapi tidak memukulmu, meski kamu membantah. Itu karena beliau sayang kepadamu,” kata Bu Emil.
”Ibu juga bilang begitu. Aku kepingin sekali mempercayai kata-kata Mami bahwa dia sayang sekali kepada Bimby. Tapi Mami tak pernah membuktikannya.”
Bu Emil dan Rusdy tersenyum mendengar kata-kata Bimby.
”Bukti apa lagi yang kamu minta dari Mamimu?!”
”Mami tidak sayang. Buktinya sudah dua hari aku minggat, tapi dia tidak mencari,” katanya.
”Lhoh, kamu kangen toh sama Mamimu?!” kata Bu Emil menggoda. Bimby tak menjawab. Pikirannya berkecamuk. Ia mencoba mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan minggatnya. Ia jengkel karena sering pulang sekolah tanpa bertemu Maminya di rumah. Ia juga kesal karena Maminya tak pernah bersungguh-sungguh membantunya mengerjakan PR. Ia juga sangat jengkel karena Maminya tak pernah sempat menonton ia bermain piano pada Malam Kesenian sekolah. Bimby bahkan marah sekali ketika Maminya tak acuh ketika ia mencapai rangking pertama.
”Mami selalu punya alasan, seminar, ceramah, lokakarya, bisnis. Aku pengen seperti anak-anak yang lain, selalu bersama Maminya. Saya iri kepada Rusdy,” katanya kemudian.
”Kalau Bimby mau jadi anak ibu, boleh juga. Tapi ibu nggak bisa lho membiayai kamu kursus piano, kursus komputer, bahasa Inggris, berlibur ke vila …”
”Dan kamu harus membantu aku mencuci piring, ngepel lantai, menyapu. Semua harus dikerjakan sendiri, nggak bisa tinggal perintah pembantu kayak di rumahmu,” sambung Rusdy memotong kalimat ibunya.
”Aku mau, daripada dimanja-manja tapi tak pernah mendapat kasih sayang,” sahut Bimby.
”Bener nih!?” tanya Rusdy setengah menggoda.
Yang ditanya tak menjawab, karena ia sadar, ia mengucapkannya dengan setengah hati. Tiba-tiba saja ia jadi ragu, apa benar kasih sayang mami yang selama ini dituntutnya, belum pernah diperolehnya.
Samar-samar tergambar wajah Maminya yang cantik. Wajah seorang ibu yang hampir selalu kelihatan letih. ”Mami memang selalu sibuk. Beberapa kali Mami mengajakku nonton tivi, tapi hampir selalu aku kemudian melihat ia tertidur di depan tivi. Kasihan Mamik,” kata Bimby. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Bimby yang tadi meledak-ledak, tiba-tiba berubah lembut.
Bu Emil dan Rusdy tersenyum bahagia. ”Pada dasarnya setiap ibu sama saja. Tak ada ibu yang tak sayang pada putra-putrinya. Setiap ibu adalah tokoh ideal bagi putra-putrinya,” tutur Bu Emil.
”Maksud ibu?”
”Kita harus menerima sosok ibu secara apa adanya. Artinya kita harus siap menerimanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ibu ideal yang digambarkan di film dan sinetron, itu ya cuma ada di televisi,” tutur Bu Emil.
”Pokoknya jangan menuntut terlalu banyak dari ibumu. Kalau aku boleh menuntut, barangkali aku sudah minggat tujuh kali, masing-masing tujuh hari,” goda Rusdy disambut cubitan sayang ibunya. Mesra sekali.
”Nabi Muhammad pernah ditanya tentang siapakah orang yang lebih berhak dihormati. Nabi sampai tiga kali menyebut kata ‘ibumu’, dan setelah itu baru ‘bapakmu’. Nabi tak memberi syarat ibu yang bagaimana, pokoknya ibu,” tutur Bu Emil.
Evi terdiam agak lama. Entah apa yang dipikirkannya. Dan ketika ia hendak bangkit dari duduknya dan bicara, tiba-tiba tangan lembut memeluk tubuhnya dari belakang. ”Mami menyayangimu Bim, sayang sekali, lebih dari yang engkau harapkan dari Mami.”
Suara itu terdengar lemah dan lembut sekali. Tapi cukup untuk membuat Bimby tersentak. Suara Maminya. Bimby segera menghambur dan bersujud. ”Maafkan Bimby, Mam, maafkan.”
”Tak ada yang perlu dimaafkan. Mami sudah di sini sejak pagi tadi. Bapaknya Rusdy yang mengabari Papimu. Mami sudah mendengarkan semua kejengkelanmu pada Mami. Mami bisa ngerti, kok.”
Suasana hening mencekam perasaan. Ibu dan anak itu tenggelam dalam keharuan.
”Maafkan Bimby, Mam, maafkan…” –Zaenal Arifin Emka