Bila bepergian di seantero kepulauan di Indonesia hampir dapat dipastikan kita akan bertemu dengan orang yang berasal dari Madura. Madura, siapakah dia?
Surabayastory.com – Kenal soto Madura? Sate Madura? Batik Madura? Orang-orang Madura? Madura memang fenomenal.
Merunut jejak Madura akan membuat kita bisa lebih bijak memaknai fenomena, realitas, dan sosiologi lingkungan kita. Bagi masyarakat Surabaya, Madura adalah bagian lingkungan yang sangat berkait erat. Keseharian masyarakat Surabaya dalam lingkungan dan praktik berkehidupan, berjalan seiring dengan masyarakat Madura. Siapakan di antara kita yang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, terlepas dengan interaksi dengan Madura?
Dalam catatan Dr Huub de Jonge, sosiolog dari Universita Nijmegen (Belanda), Madura awalnya sangat tertutup dengan masyarakat luar. Perubahan pemerintahan kemudian perlahan membuka ketertutupan Pulau Madura. Dalam lintasan waktu yang panjang, Madura semakin membuka diri dan berinteraksi aktif dengan masyarakat dari mana pun. Kehadiran Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Madura, membuat Madura semakin berkembang, dan menunjukkan jatidiri dan kekayaan ekonomi, budaya, dan keragamannya.
Madura, siapakah dia?
Saat ini, Pulau Madura terasa semakin dekat dengan Surabaya. Pulau seluas 5.250 km2 dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa, punya catatan tersendiri dalam perjalanan hidup Propinsi Jawa Timur. Dari letak geografisnya, Madura terletak di utara Jawa dan dipisahkan oleh Selat Madura. Panjang Pulau Madura kurang-lebih 190 km dan jarak yang terlebar 40 km. Pantai utara merupakan suatu garis panjang yang hampir lurus. Sementara pantai selatannya di bagian timur mempunyai Pulau Madura sejak dulu punya ikatan historical dengan Jawa.
Dengan garis pantai yang panjang, Madura menjadi salah satu lumbung garam Indonesia. Selain itu, Madura kaya dengan pantai-pantai yang menawan. Saat ini di kala wisata dan kuliner alternatif menjadi bagian dari gaya hidup, Madura memberikan tawaran menarik dengan wisata-wisata pantai dan budayanya.
Menilik lebih jauh tentang identitas Pulau Madura, secara geologis Madura merupakan kelanjutan dari pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar dan lebih bulat. Beberapa wilayah secara topografi merupakaan dataran tinggi namun tidak ada gunung berapi. Daerah ini termasuk tropis kring dengan suhu 27-33 derajat C. Musim kemarau kering rata-rata 2-4 bulan atau pada musim kemarau panjang 4-5 bulan. Kelembaban rata-rata 79 %, dengan curah hujan tidak sama. Di dataran tinggi curuah hujan tinggi, di daerah rendah, sering kekeringan. Akibatnya tanah Madura banyak yang kurang subur. Pertanian lahan kering yang menjadi pilihan.
Kondisi geologis seperti ini membuat jagung menjadi koditas utama. Jagung adalah tanaman paling cocok ditanam di Madura. Besarnya komoditas jagung membuat jagung menjadi makanan pokok. Selain jagung rebus, jagung pipil, ada juga nasi jagung yang kemudian banyak dikenal di luar daerah. Di zaman milenial, nasi jagung justru dianggap makanan sehat. Padahal leluhur Madura sudah memilihnya sejak dulu kala. Nasi jagung khas Madura ini menggunakan jagung dan sedikit beras putih. Nasi jagung ini biasanya disantap dengan ikan laut berbumbu atau diasinkan, ditambah urap sayur dan sambal tomat Madura yang encer.
Kerajaan-kerajaan Madura
Saat ini, secara administratif pemerintahan, Madura dibagi menjadi empat kabupaten, yaitu: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Dalam jejak sejarah, selama berabad-abad Madura telah menjadi bagian kekuasaan di Jawa. Kerajaan-kerajaan di Madura berada di bawah supremasi dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berpusat di Jawa. Antara tahun 1100-1700, kerajaan-kerajaan itu berada dibawah supremasi kerajaan Hindu di Jawa Timur, kerajaan-kerajaan Islam dipesisir Demak dan Surabaya serta kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa Timur seperti Kediri, Pantai Slopeng di Madura, Singasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara
Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sebelum abad ke-18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan (Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) yang saling bersaing. Namun kemudian dengan politik perkawinan, secara perlahan bersatu.
Sesudah itu, pada paruh pertama abad ke-18 Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Madura berstatus sebagai Karesidenan dalam Propinsi Jawa Timur. Pada akhir tahun 1947, Madura diduduki kembali oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Untuk memperkuat cengkramannya atas Pulau Madura, seperti halnya terhadap daerah lainnya di Indonesia yang didudukinya,pada tahun 1948 Pemerintah Penjajah Belanda membentuk Negara Madura. Status sebagai negara tersebut berlangsung sampai kurun waktu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949-1950 oleh Belanda.
Dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Madura merupakan salah satu Negara Bagian bersama-sama dengan Negara-Negara Bagian lainnya, seperti Republik Indonesia Jokjakarta, Indonesia Timur, Pasundan, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat. Status Madura didalam wadah RIS hanya berusia pendek, karena pada tahun 1950 itu juga Rakyat Madura telah membubarkan Parlemen dan Negara Madura, dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia (kesatuan di Jogjakarta).
Kebudayaan Madura
Seperti halnya kebudayaan suku bangsa Indonesia lainnya, kebudayaan Madura sangat unik. Ceritanya panjang, terbungkus dalam legenda, mitos, sekaligus mistis yang kemudian menjadi cerita turun-temurun. Dalam Kongres Kebudayaan Madura (KKM) I, 9-11 Maret 2007, di Sumenep, Mien A. Rifai, seorang ilmuwan LIPI, mencatat beragam kekhasan kultural maupun karakteristik manusia Madura.
Orang-orang Madura dikenal ulet. Etnis Madura, termasuk suku bangsa yang tahan banting. Mereka mampu beradaptasi dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan. Riset majalah Tempo pada tahun 1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling sukses di Indonesia. Orang-orang Madura di tanah rantau adalah saksi hidup dari semangat itu. Mereka berani melakukan pekerjaan apa saja demi hidup. Namun, di balik kegigihan itu, masyarakat Madura memiliki rasa humor yang khas.
Dalam kebudayaan dan kesenin, Madura lebih terkenal dengan karapan sapi. Padahal kebudayaan yang diturunkan oleh nenek moyang sangatlah lengkap dan beragam. Madura punya tari topeng, ukiran, batik, keraton, makam kuno, cita rasa kuliner, adat-istiadat, hingga jamu.
Posisi jamu menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat Madura. Sejak kelahiran, masyarakat Madura sudah akrab dengan jamu. Di usia remaja, umumnya seorang gadis Madura sudah mulai rutin mengkonsumsi ramuan jamu dan menaati berbagai pantangan makanan demi membentuk dan menjaga keindahan tubuhnya. Wanita Madura memang sangat menghargai keindahan tubuh.
Untuk pakaian, lebih banyak dipakai warna-warna mencolok. Ini menggambarkan karakter mereka yang pemberani, tegas, dan gemar berterus terang. Wanita asli Madura juga memakai kebaya. Ciri khasnya adalah penggunaan kutang polos dengan warna-warna mencolok seperti biru terang, hijau, atau merah. Kutang yang ketat tersebut dipadukan dengan kebaya bentuk rancongan yang berbahan tipis dan menerawang.
Sedangkan para prianya menggunakan setelan warna hitam yang terdiri dari atasan longgar terbuka yang disebut pesa’an dan celana gomboran. Ukurannya yang longgar tersebut mencerminkan sifat keterbukaan dan kebebasan yang diusung pria Madura.
Selain setelan serba hitam, para pria Madura juga mengenakan kaos bergaris warna merah-putih atau merah-hitam. Kaos bergaris ini dipengaruhi oleh cara berpakaian pelaut dari Eropa. Motif garis dengan warna tegas tersebut memperlihatkan sikap tegas serta semangat juang masyarakat Madura dalam menghadapi segala hal dalam kehidupan..
Karakter Orang Madura
Mengutip makalah penelitian Drs.Ec. H. Eddy Juwono Slamet, M.A, tentang Madura Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang (27 Maret 1999), sudah sejak lama Madura telah menjadi pembicaraan masyarakat, sekalipun pulau yang satu ini tidak besar akan tetapi penduduknya mempunyai kepribadian yang khas dan menarik untuk dibicarakan.
Masyarakatnya sangat solidaritas, religius, dan berjiwa perantau. Karakter lain yang lekat dalam diri orang-orang Madura adalah perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan yang jujur kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa kita rasakan jika berkumpul dengan orang Madura.
Masyarakat Madura terkenal dengan gaya bahasa yang terang-terangan dan apa adanya. Selain itu mereka juga terkenal dengan sifat yang mudah marah dan keras. Itulah yang menyebabkan sebagian orang mempunyai penilaian negatif ketika mereka bertemu orang Madura dan bahkan cenderung takut untuk berkomunikasi. Padahal apabila kita bisa kenal lebih jauh, mereka bisa menjadi teman yang baik dan ramah. Selain sifat negatif yang mereka punyai, mereka juga mempunyai sifat yang patut kita puji, yaitu selain tipe pekerja keras, hemat dan ulet, mereka juga rajin dan penuh semangat dalam bekerja. Orang-orang Madura juga setia kawan.
Masyarakat Madura juga termasuk masyarakat dengan sifat yang keras dalam mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka. Semboyan mereka adalah: angok pote tolang atembang pote mata (lebih baik putih tulang dari pada putih mata) yang mempunyai arti lebih baik mati daripada menanggung malu.
Keteguhan tentang harga diri ini kemudian juga menurunkan tradisi “carok”. Dalam bahasa Kawi Kuno carok berarti perkelahian. Carok yang sudah ada sejak dulu tidak hanya melibatkan antar individu, akan tetapi bisa jadi antar keluarga besar, atau bahkan antar wilayah. Kadang pemicunya adalah permasalahan pribadi, antar dua individu yang kemudian meluas menjadi masalah keluarga besar dan ujung-ujungnya menjadi konflik antar kelompok. Ujung celurit juga akan bicara ketika isteri orang Madura diganggu. Bagi orang Madura, isteri adalah kehormatan dalam posisi yang tinggi.
Dalam catatan yang lain juga disebutkan, carok adalah hasil tipu daya kolonial Belanda selama menduduki pulau Madura. Pemerintah Belanda berhasil menghasut orang Madura agar memelihara perasaan dendam dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Sesungguhnya pada dasarnya masyarakat Madura yang mayoritas muslim yang taat beragama, beretika, dan punya masyarakat yang halus dan memahami sopan santun.
Potensi-potensi budaya yang sangat kaya di bumi Nusantara ini, bak mutiara yang tenggelam. Keindahan itu tertimpa modernisme Barat yang sejatinya tak lebih baik dengan dunia Timur. Mengupas latar belakang dan identitas Madura akan terasa tak pernah ada habisnya. Kekayaan personal, alam, dan kebudayaannya, menempatkan jatidiri Madura tetap selalu menarik untuk dipelajari. –sa 📌