Ini dia masa yang selalu dalam persimpangan. Masa remaja, masa ketika banyak hal berubah. Namun jiwa remaja, adalah hal yang paling mendasar.
Pada diri seorang remaja, terdapat fisik yang bertumbuh cepat dan menuju kesempurnaan. Sebaliknya di sana ada jiwa yang lemah, terguncang, dan selalu diliputi dilema. Yang dimaksud dengan jiwa adalah mencakup seluruh aspek dan dimensi psikis manusia yang terkandung di dalamnya segala kehidupan batin manusia dengan segala sifat-sifat dan potensi-potensinya.
Selama perubahan dalam jiwa tidak berdampak kepada kehidupan sehari-hari, maka hal ini masih dapat dianggap normal. Namun apabila perubahan suasana hati terjadi secara drastis, sering, berlarut-larut, dan hingga menganggu aktivitas, hal ini perlu diwaspadai.
Remaja adalah periode perubahan dalam diri manusia. Berubah apa saja. Dan perubahan itu bisa menimbulkan sederet masalah baru yang bisa membuatnya dewasa, atau sebaliknya. Beberapa perubahan yang lekat terlihat dalam masyarakat diantaranya adalah:
- Pemalu dan lekas tersinggung
Sebagai akibat dari perubahan badan dan rohani ini, seorang anak lelaki atau perempuan menjadi sangat pemalu. Ia sering termenung dan memikirkan kekurangan-kekurangannya, seorang anak perempuan mungkin gelisah melihat bintilnya karena dikiranya mukanya menjadi jelek. Sesuatu yang tidak sempurna dalam tubuhnya yang sedang tumbuh membikin dia takut bahwa ia “lain” dan tidak normal. Ia berubah sangat cepat, sehingga ia sendiri tak tahu siapa dia. Ia tidak dapat mengendalikan tubuhnya dengan wajar seperti waktu ia masih kecil, begitupun perasaannya, tak dapat ia kendalikan. Ia lekas tersinggung, kalau diberi peringatan. Pada satu saat ia merasa dirinya sebagai orang dewasa dan ingin diperlakukan begitu oleh seluruh dunia, termasuk ibu-bapaknya.
Saat berikutnya ia merasa dirinya sebagai anak-anak lagi yang ingin dimomong dan dimanja. Perasaan kelamin yang berubah juga mengganggu pikirannya. Ia tidak tahu dimana tempatnya. Seorang anak laki-laki – lebih dari seorang perempuan – akan mendapat perasaan yang dalam dan “romantis” terhadap beberapa orang. Tapi dalam masa ini ia belum sanggup memperlihatkan perasaan ini terhadap seseorang yang sama umurnya yang berjenis kelamin lain.
Biasanya seorang anak laki-laki mulai memuja-muja seorang guru laki-laki, seorang anak perempuan mendewa-dewakan seorang guru wanita atau bintang film, atau peran utama dalam sebuah buku bacaan. Hal ini disebabkan karena selama ini anak perempuan dan laki-laki bergaul hanya dengan orang yang memiliki jenis kelamin sama, dan mereka menganggap orang-orang berjenis kelamin lain sebagai musuhnya. Hanya lambat laun perasaan bertentangan ini dan penghalang-penghalangnya menghilang. Biasanya seorang anak tanggung mulai memimpikan seorang bintang film dari Hollywood. Baru kemudian anak perempuan dan laki-laki dalam satu sekolah mulai memimpikan teman-teman sekolahnya, tapi dalam hal ini pun banyak waktu harus terlewati sebelum yang satu berani memperlihatkan kepada yang lain.
- Tuntutan kemerdekaan sering merupakan tanda takut akan kemerdekaan
Banyak keluhan dari anak-anak tanggung ialah, orang tua mereka tidak memberikan mereka banyak kebebasan. Memang sudah wajar bahwa seorang anak yang mulai menjadi dewasa ingin mendapat hak-hak dan gengsi yang patut buat umur itu, dan ia merasa perlu untuk memeringatkan ibu bapaknya berkali-kali bahwa ia bukan anak kecil lagi. Tapi sebaliknya ibu bapak tidak perlu memenuhi setiap tuntutan begitu saja, tanpa memikirkankannya dulu. Sebetulnya seorang anak “tanggung” agak takut menghadapi dunia dewasa. Ia sendiri belum yakin akan kecakapannya untuk menjadi sama gagah, dapat bergaul, sama menarik, atau sama pintar seperti dicita-citakannya. Tapi ia tidak mau mengakui keragu-raguannya, apalagi terhadap dirinya sendiri. Dan karena ia tidak mau mengakui ketakutannya, ia marah-marah menuduh orang tuanya bahwa kebebasan atau kemerdekaannya dikekang.
- Seorang anak tanggung akan menghargai peraturan yang masuk akal
Para guru, psikiater, dan penuntun-penuntun lain yang sudah biasa bekerja dengan anak-anak tanggung sering mendengar pengakuan bahwa mereka ingin ibu bapaknya menjadi lebih keras dalam hal tata tertib, seperti orang tua dari kawan-kawannya, dan lebih tegas melarang atau membolehkan sesuatu. Artinya, ibu bapak tidak mesti jadi diktator. Sebaiknya ibu bapak sering bercakap-cakap dengan orang tua lain, dan guru dari anak tanggung mereka untuk mengetahui apa yang menjadi kebiasaan dalam lingkungan itu, dan mereka perlu menerangkan peraturan-peraturan ini kepada anak tanggung mereka. Tapi, ibu bapak harus mengambil sikap tegas dan menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak, dan berpegang pada aturan ini. Bila keputusan ini masuk diakal, seorang anak tanggung akan menerimanya dan dalam hati kecilnya berterima kasih.
Dalam hal ini memang ibu bapak harus mengikuti jalan yang sempit. Seakan-akan mereka mengatakan pada anak mereka : “Ibu bapak yang lebih tahu,” tapi disamping itu mereka harus juga membuktikan, bahwa mereka percaya pada rasa tanggung jawab anak mereka dan budi pekertinya yang baik. Pendidikan yang sehat, dan kesadaran, bahwa ibu bapak mereka percaya pada mereka inilah – dan bukan peraturan – yang akan membimbing seorang anak dijalan yang benar. Tapi peraturan-peraturan ini perlu, disamping kenyataan bahwa ibu bapak cukup menaruh perhatian terhadap perkembangan pribadinya untuk menetapkan peraturan-peraturan ini, untuk mengisi kekosongan pengalamannya.
- Saingan dengan orang tua, dan ikatan lama
Banyak ketegangan yang terbit pada masa ini, antara ayah dan anak laki-laki, antara ibu dan anak perempuan adalah akibat saingan biasa. Seorang anak tanggung mulai sadar bahwa sekarang waktunya untuk menjadi orang dewasa, untuk mengurus dunia, untuk menarik perhatian orang lain, untuk menjadi ibu atau ayah. Jadi dalam hati kecilnya, ia ingin menjatuhkan ibu atau ayahnya dari kursi kekuasaan. Dalam pada itu seorang ibu atau bapak merasakan keinginannya ini, dan tentu saja tidak menyukainya.
Tapi sebaliknya, kita juga melihat ketegangan antara ibu dan anak laki-laki, antara ayah dan anak perempuan. Dulu waktu ia masih berumur 3-6 tahun, seorang anak laki-laki sangat terikat pada ibunya, seorang anak perempuan pada ayahnya. Sesudah ia di atas 6 tahun, sebelum menjadi anak tanggung, ia mencoba melupakan segala sesuatu di masa lampau. Tapi, dimasa pubertas ini banyak perasaan kuat mulai mengganggunya, perasaan terhadap orang tua diserahkan melalui jalan yang sudah lama tidak dipakai. Tapi disisi lain, ia mulai sadar bahwa ini tidak baik.
Jadi usaha yang pertama ialah mengalirkan perasaan ini ke seseorang di luar lingkungan keluarga. Perasaan positif ini ditutupnya dengan perasaan negatif. Inilah sebabnya mengapa seorang anak laki-laki suka berkelahi dengan ibunya, dan seorang anak perempuan tak suka pada ayahnya. Dalam masyarakat kita yang sudah “beradab” rupanya seorang anak laki-laki merasa malu memperlihatkan perasaan terhadap ibunya, lebih banyak daripada seorang anak perempuan menyembunyikan perasaan terhadap ayahnya. Banyak anak perempuan tanggung tidak pernah mengalami kehebohan dengan ayahnya.
Tentu saja, ibu dan ayah sangat cinta pada anak mereka yang menjadi dewasa dan itulah sebabnya mengapa seorang ibu dalam hati kecilnya (atau terang-terangan) memperlihatkan ketidaksenangannya terhadap seorang perempuan yang disukai oleh anak laki-lakinya, atau mengapa seorang ayah selalu menentang pacar dari anak perempuannya. –drs