Ini adalah sebuah kisah. Tentang remaja, tentang kehidupan sehari-hari yang lazim ditemui sehari-hari. Mungkin bisa menjadi renungan, atau juga disimpan sebagai kisah inspiratif. Selamat mengikuti.
Surabayastory.com – Suasana kelas yang riuh rendah tiba-tiba menjadi senyap ketika Pak Guru mengetokkan penggaris ke meja. Semua mata meloncat dari wajah Pak Budiman beralih ke arah Yudi yang tampak muram. Rupanya Yudi mengangkat tangan.
”Silakan Yud, ada apa?” kata Pak Budi.
”Anu Pak, bagaimana kalau saya……,” suaranya tertahan.
”Mengapa, katakan saja.”
Setelah berdiam beberapa saat, ia akhirnya berkata, ”Ndak usah Pak, saya akan ikut saja.”
”Baik kalau begitu, sampai jumpa besok. Selamat siang,” kata Pak Budi. Suasana kelas pun kembali hiruk pikuk. Anak-anak kembali berbicara tentang acara study tour ke Wisata Bahari Lamongan dan Tempat Pelelangan Ikan Brondong. Itu acara rutin buat kelas I SMP Setia Budi sebagai sarana praktek pelajaran bahasa Inggris. Selama study tour anak-anak hanya boleh berbicara dalam bahasa Inggris.
Anak-anak selalu menyambut acara pelajaran di luar kelas itu dengan riang. Maklum, kegiatan itu bisa memecahkan kebosanan belajar di dalam kelas, sekaligus bisa rekreasi. Tapi Rusdy Zaki menangkap kemuraman di wajah Yudi. Ia segera menghampirinya. Dengan isyarat gandengan tangan, Yudi beranjak mengikuti langkah Rusdy.
”Kamu tadi mau ngomong apa Yud?”
”Enggak, nggak apa-apa,” Yudi mengelak.
”Wah, mulai kapan kamu tega membohongi sahabatmu?!” kata Rusdy membuat Yudi tersipu. Tapi sikap Rusdy telah membuatnya terpaksa buka kartu.
”Aku nggak sampai hati meminta uang pada bapakku untuk membayar uang study tour itu. Untuk uang gedung saja bapak mau minta keringanan, kalau bisa malah minta dibebaskan,” kata Yudi.
”Tapi study tour itu kan wajib diikuti, itu pelajaran sekolah juga. Bahasa Inggrismu bagus, sayang kalau kamu absen.”
”Tapi saya harus memahami keadaan bapakku. Dari mana bapak bisa mendapat uang Rp 24.000 dalam waktu dua hari. Pengumuman study tour itu kelewat mendadak Rus.”
Tiba di depan gang sempit menuju kampung yang tampak kumuh, kedua sahabat itu berpisah. Yudi setengah berlari menuju rumahnya untuk kemudian harus segera ke pasar membantu ibunya berjualan. Itu kegiatan rutinnya. Memikirkan itu hati Rusdy trenyuh.
*
Esoknya, begitu masuk kelas, Pak Budi langsung berbicara tentang acara study tour. Anak-anak kaget ketika diberitahu bahwa ada empat siswa yang tidak bisa ikut karena tak sanggup membayar biaya. Tanpa menyebut nama mereka, Pak Budi dengan nada sangat bijak meminta kesediaan yang mampu untuk membayar lebih guna membantu mereka.
”Gagasan baik ini bukan datang dari Pak Guru lho, tapi dari salah seorang temanmu. Bagi yang merasa mampu membantu, silakan hubungi bendahara. Bapak sangat berterima kasih kepada yang bersedia.”
Anak-anak segera mengerumuni Yustika, bendahara kelas. Rusdy melihat sedikitnya ada sebelas anak yang membayar lebih. Ia berharap itu cukup untuk membantu empat temannya yang tak mampu, di antaranya Yudi. Rusdy yang menyampaikan gagasan membayar lebih itu kepada Pak Budi, sengaja minta nama anak-anak yang tak mampu tak usah diumumkan. ”Supaya teman-teman tak malu Pak,” katanya pada Pak Budi yang segera setuju dengan gagasan itu.
”Siapa sih teman kita yang tak mampu?!” tiba-tiba suara setengah berteriak membuyarkan lamunan Rusdy. Anak-anak menoleh ke arah Lusy yang berkacak pinggang dengan wajah sinis.
Spontan saja Rusdy menoleh ke arah Yudi yang tertunduk malu. Ia sangat cemas kalau-kalau Yudi terpancing ejekan Lusy. Dan benar, ketika Lusy mengulang teriakannya, Yudi tak kuasa menahan emosinya. Ia melangkah keluar kelas. Kepalanya tertunduk.
”Lus, kamu ini apa-apaan sih. Ini kan sumbangan suka rela. Kalau kamu tak mau, jangan nyumbang, tapi ndak usah mengejek teman begitu,” sergah Nanik sengit.
”Hei Nik, apa urusanmu. Aku kan kepingin tahu siapa orangnya, supaya jelas kepada siapa aku nyumbang. Bener-bener nggak mampu apa nggak,” cetus Lusy tak kalah ketusnya.
Lusy ternyata tak sendirian. Beberapa siswa mendukung sikapnya. Ini membuat Rusdy kian merisaukan keadaan Yudi. Apalagi ternyata Nanik tak mau kalah. ”Aku tahu kamu sudah tahu mereka. Kamu sengaja hendak mempermalukan temanmu. Kamu terlalu, tak berperasaan!” teriak Nanik.
Rusdy akhirnya turun tangan. ”Sudahlah, apa gunanya sih kita bertengkar. Jagalah sedikit perasaan teman,” katanya membuyarkan pertengkaran itu.
*
Begitulah, berkat bantuan yang mampu, semua siswa akhirnya bisa mengikuti study tour. Berbagai acara permainan diadakan baik di Wisata Bahari Lamolngan maupun di Tempat Pelelangan Ikan. Syaratnya, semuanya harus dengan pengantar bahasa Inggris.
Sore hari, ketika matahari mulai condong ke barat menyaputkan warna merah di langit, sesuai perjanjian, semua siswa sudah kembali naik bus untuk pulang. Semua nampak kelelahan. Beberapa siswa bahkan ada yang pusing-pusing karena tak terbiasa dengan bau amisnya ikan ketika mereka meninjau Tempat Pelelangan Ikan.
Bus yang di depan sudah bergerak maju ketika tiba-tiba bus kedua di belakangnya yang mulai bergerak, tiba-tiba direm mendadak. ”Stop dulu Pak, ada yang belum naik,” kata Ahmad menunjuk bangku nomor empat dari belakang. ”Huuuuuuuu….,” anak-anak menggurutu.
”Siapa sih yang duduk di situ?” tanya anak-anak hampir serentak.
”Fani dan Lusy, aku lihat tadi mereka melihat ikan hiu,” ujar Soleh. ”Biar aku susul ke sana.”
”Nggak usah Sol, kita tinggal saja. Tadi janjinya kan begitu, yang terlambat ditinggal. Biar kapok!” teriak Lukman disambut suara gemuruh tanda setuju. Anak-anak bahkan bertepuk tangan. ”Tancap Pak Sopir!” teriak beberapa anak laki-laki.
Suasana agak menegangkan ketika bus benar-benar bergerak. Rusdy tahu tak semua anak setuju. Tapi tak ada yang berani bicara. Sedihnya Pak Budi berada di bus depan sehingga tak ada yang bisa mencegah. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar teriakan. ”Stop Pak Sopir, saya mau turun menjemput Lusy!” Ternyata suara Yudi.
Tanpa menunggu persetujuan, sebelum bus benar-benar berhenti, Yudi sudah melompat turun dan berlari ke arah tepi pantai. Semua mata tertuju ke arah pintu gerbang tempat tubuh kecil Yudi menghilang menuju gedung tempat pelelangan.
Ditunggu sepuluh, sebelas sampai lima belas menit, akhirnya Lusy dan Fani muncul. Di belakangnya berjalan Yudi. Anak-anak segera menyambutnya dengan teriakan dan tepuk tangan. Ternyata Lusy dan Fani ditemukan Yudi sedang asyik melihat para nelayan memotongi sirip-sirip ikan hiu di rumah seorang nelayan. Saking asyiknya mereka tak tahu waktu.
Bus mulai bergerak maju ketika Lusy berdiri mendatangi kursi Yudi. ”Terima kasih Yud. Maafkan saya,” katanya disambut tepuk tangan anak-anak. Mereka kemudian menyanyikan lagu-lagu gembira. ” –Zaenal Arifin Emka