THR kehilangan auranya walau puluhan tahun telah berlalu. THR kini hanya menyimpan cerita sejarah bagi generasi masa kini, dan kenangan bagi orang-orang tua di masa lalu.
Surabayastory.com – Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya tak juga bisa menghibur kembali masyarakat Surabaya. Taman hiburan yang melegenda ini semakin rapuh didera zaman. Ketika tempat-tempat hiburan baru terus bertumbuh, berbenah dan memperbaiki diri, THR Surabaya terkesan berjalan di tempat dan sibuk dengan dirinya sendiri. Dan semakin tertinggal.
THR Surabaya adalah tempat legendaris bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Banyak cerita yang bermula di sini dan menghasilkan berbagai kenangan bagi banyak orang. Namun, kini sepertinya kenangan itu enggan untuk kembali lagi. Tempat itu menjadi tidak terurus, tampak tua, lelah, berdebu, tak punya harapan, dan tak terkendali dengan berbagai komunitas dengan kepentingan yang saling silang.
THR dulu adalah pilihan untuk menghibur diri dan sekejap melupakan kepenatan dengan biaya murah. Tempat nonton pementasan yang merakyat. Menjadi satu-satunya tempat pemetasan dalam ruang (indoor) semua kelas yang dimiliki Surabaya untuk penampilan kesenian.
Tempat hiburan ini pernah menjadi ikon Surabaya. Sampai sekarang namanya masih dikenal, namun orang enggan untuk ke sana. Perjalanan sejarahnya yang cukup menarik. Tempat ini sudah ada sejak tahun 1961. Jadi saat ini usianya sudah 57 tahun! Namun karena tak mampu bergegas mengikuti kebutuhan manusia di era setelahnya, THR perlahan meredup dan sempat terlupakan di awal tahun 1990. Saat ini, mulai diaktifkan kembali pertunjukan kesenian tradisional seperti ludruk dan ketoprak. Namun situasi dan suasananya tak mendukung.
Jika mengenang kembali, dari cerita-cerita yang diperoleh surabayastory, kala itu ketika memasuki area THR terasa begitu luas, semarak, meriah, dan menyenangkan. Ada tawaran yang seperti mengajak masuk ke sana. Kerlap-kerlip lampu beraneka warna dan permainan beragam selalu menarik. Ada yang kurang jika tak ke sana si akhir pekan, meskipun hanya ‘makan angin’. Tua-muda hingga anak kecil merasa senang di sini. Sebuah hiburan yang mempererat keluarga.
Era Liburan Keluarga
Sejarah taman hiburan atau wahana hiburan keluarga sebetulnya sangat terpengaruh dengan era 60-an di Amerika Serikat. Kala itu mulai hits untuk liburan keluarga ke luar kota dengan mobil keluarga atau karavan. Di era itu kemudian lahir dan laris mobil-mobil jenis estate atau hatchback (bagasi langsung menyambung dengan kabin bagian dalam). Mobil-mobil ini untuk memfasilitasi bawaan keluarga yang banyak, mulai alas untuk makan lesehan di rumput, bekal makanan, peralatan permainan, hingga pakaian. Liburan ini biasanya memakan waktu beberapa hari.
Era liburan ke luar kota ini kemudian memunculkan makanan-makanan siap saji (fastfood) seperti sandwich, burger, atau hotdog yang memungkinkan untuk dibawa dan dimakan dengan praktis dan cepat selama perjalanan. Beberapa makanan siap saji tahun 1960-an itu diantaranya masih eksis hingga saat ini. Tentu saja dengan bentuk dan pendekatan marketing yang berbeda.
Liburan keluarga ke luar kota ini kemudian juga melahirkan taman-taman hiburan dengan berbagai wahana hiburan dan permainan ketangkasan. Demam liburan keluarga ke taman-taman hiburan kemudian mewabah ke seluruh dunia. Karena di luar kota, biasanya taman hiburan itu sangat luas. Selain wahana hiburan, permainan, badut, dilengkapi juga dengan makanan-makanan yang praktis seperti es krim, pop corn, kembang gula. Makanan berat biasanya dibawa dari rumah. Tetapi burger, hotdog, dan semacamnya tetap hadir. Perkembangan kemudian, mungkin untuk mengatasi kejenuhan, muncullah tema-tema khusus dalam taman hiburan itu (theme park). Kesenangan akan taman hiburan ini juga masuk ke Indonesia. Beberapa kota di negeri ini juga mempunyai Taman Hiburan Rakyat (THR), seperti Surabaya, Solo, dan Jogjakarta. Nasibnya, ketiganya setali tiga uang.
Kembali ke THR Surabaya, banyaknya wahana dan permainan kadang membuat anak-anak bingung mana dulu yang akan dimainkan atau dinaiki. Selain itu, antre juga panjang. Ketika waktu menunggu, tak perlu risau. Pepohonan tumbuh subur dan rindang sangat menyejukkan. Sepertinya masyarakat kota selalu rindu akan kesejukan dan suasana alam. Sangat mungkin, karena kesejukannya, Kebun Binatang Surabaya tidak pernah sepi meski harga tiketnya tak lagi murah. Semuanya merasa nyaman dan aman. Pulang pun dengan tenang dan hati gembira.
Meskipun banyak warga kota sebagai pengunjung, diantara mereka ada juga yang berasal dari kota-kota sekitar, juga dari desa-desa di Jawa Timur.
THR Surabaya meraih puncak kejayaannya sekitar 30-40 tahun lalu (1980-1990). Lama sekali itu. Dan setelah itu tertidur, dan penuh dengan silang sengkarut.
Dari Mata Turun ke Hati
THR Surabaya terletak di Jl. Kusumabangsa 116-118 Surabaya, tepat di belakang gedung Hi-tech Mall, di seberang Taman Makam Pahlawan Kusumabangsa. Kini, kondisinya sangat memiriskan. Lingkungannya, gedung pertunjukkannya, fasilitasnya, hingga sajiannya.
Bagaimana THR Surabaya bisa mengambil hati masyarakat Surabaya, kalau dari pandangan mata sudah tidak sedap dipandang. Infrastruktur tak mendukung, jangankan menonton pertunjukkannya, datang saja sudah malas sekali plus suasana was-was karena kehilangan rasa aman dan nyaman.
Bagaimana THR harus berbenah? Paling tidak harus melakukan redefinisi ulang sebagai tempat hiburan macam apa yang akan dipilih. Apakah menonjolkan wahana permainan anak, wisata keluarga, atau sebagai pusat kesenian tradisi Surabaya dan Jawa Timur. Dari saja akan turun materi apa saja yang akan ditampilkan, kebutuhan dasarnya (gedung, lingkungan, maupun isinya).
Tingkat pengunjungnya juga harus dipilih, apakah tetap mempertahankan yoni sebagai taman hiburan bagi semua kalangan (remaja, anak-anak maupun orang tua), dengan tarif relatif murah dan bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah. Atau punya standar baru dengan pendekatan yang baru pula. Apapun yang dipilih, yang jelas semuanya harus diurus secara profesional, meski di bawah institusi pemerintah. Kinerja maupun jadwal pementasan harus dipenuhi dengan disiplin.
Jika masih mempertahankan situasi yang ada, maka THR juga harus memfasilitasi tempat berekspresi, untuk para seniman (atau calon seniman) untuk bisa mengasah kemampuan seninya. Saat ini THR mempunya tiga gedung kesenian, yaitu untuk seni pementasan ludruk, wayang orang dan ketoprak, dan ketiga adalah gedung untuk penampilan Srimulat yang sering dipakai untuk gedung perkawinan. Kondisi gedung juga miris, terkesan telah lelah dan agak ‘menyeramkan’. Tentu saja ini tidak nyaman.
Sebenarnya THR juga mempunyai Kampung Seni THR Surabaya. Namun entah, kampung seni itu tak lagi terlihat, berubah dengan berbagai komunitas dengan berbagai tujuan dan kepentingan yang berbeda.
THR sebenarnya pernah dikonsep sebagai oase seni-budaya di Surabaya, selain Balai Pemuda Surabaya dan Taman Budaya Jawa Timur. Tempat ini pernah ramai dengan populernya Srimulat.
Dengan semangat menjadi tempat tempa sekaligus berekspresi itulah kemudian ditempatkan patung Gombloh, ikon seniman Surabaya, yang dikenal dengan lagu Kebyar-kebyar yang selalu dinyanyikan saat suasana kepahlawanan dan patriotis. Patung Gombloh ini beratnya 200 kilogram, terbuat dari perunggu, dan dikerjakan selama enam bulan. Patung ini sangat bagus, tampak dibuat dengan sungguh-sungguh sebagai karya terbaik demi mengenang almarhum Gombloh. Bagaimana keadaannya sekarang? Tentu saja lingkungan sekitarnya tidak mendukung, sehingga patung ini tampak sendirian kehilangan aura kebesarannya.
Perbaikan THR Surabaya selanjutnya adalah perbaikan lingkungan dan infrastruktur. Di sini harus firm (pasti) dan tegas. Siapa saja yang tidak berkepentingan tentu tidak bisa tetap berdiam di sana. Infrastuktur itu meliputi gedung, fasilitas, arus pergerakan orang, hingga yang paling kecil tapi penting seperti toilet yang beradab, tempat sampah, tempat makan yang sesuai, dan perasaan aman. Tanpa adanya perbaikan yang signifikan, sulit akan melawan zaman.
Karena itu, dengan adanya rencana Pemerintah Kota Surabaya untuk merevitalisasi THR Surabaya adalah langkah yang menarik. Namun hal ini perlu kita lihat perkembangannya, karena suara seperti ini bukanlah kali pertama. Jangan lagi revitalisasi ini (jika jadi) akan berhenti, dan kembali menjadi tempat yang tak terkendali seperti sekarang ini.
Jika seperti ini, kapan taman ini bisa menghibur rakyat? —sa 📌