Kekuatan rempah dalam ramuan kuahnya, ditambah ketupat dan buras yang legit, jadi alasan untuk sulit berhenti.
Surabayastory.com – Ini nih makanan yang harus dicoba di Surabaya. Hukumnya: wajib! Tapi, perlu mengatur waktu karena di jam makan siang pasti sulit cari tempat, parkir juga sering tak dapat.
Coto asalnya memang aslinya jauh dari Surabaya. Namun di Surabaya, makanan ini sudah cukup akrab. Sebenarnya, coto adalah makanan tradisional Gowa, Sulawesi Selatan. Coto termasuk jenis sup daging yang khas. Kabarnya, coto sudah menjadi hidangan raja-raja Gowa di istana tempo dulu.
Bentuknya adalah makanan berkuah yang kaya rempah. Dalamnya berisi potongan daging sapi, dan bermacam pilihan jeroan sapi seperti hati, babat, jantung, dan paru, yang dapat dipilih sesuai selera. Bagi yang suka lidah sapi, di Daeng Kulle juga tersedia. Intinya semuanya makanan dengan kadar lemak tinggi. Namun dengan perkembangan dunia kesehatan yang menyoroti tentang kolesterol, maka banyak tempat yang mulai menghilangkan lemak sapinya, termasuk di sini. Juga memunculkan pilihan, mau campur dengan jerohan atau daging saja. Namun bagaimana menjadi tetap gurih, itu adalah rahasia dapur masing-masing.
Coto juga berbeda dengan sop konro yang cenderung menggunakan Iga sapi. Coto umumnya berisi jeroan (isi perut) dan daging sapi yang direbus dalam waktu yang lama. Jika menganut resep lamanya, coto menggunakan ramuan 40 jenis bumbu lokal (rampa patang pulo). Di antaranya bawang merah, bawang putih, ketumbar merah, ketumbar putih, jahe, lengkuas, kemiri, cengkeh, pala, foeli, sereh, merica, jintan, kacang, daun jeruk purut, daun salam, daun kunyit, daun bawang, daun seledri, daun perei, lombok merah, lombok hijau, gula tala, asam, kayu manis, garam, semuanya ditumbuk halus. Juga dipakai daun pepaya muda untuk melembutkan daging, dan kapur untuk membersihkan jeroan.
Kompleksnya bumbu yang dipakai ternyata sudah dipikirkan oleh para leluhur ratusan tahun lalu. Selain untuk rasa dan aroma, ramuan bumbu ini juga berfungsi sebagai penawar zat yang terdapat dalam hati, babat, jantung, dan limpah yang banyak mengandung kolesterol. Pengolahan coto secara khusus menggunakan kuali tanah (uring butta) sebagai wadah masaknya.
Di setiap depot coto Makassar, kita akan menemui beberapa warung dengan asuhan daeng masing-masing. Misalnya, asuhan Daeng Kulle, asuhan Daeng Tata, asuhan Daeng Sirua, dan lain-lain. Jangan salah sangka, asuhan maksudnya adalah resep oleh. Jadi setiap keluarga, mempunyai resep keluarga masing-masing. Punya asuhan masing-masing.
Sementara apa bedanya coto dan sop Makassar? Jika coto sudah mempunyai bumbu yang lengkap, jika sop punya flavour rempah yang lebih kuat. Cengkih, pala, dan merica terasa lebih menonjol. Sedangkan kuah dasarnya sama, diracik dan disajikan dengan kuah kental. Dalam sop juga ada isi tambahan yaitu perkedel dan sun yang dipotong pendek. Di Daeng Kulle, surabayastory merasakan, meski tetap otentik rasanya, namun terasa sedikit disesuaikan dengan lidah masyarakat Surabaya. Rasa kuah yang dalam, sedikit “ditipiskan” agar rempah tak terlalu “menyengat”. Akomodasi lain adalah adanya kecap manis yang disiapkan.
Di Daeng Kulle, coto maupun sopnya sama-sama sedhut (enak sekali). Meskipun kuah coto dan sop keruh karena banyak rempah, namun rasanya sangat bersih. Yang juga menarik, tak ada sisa minyak yang tersisa di bibir setelah mencecapnya. Ini berarti lemak jenuhnya sudah disaring habis. Penampilan isinya juga menawan. Potongan daging, hati, dan paru sangat rapi dan diperhatikan.
Beda Coto dan Sop
Ulasan lainnya, buras dan ketupat yang menjadi sumber karbohidratnya, juga sangat menarik. Buras punya bentuk seperti lontong pendek (lebih tepat seperti nagasari di Jawa). Teksturnya seperti lontong dan citarasanya lebih gurih karena dimasak dengan santan. Sementara ketupat teksurnya lebih kasar dan rasanya cenderung hambar. Ini paduan yang pas dan seimbang untuk kuah coto/ sop yang ‘dalam’ dan isinya cenderung ‘berat’.
Ukuran buras dan ketupat di Daeng Kulle relatif kecil, sehingga bisa mengakomodasi mereka yang tidak ingin karbo terlalu banyak bersarang dalam tubuhnya. Namun, jika mau makan enak, mengapa harus setengah-setengah? Yang penting adalah bisa mengatur ritmenya. Buras dan ketupat di Daeng Kulle enak sekali, pulen dan gurih. Bagi laki-laki di bawah 40 tahun, paling tidak akan mengisi perutnya dengan 3-4 buras atau ketupat. Bagi para wanita atau yang agak jaim, biasanya hanya mengambil 1 potong saja.
Makanan ini akan semakin lengkap dengan citarasa bawang goreng, bawang daun, jeruk nipis, plus sambal tauco. Bagi pecinta gurih berlebih, ada baiknya ditambah garam meja sendiri yang tersedia. Disantap hangat, sedap.
Depot coto Daeng Kulle ini ada di Jl. Achmad Jais No. 4 Surabaya. Sebagai salah satu coto terbaik di Surabaya, tempat ini sudah sangat dikenal. Jika dulu kita mengenal coto di Jl. Jakarta atau Jl. Dr. Soetomo, saat ini coto di Achmad Jais ini yang menjadi pilihan utama. Menempati ruangan ruko yang hanya memfungsikan lt.1, maka tidak heran antrean tiap hari terjadi. Jam 12-14.00 adalah peak session (puncak pembeli dating, waktu makan siang). Jika datang setelah jam 15.00, siap-siap untuk tidak kebagian atau sajian tak lagi lengkap (buras habis lebih dulu).
Dari Trotoar 18 tahun Lalu
Coto Daeng Kulle yang dikenal saat ini, suksesnya bukan terjadi dalam semalam. Cerita suksesnya juga bisa jadi inspirasi. Menikmati seluruh prosesnya, bukan Cuma protes. Buktinya, coto ini mulai ada sejak 18 tahun lalu! Mulai dari kaki lima di pojok Jl. Slamet dan Jl. Sedap Malam (sekarang pojok Jl. Slamet dan Grand City). Penulis yang dulu berada di Jl. Slamet 15, hanya selemparan batu dari sana, mencoba mengingat. Ya, dulu beberapa kali mencoba. Rasanya sangat berbeda. Sekarang lebih bersih dan lebih konsisten, tidak berubah-ubah setiap harinya. Selain proses, depot ini tampaknya terus berbenah hingga mendapatkan hasil seperti sekarang ini. Dari pojok Jl. Slamet kemudian bergeser ke depan Grand City saat ini (waktu itu masih tanah kosong dengan pagar seng). Di sini dua tahun, lalu tergusur. Pindah ke atas trotoar Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unair. Lagi-lagi tergusur hingga menemukan tempat di Achmad Jais hingga sekarang. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan.
Minuman Juga Enak
Selain coto dan sop, minuman segarnya juga berkelas. Es Pallubutung, es pisang ijo, sampai es kacang merahnya menawan. Untuk yang lebih cair, tentu saja ada es markisa asli dari Makassar. Es pisang ijo atau es pallubutung keduanya sama-sama nikmat. Sama-sama diberi serutan es yang menggunung, bubur sumsum yang sangat lembut dan gurih, mutiara, sirup merah khas Makassar. Bedanya, kalau es pisang ijo pisang kapok dibalut adonan hunkwee berwarna hijau, kalau es pallubutung, pisangnya dikukus langsung dan disajikan dalam keadaan terpotong. Di sini akan terjadi paduan antara es sirup yang segar, gurihnya bubur sumsum, dan pisang kapok yang pulen dan manis.
Di depot ini, es kacang merahnya juga menggoda. Kacang merahnya empuk namun tidak pecah ketika disajikan. Dilengkapi dengan cincau, es serut menggunung serta sirup gula aren.
Masih kurang, bisa bungkus makanan ringan otak-otak dan jalakotek (pastel ala Makasssar yang aroma rempahnya kuat). Saos encer asam-manisnya membuat makannya jadi lengkap. –sa 📌
Kuliner…yang sangat perlu dicoba….