Perannya dalam sejarah awal Kota Surabaya tertulis nyata. Banyak talenta, banyak karya. Dia adalah pelaku sejarah 10 November 1945.
Surabayastory.com – Sebuah lukisan besar tergantung di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Lukisan itu berjudul “Sumpah Amukti Palapa”, yang menggambarkan Patih Gajahmada bersumpah di hadapan sang Rani Majapahit Tribhuana Tunggadewi dan para menteri untuk mempersatukan Nusantara, di tahun 1334 masehi. Konon Nusantara yang dimaksud Sang Patih dari Asia Selatan hingga pesisir utara Australia, sehingga membuat Australia miris juga.
Lukisan klasik itu amat eksotik. Tertulis tanda tangan sang pelukis: Wiwiek Hidayat. Ya, sebuah nama yang tercatat dalam periode awal seniman Surabaya. Lukisan-lukisan Wiwiek Hidayat banyak menghiasi pameran di Surabaya kala itu. Gaya yang diusung juga mengalir, dari realis, ekspresionis, impresionisme, hingga abstrak.
Namun, ada yang menarik dari sosok Wiwiek Hidayat. Bukan hanya sebagai seniman dan pelukis, dia telah memberi warna pada masa perjuangan arek-arek Suroboyo kala 10 November 1945.
Cerita tentang itu diawali kala menjadi saksi mata proses perobekan bendera Belanda di atas gedung hotel Yamato. Sebagai wartawan Kantor Berita Antara di jalan Tunjungan 100 Surabaya, Wiwiek Hidayat mencatat dan mengabadikan dengan rapi kejadian di puncak hotel yang kemudian bernama Hotel Majapahit itu.
Saat itu, Pak Wiwiek –begitu beliau akrab disapa- sering melihat tingkah polah bule-bule yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia di hotel itu. Semuanya bisa dilihat dengan jelas dari kantor berita Antara. Pak Wiwiek merasa terganggu dengan tingkah laku bule Belanda ini. Ulah anak-anak muda Belanda itu kemudian disampaikan ke kelompok pergerakan. Situasi semakin panas ketika Belanda masih mengibarkan bendera tiga warna di atas hotel Yamato.
Dalam catatan Wiwiek Hidayat, para tokoh Surabaya seperti walikota Surabaya waktu itu, Radjamin Nasution, Residen Sudirman, Bung Tomo, tokoh pemuda Roeslan Abdulgani, bersama wartawan segera mendatangi hotel Yamato. Residen Soedirman minta bendera Belanda diturunkan dari atas hotel. Saat itu di sepanjang Jalan Tunjungan massa sudah ramai. Arek-arek Suroboyo sudah mengepung Hotel Yamato.
Celakanya, orang Belanda di sana justru mengacungkan pistol ke arah Residen Soedirman. Spontan seorang pemuda menendang pistol itu. Perkelahian pun tak terhindarkan. Antara orang-orang Belanda itu dengan arek-arek Suroboyo.
Wiwiek Hidayat, menjadi saksi di sana, sekaligus mencatatnya.
Wartawan Perang
Sebagai wartawan, Wiwiek Hidayat mencatat sejarah kuat di dunia jurnalistik di Indonesia. Beliau adalah wartawan perang, yang menulis secara kuat tentang pertempuran 10 November 1945.
Pak Wiwiek – begitu wartawan senior ini biasa disapa – secara tegas menyatakan tahu persis nama orang yang merobek kain warna biru dari bendera Belanda itu. Kain warna biru itu dirobek dengan digigit. Setelah robek, dua warna merah putih tersisa kembali diikatkan ke tiang bendera dan dinaikkan kembali menjadi merah-putih. “Orang yang merobek itu adalah Kusno Wibowo, dibantu Onny Manuhutu, dan ada dua orang lagi yang saya tidak kenal,” kata Pak Wiwiek suatu waktu. Menurutnya, memang banyak orang di sana. Tetapi banyak diantara mereka yang membantu membawa tangga dan hanya naik ke atap gedung bagian tengah. Mereka beramai-ramai berteriak sambil menggenggamkan tangan ke atas dengan penuh semangat. Jadi yang berada di puncak tempat tiang bendera itu, hanya ada empat orang. Foto dokumentasinya masih tersimpan di kantor berita Antara, ujar Pak Wiwiek waktu itu. Anehnya, kemudian banyak orang lain yang mengaku-ngaku sebagai pelaku perobekan. Sehingga, akhirnya diputuskan dan disepakati bahwa pelakunya adalah “Arek Suroboyo” (tanpa nama).
Wiwiek Hidayat juga tercatat sebagai mantan kepala kantor berita LKBN Antara di Surabaya. Pusat pemberitaan ini awalnya bernama Kantor Berita Indonesia (KB Indonesia), berdiri secara resmi 1 September 1945, Pendirinya adalah mantan wartawan dan karyawan kantor berita Domei (Kantor Berita Jepang) cabang Surabaya. Sejak jatuhnya pemerintahan Jepang, kantor berita Domei Cabang Surabaya sudah tidak lagi beroperasi.
Kembali ke cikal bakal LKBN Antara. KB Indonesia waktu itu bertugas menerima dan mengirimkan berita melalui perangkat telekomunikasi dan morse. Setelah itu juga menerbitkan bulletin berita bernama Siaran Kilat. KB Indonesia adalah kantor cabang pertama yang melepaskan dirinya dari kantor pusat Domei di Jakarta. Kantor berita Domei yang kosong juga dimanfaatkan sebagai markas wartawan dan pers pejuang.
KB Indonesia itu diawaki oleh RM Bintarti, Amin Lubis dan Sjamsoel Arifin, Bung Tomo, Wiwiek Hidayat, Fakih Hassan, Mashoed, Ki Soemadji Adji Wongsokoesoemo, Lukitaningsih, Soetojo, Ny.Toety Azis, Abdoel Wahab dan Soekarsono, Gadio Atmosantoso, Soedjoko, Rachmat dan Karmadi. Untuk operasional pertama KB Indonesia itu diperoleh dari hasil gotong-torong para wartawan dan karyawan di sini.
Setelah 10 November 1945, akibat pertempuran yang sengit, LKBN Antara terpaksa pindahan ke rumah Wiwiek Hidayat di Mojokerto. Di sini kegiatan LKBN Antara kembali dijalankan. Kantor Antara kemudian balik lagi ke Surabaya ketika suasana kota Surabaya sudah aman. Kali ini berkantor (lagi-lagi) di rumah Wiwiek Hidayat di Jalan Raya Ketabang (sekarang Jalan Jaksa Agung Suprapto, rumah tersebut sudah berubah menjadi ToengMarket). Rumah itu dipergunakan sampai tahun 1960-an, kemudian kembali menempati kantor di Jalan Pahlawan 114, lalu bergeser ke kantor Gubernur Jatim Jalan Pahlawan 110. Saat ini LKBN Antara berkantor di Jalan Kombes. M. Duryat. Wiwiek Hidayat pensiun dari Antara tahun 1980.
Sejarah Surabaya
Wiwiek Hidayat sebenarnya bernama asli Said Hidayat. Lahir di Rembangan, Jember, 22 April 1922. Sebagai wartawan, Wiwiek Hidayat mencatat banyak hal tentang kota Surabaya. Pasca perang di Surabaya, Desember 1945, Walikota Surabaya Mr. Soerjadi mulai melakukan pengaturan barang-barang milik Belanda yang ditinggal saat terjadi perang perjuangan tahun 1945 itu. Dinas perumahan bekerjasama dengan pihak militer, melakukan inventarisasi dan pengaturan.
Dalam perjalanan waktu, kemudian ada bahasan tentang Hari Jadi Surabaya. Awalnya hingga HUT Surabaya ke-67, selalu diperingati tanggal 1 April 1973. Dengan banyaknya usulan dan alternatif, akhirnya Pemerintah Kota Surabaya, memutuskan membentuk sebuah tim. Wiwiek Hidayat termasuk yang serius mendesak Walikota Surabaya, R.Soekotjo, untuk melakukan menunjau tanggal hari jadi Surabaya berdasarkan pembentukkan Gemeente Surabaya, 1 April 1906 itu. Wiwek Hidayat membawa catatan serta kliping tulisannya di Bulletin Antara, yang juga dikutip berbagai media sejarah Surabaya.
Kemudian dibentuklah Tim Peneliti Sejarah Surabaya untuk menentukan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya. Akhirnya tanggal 2 April 1973, Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya R.Soekotjo mengeluarkan Surat Keputusan No.99/WK/73 tentang perlunya kajian ulang penentuan Hari Jadi Kota Surabaya.Kemudian diundanglah para peneliti, ahli sejarah, peneliti, tokoh masyarakat, hingga wartawan. Terutama yang mempunyai pandangat dan catatan sejarah tentang Surabaya. Ada 13 orang yang masuk dalam tim ini termasuk Wiwiek Hidayat dari unsur wartawan dan anggota Dewan Kesenian Surabaya (DKS).
Wiwiek Hidayat bertugas untuk mengumpulkan data tentang lokasi Surabaya awal. Tim peneliti ini bertugas selama lima bulan (16 April-16 September 1973). Dari penelitian ini setiap tim peneliti mengajukan makalah hasil penelitian. Wiwiek Hidayat mengajukan hasil yang diberi judul Lokasi Surabaya di Waktu Kapan. Dari penelitian dan pengkayaan, hingga akhirnya kini HUT Surabaya diperingati setiap 31 Mei.
Diplomat
Sebagai wartawan, Wiwiek Hidayat banyak bergaul dengan semua kalangan. Koleganya juga tersebar di seluruh Indonesia dan belahan dunia. Ketika masih menjadi wartawan, Wiwiek Hidayat pernah ditugaskan menjadi diplomat yang berkantor di Manila, Filipina. Tidak banyak catatan tentang karirnya sebagai diplomat. Begitu juga catatan aktivitas selama di Filipina.
Catatan yang ada justru sepulang dari Filipina. Kala itu, pada dekade 1970-an, sepulang dari Manila, Wiwiek Hidayat membentuk Puring Art Studio, sebuah kelompok pelukis di Surabaya bersama Soedibio, Sedyono, dan Tedja Suminar. Mereka kerap melukis bersama.
Jauh sebelumnya, di tahun 1950-an, Wiwek Hidayat juga membentuk kelompok pelukis yang cukup ternama. Namanya Prabangkara, bersama Karyono YS , Bandarkum, Sutopo, Sunarjo, Sunarto Timur, Darmo, Tedja Suminar, dan beberapa lainnya. Kelompok pelukis ini termasuk yang tertua di Surabaya, hingga kemudian muncul kelompok-kelompok baru seperti Tumbuh Kembali (1966), Puring Art, dan sebagainya.
Untuk mengenang kembali Wiwiek Hidayat, pihak keluarga sempat mengenangnya sebagai pelukis. Keluarga besar menyelenggarakan pameran lukisan di Galeri DKS, kompleks Balai Pemuda, Surabaya. Sebanyak 21 karyanya beragam aliran dipamerkan. Karya itu dibuat sejak 1951 hingga akhir hayatnya 1994. Dari yang sederhana hingga yang rumit, percampuran warna ekspresif penuh keharmonisan.
Di saat hari-hari terakhir, Wiwiek Hidayat sering berkunjung ke Balai Wartawan untuk nostalgia sekaligus memberi semangat wartawan muda. Wiwiek Hidayat meninggal dunia tahun 1994. Jazadnya di makamkan di makam keluarga, setelah kemluarga menolak pemakaman di Makam Pahlawan. Makam keluarga itu terletak di Desa Rembangan, Kemuning Lor, 15 km utara Jember, di kaki Gunung Argopuro. Di tempat kelahirannya, ia lebih dikenal sebagai Tallar –nama yang juga dipakainya untuk kalangan tertentu di luar negeri, Mr. Tallar.
Sosok Wiwiek Hidayat, sejatinya patut mendapat tempat di hati masyarakat Surabaya. Dia adalah seniman, wartawan perang, diplomat, dan pelaku pertempuran Surabaya. Kehadiran dan karyanya telah memberi warna kuat dalam sejarah dan kehidupan Surabaya. –sa