Doel Arnowo, Soengkono, Dr.Moersito, Koesnandar dan Roeslan Abdulgani merangkak menuju pinggir sungai Kalimas yang airnya sedang surut. Desingan peluru dari arah gedung Internatio yang bertebaran di udara tak membuat nyalinya surut.
Surabayastory.com – Siapa yang melempar granat ke mobil Jenderal Mallaby hingga meledak, terbakar, dan pimpinan tentara Inggris itu meninggal? Doel Arnowo, pimpinan arek-arek Suroboyo yang berada di dekat lokasi itu tetap tak mau menyebutnya. Katanya, rahasia itu biarlah dibawanya sampai mati.
Ternyata benar, hingga hari tuanya, hingga kemudian wafat, Doel Arnowo tidak mau menyebut nama anak muda yang melempar granat ke mobil Mallaby itu.
Ceritanya, tentara Inggris yang menembaki semua arah dengan serampangan membuat para pemuda pejuang mengadakan perlawanan. Dengan senjata yang ada, mereka menembak melawan. Beberapa diantara mereka juga ada yang membawa granat. Ketika proses tempak menembak itu, Mallaby bertahan di dalam mobil sedan hitam yang ditumpanginya. Namun mobil komandan Sekutu itu juga ditembaki para pejuang. Tembak-menembak semakin seru. Saat itu, di pinggir Kalimas, seorang pemuda mendekati Cak Roeslan Abdulgani dan Cak Doel Arnowo. Dia mengatakan kalau sudah beres, mobil jenderal Inggris sudah meledak dan terbakar. Cak Doel memberi tanda agar merahasiakan anak muda yang meledakkan granat di mobil Mallaby.
Cak Doel, begitu dia akrab disapa, punya sederet kisah tentang perjuangan arek-arek Suroboyo di zaman pertempuran 10 November 1945 hingga zaman berganti yang baru. Cak Doel pernah memangku jabatan sebagai walikota Surabaya (1950), rektor Universitas Brawijaya Malang yang pertama (1963-1966), dan memprakarsai pembangunan Tugu Pahlawan sebagai penghormatan pertempuran 10 November.
Cak Doel Arnowo memang asli arek Suroboyo. Lahir di Surabaya 30 oktober 1904, dengan nama asli Abdoel Adhiem. Ayahnya Arnowo dan ibunya Djahminah. Nama Doel Arnowo mulai dikenal rakyat dan pemuda Surabaya tahun 1925-1927, ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk Juli 1927 oleh Soekarno. Di zaman Jepang, Cak Doel bergabung dalam barisan PUTERA dan masuk dalam Panitia Angkatan Muda Indonesia. Tanggal 28 Agustus 1945 Cak Doel terpilih sebagai ketua Komite Nasional Indonesia wilayah Surabaya. Sebagai ketua KNI Karasidenan Surabaya Cak Doel membentuk badan-badan perjuangan pada bekas anggota PETA, HEIHO, dan lainnya. Kemudian menyusul Cak Doel membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Karasidenan Surabaya, serta Badan Penolong Korban Perang (BPKKP).
Cak Doel menjadi pusat informasi bagi rakyat Surabaya. Cak Doel juga cepat dapat menangkap berita tentang dunia luar, termasuk kekalahan Jepang. Cak Doel juga menghimpun seluruh unsur kekuatan dikalangan masyarakat Surabaya.
Dalam peristiwa 10 November 1945, Cak Doel merupakan salah satu tokoh ketua KNI Karesidenan Surabaya dan angggota kontak biro dalam memperjuangkan dan mempertahankan kota Surabaya dari sekutu bersama Gubernur Suryo, Residen Soedirman dan Roeslan Abdulgani. Sebagai ketua KNI Karesidenan, Cak Doel mengendalikan lalu lintas perbekalan dan logistik.
Selanjutnya mengurus 6000 tawanan Jepang yang ditawan di daerah Kalisosok Surabaya. Cak Doel juga punya peran dalam perundingan kepada pasukan Inggris. Cak Doel yang menjadi anggota pengurus kontak biro juga menyediakan rumahnya untuk tempat perundingan. Dalam perundingan itu disepakati gencatan dengan sekutu. Cak Doel juga berkonsultasi dengan Presiden Soekarno tentang usaha perdamaian kepada tentara Inggris. Di posisi ini, Cak Doel bertindak sebagai penasihat Gubernur Surio. Cak Doel mendampingi Gubernur Surio dalam mengambil keputusan tentang pertempuran 9 November 1945. Cak Doel membantu menyusun teks pidato yang akan dibacakan oleh Gubernur Surio yang dibacakan di depan rakyat Surabaya.
Di masa pertempuran Surabaya 10 November 1945, Cak Doel Arnowo bertugas sebagai pengubung Surabaya dengan pihak Jakarta. Ketika Surabaya sudah bersepakat menolak ultimatum Inggris pada 9 November 1945, Doel bersama Soemarsono (Pimpinan Pemuda Rakyat Indonesia) berjuang bersama mempertahankan kota Surabaya dengan semboyan Merdeka atau Mati.
Setelah itu, ketika waktu berjalan tahun 1947, Doel Arnowo dipilih sebagai wakil gubernur Jawa Timur. Menjelang akhir Desember 1949 Pemerintahan Kota Surabaya mengalami perubahan. Dengan kondisi yang tak stabil, Cak Doel ditarik kembali ke Kota Surabaya dan diangkat sebagai walikota tahun 1950. Cak Doel diyakini bisa membangun kembali kota surabaya. Kebijakan Doel Arnowo selama menjadi walikota di Surabaya diantaranya adalah membangun berbagai infratrukstur kota, pembenahan tata ruang kota dengan menerapkan kebijakan tanah swasta. Selain itu mulai mendorong peningkatan perekonomian warga kota. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan pengembangan pasar-pasar tradisional di kota Surabaya.
Secara pribadi Doel Arnowo sangat dekat dengan Bung Karno. Kabarnya, ketika masih menjabat sebagai Walikota Surabaya, Cak Doel sering mengirimkan peci hitam buatan seorang perajin di Gresik. Peci yang disukai Bung Karno adalah yang tingginya 17 centimeter, kurang lebih setinggi topi cowboy di Amerika.
Cak Doel sudah banyak berbuat untuk Surabaya, sejak masa perjuangan hingga awal kemerdekaan. Kita patut untuk mengenangnya. –sa