Seluruh tentara Inggris Brigade ke-49 sejumlah 6.000 tentara bersenjata lengkap itu akan hancur-musnah oleh amarah dan keberanian rakyat Surabaya, bila tidak diadakan gencatan senjata.
Surabayastory.com – Di banyak tempat di Surabaya, tentara Inggris telah bercokol seperti di Darmo, Gubeng, Ketabang, Sawahan, Bubutan dan di daerah pelabuhan. Terjadi pengepungan-pengepungan oleh kita (arek-arek Suroboyo). Demikian juga di Gedung Radio di Simpang di muka Rumah Sakit Umum. Gedung Radio kemudian kita bakar.
Banyak tentara Gurkha terbunuh dalam kepungan itu. Mayat-mayatnya ada yang dilemparkan ke Kalimas. Ada kalanya pasukan-pasukan Inggris mencoba meloloskan diri dari kepungan-kepungan tersebut, dan terus hendak mengangkut kaum interniran ke jurusan pelabuhan. Dalam situasi demikian tidak dapat dielakkan tembak-menembak dengan konvoi-konvoi tersebut; dan perlu disayangkan bahwa ada kalanya jatuh korban bila diantara orang-orang interniran Belanda, termasuk anak-anak dan wanita.
Brigade ke-49 terdiri dari 6.000 prajurit lebih dengan senjata berat dan tank-tank terancam dengan kemusnahan. Tidak hanya pos-pos mereka di dalam kota terkepung, tetapi juga di daerah pelabuhan mereka harus mundur. Lapangan terbang Morokrembangan dapat direbut kembali oleh pemuda-pemuda dan rakyat Surabaya, dan Inggris harus berlindung di sekitar dok-dok di pelabuhan. Demikian juga Gedung Internatio dekat Jembatan Merah dan Gedung Lindeteves dekat Jembatan Semut terkepung sama sekali.
Pihak Inggris sendiri mengakui bahwa posisi brigadenya di seluruh kota Surabaya sangat berbahaya sekali. Letkol Doulton dalam bukunya “The Fighting Cock” menceritakan bagaimana hebatnya pertempuran selama tiga hari itu. Pasukan-pasukan Inggris menembaki kembali pengepung-pengepung dari rakyat dan pemuda-pemuda Surabaya dengan sangat gencarnya. Banyak korban dari pihak kita yang jatuh juga, namun menurut Letkol Doulton rakyat Surabaya terus mengepung pos-pos Inggris. Kata Letkol Doulton dalam bab ke-22 dari bukunya: “Every post was surrounded. Midnight came without any pause in the fighting. The Indonesian took no account of their dead; when one man fell, another came forward, drunk and half crazed ath the sight of blood. The hours ebbed slowly away, and as each hour passed, the plight of defence worsened”. Artinya: Setiap pos Inggris terkepung. Sampai tengah malam tak ada henti-hentinya dengan pertempuran. Rakyat Indonesia tidak memperhitungkan korban-korbannya. Bila seorang gugur, lainnya maju ke depan, mabuk dan hampir kegila-gilaan melihat darah. Sang waktu tampak surut pelan sekali dan setiap jam posisi pertahanan kita (Inggris) terus memburuk.
Letkol Doulton kemudian melanjutkan bahwa seluruh Brigade ke-49 sejumlah 6.000 tentara bersenjata lengkap itu akan hancur-musnah oleh amarah dan keberanian rakyat Surabaya, apabila tidak dapat ditemukan pemimpin-pemimpin Indonesia yang bias meredakan. …“could quell the passions of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Soekarno. He had readily agreed with the suggestion that RAF (Royal Air Force) should fly him to Surabaya next day the 29th October.” Artinya bahwa pada malam tanggal 28 Oktober itu pihak Inggris mencari pemimpin-pemimpin yang dapat meredakan emosi-emosi rakyat. Menurut mereka tidak ada pemimpin di kota Surabaya yang mau diajak berunding dengan Inggris. Harapan yang terakhir tertuju kepada Soekarno di Pusat Jakarta. Dan Soekarno bersedia untuk esok harinya diterbangkan dengan kapal terbang RAF ke Surabaya. Demikianlah sumber pihak Inggris.
Dan memang esok harinya, hari Senin tanggal 29 Oktober Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Amir Sjarifuddin, dengan beberapa opsir Inggris serta wartawan-wartawan luar negeri mendarat di Surabaya. Adapun Jenderal DC Hawthron, Panglima tentara Inggris untuk seluruh pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyusul esok harinya.
Kedatangan rombongan Bung Karno, yang semula tidak diketahui oleh pemuda dan rakyat Surabaya yang mengepung lapangan terbang Morokrembangan, ditembaki dengan gencar sekali oleh pihak kita. Di tengah-tengah hujan peluru demikian Bung Karno keluar dengan keberanian dan ketabahan yang luar biasa dari kapal terbang Inggris dengan membawa bendera merah-putih. Segera setelah para pengepung mengetahui dari jauh siapa yang datang itu, maka suasana berubah, dan terus rombongan Bung Karno diantarkan ke tempat perundingan dengan pihak Inggris di bawah pimpinan Brigjen Mallaby.
Perundingan dilakukan sampai malam. Sebenarnya sifatnya bukan perundingan, tetapi permintaan yang sangat dari pihak Inggris supaya diadakan gencatan senjata. Sebab kalau tidak, seluruh Brigade Inggris akan hancur-musnah. Bagi kita yang pokok adalah janji Mallaby pada hari Jumat 26 Oktober untuk tidak melucuti senjata kita. Tetapi pada tanggal 27 Oktober Inggris toh mulai melucuti kita. Ini tidak dapat kita terima. Pendirian kita itu dimengerti dan disetujui oleh rombongan Bung Karno. Adapun Brigjen Mallaby menekankan bahwa beliau selaku militer harus melaksanakan perintah atasannya, sekalipun dijatuhkan dengan pamflet. Ini tidak dapat kita terima. Namun demikian kita patuh pada desakan Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Amir untuk menghentikan dulu tembak-menembak, dan baru esok harinya merundingkan isinya pamflet kalau Jenderal DC Hawthorn sudah tiba.
Perundingan selesai pukul 19.30 malam 29 Oktober, dan menghasilkan sebuah: ”Armistice Agreement regarding the Surabaya incident; a provincial agreement between President Soekarno of the Indonesia Republic and Brigadier Mallaby, concluded on 29th October 1945 at Surabaya”. Demikian nada lengkap dari persetujuan gencatan senjata dalam bahasa Inggris, yang masih di arsip saya dan juga tersimpan di Amsterdam dan London. Dokumentasi kita sendiri masih memiliki teks bahasa Indonesianya, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Pada tanggal 29 Oktober 1945 berhubung dengan adanya pertempuran antara rakyat Surabaya dengan tentara pendudukan Inggris di Surabaya, Presiden kita PYM Ir Soekarno, PYM Drs Moh Hatta Wakil Presiden, dan PT Mr Amir Sjarifuddin Menteri Penerangan telah tiba di kota Surabaya untuk menentramkan keadaan.
Dalam hujan peluru beliau mengadakan perundingan dengan Panglima Tentara Pendudukan di Surabaya. Hasil permusyawaratan ialah sebagai berikut:
- Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir Soekarno, Presiden RI untuk mempertahankan ketentraman kota Surabaya.
- Untuk menentramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus dihentikan.
- Keselamatan segala orang (termasuk orang-orang interniran) akan dijamin oleh kedua belah pihak.
- Syarat-syarat yang termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober) akan diperundingkan antara PYM Ir Soekarno dengan Panglima Tertinggi Tentara Penduduk seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
- Pada malam itu segala orang akan merdeka bergerak, baik orang-orang Indonesia maupun Inggris.
- Segala pasukan akan masuk dalam tangsinya. Orang yang luka-luka dibawa ke rumah sakit, dan dijamin oleh kedua belah pihak.
Demikian 6 pokok persetujuan pihak Indonesia dengan Inggris pada hari Senin malam tanggal 29 Oktober tadi. Persetujuan ini merupakan persetujuan yang ke-3, dalam tempo beberapa hari saja! Yang pertama pada tanggal 25 Oktober yang kedua pada tanggal 26 Oktober, dan yang ketiga pada tanggal 29 Oktober.
Malam itu juga Presiden Soekarno menyiarkan hasil persetujuannya ini melalui Radio Surabaya. Namun situasi di dalam kota masih demikian panas dan kacaunya, sehingga tidak banyak rakyat dan pemuda-pemuda kita yang sedang bertempur itu dapat mendengarnya secara cepat. Lagi pula dalam pertempuran rakyatlah yang memegang peranan menentukan, maka hirarki komando serta komunikasi antara kelompok-kelompok yang sedang mengepung dan bertempur boleh dikata sangat renggang sekali. Karena itu dapat dimengerti bahwa tembak-menembak tidak dapat berhenti sekaligus. Baru jauh tengah malam tembak-menembak berkurang, dan esok harinya situasi demikian masih terus berjalan.
Esok harinya, Selasa tanggal 30 Oktober Jenderat Hawthrorn datang dari Jakarta. Menurut Kapten Doulton dalam bukunya The Fighting Cock, maka perwira yang menjemput Hawthrorn di lapangan terbang melaporkan: “ I think I can hold the airfield for half an hour….” Artinya bahwa lapangan terbang Morokrembangan itu hanya dapat dipertahankan oleh pasukan-pasukan Inggris selama 1,5 jam belaka. Karenanya kata Doulton: “General Hawthorn had gone to the full conference with a very weak and difficult hand to play.” Artinya bahwa Jenderal Hawthorn memasuki perundingan dalam posisi yang lemah dan ruang gerak yang sempit sekali.
Pagi-pagi sekitar pukul 7.00 hari Selasa tanggal 30 Oktober itu saya sudah berada di rumah Cak Doel Arnowo di Gentengkali, seberang kampung Plampitan. Bersama-sama pergi ke kantor Gubernuran, di mana perundingan akan dimulai.
Kali ini perundingan dapat dikatakan bersifat tingkat tinggi, karena dari pihak Indonesia hadir selain Gubernur Surio, Residen Sudirman, Doel Arnowo, Sungkono, Atmadji, Sumarsono (dari PRI), Bung Tomo, dan lain-lain lagi, juga Presiden Bung Karno, wakil Presiden Bung Hatta, dan Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifuddin. Dan dari pihak Inggris selain Jenderal Mallaby, Kolonel Pugh dan lain-lain perwira, juga Jenderal Hawthorn sendiri dari Jakarta.
Perundingan siang itu berjalan dalam suasana yang tegang. Ruang kerja Pak Gubernur di lantai dua penuh dengan tokoh-tokoh kedua belah pihak. Semua dari Surabaya ikut berbicara. Saya dengan Kustur berdiri di ambang pintu, kadang-kadang mengikuti pembicaraan kadang-kadang saya tinggalkan sebentar untuk mengadakan kontak dengan orang-orang kita yang ada di luar. Di bawah penjagaan ketat sekali. Terus terang saya pada waktu itu tidak tertarik kepada perundingan-perundingan. Lebih tertarik dengan jalannya pergolakan di luar perundingan. Pembicaraan berjalan kacau dan sering dengan kata-kata kasar. Pokoknya pihak kita tidak pakai tedeng aling-aling dalam menuduh Inggris sebagai pihak yang melanggar perjanjiannya sendiri. Bung Karno dan Bung Hatta sering menengahi, sebab pihak Inggris pun mencoba untuk mengelakkan tuduhan-tuduhan kita. Namun jelas mereka menyadari kedudukannya yang terjepit itu.
Ada beberapa persoalan yang mengakibatkan beberapa “clash” dalam perundingan itu, yang akan saya ceritakan dalam karangan berikutnya.
— Cak Roeslan Abdulgani, pelaku sejarah
(dicuplik dari buku Seratus Hari di Surabaya)