Soengkono salah satu tokoh penggerak semangat juang rakyat Surabaya. Sungkono adalah komandan BKR Kota Surabaya ketika peristiwa 10 November 1945.
Surabayastory.com – Jika kita di Surabaya mengenal nama jalan Mayjen Sungkono (juga ada di jalan-jalan utama kota lain di Jawa Timur), maka kita perlu mengenal sosok dan kiprahnya. Jejak Mayjen Sungkono tergurat kuat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dan melekat dalam pertempuran 10 November bersama arek-arek Suroboyo.
Saat-saat menjelang 10 November seperti sekarang ini, adalah momen bagus untuk merefleksikan kembali jiwa-jiwa tulus pengabdian kepada bangsa dalam memperingati Hari Pahlawan ini.
Salah satu yang akan kita teladani kali ini adalah Mayjen Soengkono. Pertempuran 10 November, yang merupakan salah satu pertempuran berpengaruh dalam sejarah revolusi bangsa Indonesia, sosok Mayjen Soengkono punya peran aktif di sana.
Mayjend Soengkono sebagai Komandan Angkatan Perang Surabaya, tak diragukan lagi memiliki andil besar dalam perang habis-habisan yang terjadi selama 20 hari itu. Dia juga salah satu tokoh pendiri BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kemudian menjadi cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Pendirian BKR ini berawal instruksi dari pemerintah pusat Jakarta (22 Agustus 1945) agar daerah-daerah di Indonesia mendirikan KNI (Komite Nasional Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan satu staatpartij (partai). Namun kemudian perintah pendirian satu partai tersebut kemudian dicabut.
Kiprah Mayjend Soengkono pada masa kemerdekaan sebagai komandan pertahanan kota Surabaya, diawali dari kondisi situasi kota tahun 1945. Ketika itu, untuk menampung BKR-BKR di beberapa wilayah kota Surabaya, Soengkono membagi menjadi enam sektor, yaitu: Sektor Kaliasin, Sektor Baliwerti, Sektor Tembaan, Sektor Sambongan, Sektor Gubeng, dan Sektor Peneleh. Masing-masing sektor memiliki 2 kompi.
Tugas selanjutnya adalah memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tugas itu adalah perjuangan mengambil alih kekuasaan dan persenjataan dari tentara pendudukan Jepang serta menghadapi NICA. Waktu pendek, mendadak dan bersamaan.
Sejak September 1945, Soengkono memimpin perjuangan rakyat Surabaya menghadapi tentara Jepang. Strategi yang dipakai adalah dengan memerintahkan anggota BKR untuk memotong semua jalur komunikasi darat untuk mencegah Kempetai (tentara Jepang) meminta bantuan. Meski tentara Jepang masih memiliki senjata di markas Kempeitai, diyakini jumlahnya sangat terbatas dengan kondisi terdesak. Soengkono terlibat dalam peristiwa pelucutan senjata di markas Kaigun Jepang di Gubeng. Markas ini merupakan kesatuan Jepang yang terkuat di Surabaya saat itu. Penyerbuan yang dilakukan oleh para pemuda berbeda dengan penyerbuan sebelumnya.
Saat itu, 2 Oktober 1945 sore, Soengkono bersama rakyat dan pemuda Surabaya mengepung markas Kaigun itu. Tembak-menembak tak terhindarkan. Komandan markas itu akhirnya menyatakan kepada seorang anggota polisi bahwa ia mau menyerahkan senjata, asal ada orang yang berkuasa di dalam kota Surabaya yang menerimanya. Anggota polisi itu melaporkan ke markas BKR Kota di Pregolan. Jadi sebenarnya ke markas Kaigun di Gubeng sebenarnya bukan untuk melakukan pertempuran, melainkan mengambil senjata tentara Jepang. Namun pertempuran tak terhindarkan.
Sebagai komandan BKR kota Soengkono bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan seluruh kota. Ini didasarkan sosok Sungkono yang memiliki kepribadian pemimpin yang tenang dan berjiwa besar. Selain punya jiwa kepemimpinan yang baik, BKR Kota di bawah Soengkono juga menguasai jalur logistik, sehingga dapur umum-dapur umum bekerja dengan baik. Dengan cara apapun, menurut Soengkono, kota harus dipertahankan dari usaha pendudukan musuh, secara nyata (de facto) maupun hukum (de jure). Keyakinan Soengkono ini mendapatkan dukungan secara penuh dari para pemuda dan badan-badan perjuangan.
Dari beberapa upaya mempertahankan kemerdekaan dan posisi Surabaya, rapat raksasa di lapangan Tambaksari adalah awal kulminasi perjuangan perebutan senjata secara besar-besaran di Surabaya. Rapat besar itu direncanakan dari pertemuan pemuda di GNI jalan Bubutan.
Pidato Soengkono
Sosok Soengkono bisa dikatakan mulai menonjol ketika menjadi komandan BKR kota. Selain memimpin pertempuran, Soengkono juga mampu membakar semangat para pejuang dan arek-arek Suroboyo dengan pidatonya. Pada Jumat sore 9 November, di Jalan Pregolan No 4, Soengkono yang saat itu masih kolonel, dengan suara bulat dia terpilih sebagai Panglima Angkatan Pertahanan Surabaya. Kemudian menyatakan bersedia berjuang untuk Surabaya, meski seorang diri.
Pidatonya di hadapan ribuan arek Surabaya muda dan anak buahnya di Unit 66 menjadi sangat penting ketika Sungkono mengatakan, “Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya… Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri…”
Namun ternyata semua anak buahnya menyatakan tetap tinggal dan siap untuk untuk berperang. Tekatnya ini justru mendapat sambutan dari pemuda Surabaya untuk ikut berjuang melawan Inggis dan Belanda.
Pertempuran 10 November menahbiskan peran dan kiprah Soengkono. Setelah masa kemerdekaan, pemerintah memberi penghargaan dengan menjadikan namanya sebagai salah satu jalan utama di kota.
Dalam peringatan mengenang peristiwa 10 November 1945, salah satu kegiatan yang digelar adalah gerak jalan Mojokerto-Surabaya. Gerak jalan Mojokerto-Surabaya pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 sampai 1958 dengan rute start Pandaan-Surabaya. Rute gerak jalan Mojokerto-Surabaya untuk mengenang jalur gerilya para pejuang seperti yang dilakukan komandan BKR Kota Surabaya Mayjen Sungkono. Setelah itu di tahun 1990-an hingga sekarang, start dilakukan di alun-alun Mojokerto dan finish di Tugu Pahlawan Surabaya. Dulu, Mojokerto dijadikan sebagai basis untuk merebut kembali kota Surabaya. Jejak perjuangan yang dilakukan Mayjen Sungkono menarik untuk diwarisi. –sa