Sudah lama sekali, publik Surabaya tidak merasakan sebuah event seni-budaya yang membahana. Sebuah acara rutin tahunan yang menyiratkan kesan, dan ditunggu tahun berikutnya.
surabayastory.com – Apakah Anda mempunyai agenda seni tahun ini? Sulit untuk menjawabnya secara sempurna. Karena kita merasakan, Kota Surabaya sebagai kota metropolitan dan industri, sangat kering dengan kegiatan (event) seni-budaya yang bermutu dan konsisten diselenggarakan.
Banyak kegiatan, pameran, pergelaran, pementasan yang dilakukan secara temporer. Ada, kemudian tiada. Diselenggarakan, kemudian larut ditelan waktu. Banyak pula yang hanya seremonial, sekadar ada (baca: memenuhi jadwal). Sudah sangat sulit untuk menemukan sebuah event seni-budaya yang bermutu dan diselenggarakan secara ajeg dan pasti.
Bagaimana tidak rindu, Surabaya pernah mempunyai kegiatan seni yang gaungnya hingga nasional dan internasional. Pelaksanaannya pun juga rutin tiap tahun. Coba kita tengok, Surabaya pernah punya Festival Seni Surabaya (FSS) yang meraih puncaknya di tahun 2005, dan kemudian surut dan perlahan menghilang. Festival Cak Durasim, Festival Kesenian Jawa Timur, Biennale Senirupa Jawa Timur, Surabaya Full Music, Festival Negara Kertagama, Festival Gwalk Percusion, Festival Musik Akustik, dan sebagainya, kini perlahan semuanya hilang wujudnya. Gelegarnya tak lagi didengar, namanya juga tak lagi diingat.
Event-event pementasan, pameran lukisan, dan malam sastra yang bermutu juga tak lagi tampak. Kepindahan Pusat Kebudayaan Prancis (dulu CCCL kini berubah jadi IFI) dari Darmokali ke kompleks AJBS di Jl. Ratna, juga mereduksi banyak pergelaran bermutu. Dulu, di gedungnya yang eksotis (dibangun 1914), kerap digelar pementasan dan pameran yang berselera.
Kini yang masih ada dan patut mendapat apresiasi Pasar Seni Lukis Indonesia yang masih rutin digelar setahun sekali, Surabaya Cross Culture, Parade Bunga, dan Jazz Traffic Festival.
Setelah sekian lama ‘kering’kehadiran Festival Kesenian Indonesia (FKI) X pada 7-9 Juli 2018, menjadi sebuah oase beru event seni-budaya dengan skala nasional di Surabaya. Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan. Event ini adalah agenda dua tahunan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS – PTSENI), dan tempatnya berpindah dan berganti. Kali ini di Surabaya diikuti sepuluh perguruan tinggi seni di seluruh Indonesia, yaitu STKW Surabaya, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta, Institut Kesenian Jakarta, ISI Surakarta, ISI Padang Panjang, ISBI Bandung, ISI Denpasar Bali, dan ISBI Tanah Papua.
Tema yang diangkat kali ini adalah Art, Identity and Reality (Seni, Identitas dan Realitas). Festival yang digelar setiap dua tahun dan berpindah-pindah lokasi ini diharapkan mampu memberikan sentuhan baru tentang pendekatan produk seni dan budaya.
Mata acara yang disuguhkan pameran seni rupa, seni pertunjukan, seminar, workshop dan pemutaran film. Pameran seni rupa terbagi menjadi dua bagian di dua tempat berbeda (Taman Budaya Surabaya dan kampus STKW Klampis). Juga gelar seni pertunjukan (di Gedung Cak Durasim), workshop seni tari, seni rupa dan teater dengan narasumber I Nyoman Nuarta (pematung papan atas Indonesia), Eko ‘Pece’ Supriyanto (yang namanya melejit setelah menjadi penari latar konser Madonna) dan Rachman Sabur (pioner Teater Payung Hitam, Bandung). Makin lengkap dengan pemutaran film serta workshop di XXI Ciputra World dengan pembicara sineas ternama Riri Reza (sutradara Ada Apa dengan Cinta, Petualangan Sherina, Gie, Kulari Ke Pantai).
Sementara pembukaannya, justru jauh di luar kota, di amphitheatre Taman Candra Wilwatikta Pandaan Pasuruan. Sajiannya sendratari kolosal STKW Surabaya dan ISI Denpasar Bali, kolaborasi sembilan perguruan tinggi, dan seminar internasional. Yang menarik, semua event ini terbuka untuk umum dan gratis, kecuali seminar internasional.
Festival Kesenian Indonesia (FKI) X jika dikupas lebih dalam, festival ini mempunyai esensi yang dalam. Dari paparan kuratorial yang ada, kedalaman pemikiran, visi, serta misi sangatlah menarik. Namun dari presentasi sajian rasanya masih ketinggalan jauh dari kedalaman kurasinya. Yang paling gampang dilihat adalah kurasi pameran senirupa sebaiknya diletakkan di bagian paling depan, bukan tersembunyi di belakang.
Dengan begitu, sebelum menyaksikan dan menikmatinya, pengunjung dan penikmat seni mengetahui paparan, alasan, argumentasi, serta pilihan-pilihan terhadap pameran yang disajikan. Karena tanpa penjelasan kuratorial, pameran akan membingungkan, dan menjadi bahan tebak-tebakan. Apalagi kali ini sudah pada penyelenggaraan yang ke-10. Selanjutnya, tidak ada pembentukan opini publik jauh-jauh hari, membuat bisa membekaskan kesan bagi masyarakat Surabaya.
Kesulitan Surabaya
Ada banyak hal yang membuat Surabaya kesulitan dalam membuat event berkelas secara berkala. Diantaranya belum adanya manajemen seni yang mumpuni. Sejak awal sering kali sebuah event hanya untuk diselenggarakan, bukan direncanakan dalam jangka panjang. Hal ini juga sangat terpengaruh dengan tidak banyaknya sumber daya manusia (baca: panitia) yang mumpuni, yang membaktikan dirinya atau hidup secara mandiri dari event seni-budaya. Akibatnya bisa ditebak, hit and run, setelah selesai acara, habis. Tidak ada evaluasi, tidak ada rencana pengembangan. Semuanya selesai, meski acara tersebut sukses atau tidak, apakah masih ada tanggungan atau tidak. Akhirnya, sebuah event hanya meninggalkan sesal atau kenangan sesaat.
Bagian lain yang juga terlepas adalah sistem publikasi dan promosi yang asal dan hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebenarnya, dibutuhkan keterikatan dengan publik (public engagement) untuk menghasilkan berlapis-lapis penonton serta membentuk jaringan baru. Dan hal ini bisa berlangsung berbulan-bulan sebelumnya. Tahapan-tahapan pun dibuat mulai pre-campaigne, campaigne, dan post-campaigne. Kesuksesan tahapan ini adan memudahkan ‘membuka pintu’ di tahun berikutnya. Ambience (suasana kultural) masyarakat Surabaya yang kurang mendukung, tahapan ini sangat perlu dan harus terus dipertajam.
Kini, Festival Kesenian Indonesia (FKI) X. Adakah yang bisa Anda ingat? Festival ini tahun berikutnya sudah tidak ada lagi di Surabaya. Pindah ke kota lainnya. Adakah festival penggantinya di kota Surabaya?
Setelah ini apa lagi? Setelah Jazz Traffic Festival (yang tak lagi hanya festival jazz) yang dihelat bulan Agustus, kita belum bisa menemukan event berkelas yang rutin diselenggarakan. Kemudian, bulan depannya lagi, akhir tahun ada apa? Kita sulit untuk menjawabnya. Kita hanya bisa merindukannya. –sa 📌