Pemimpin menjadi bagian dalam hidup bernegara dan pemerintah. Ada banyak mahzab yang berkembang di dunia. Anda siap jadi pemimpin? Seperti apa tipe kepemimpinan Anda?
Surabayastory.com – Saat ini di Indonesia telah muncul (dan menjadi tren) pemimpin-pemimpin pemerintahan yang berpenampilan sederhana, mau turun ke masyarakat, dan kebijakan-kebijakannya langsung menyentuh kepentingan orang banyak. Ini sangat bertentangan dengan tren masa lalu di mana pejabat pemerintahan cenderung memimpin “di angkasa”. Lebih suka duduk manis di belakang meja, dan menikmati fasilitasnya.
Setiap pemimpin pemerintahan di Indonesia memiliki pola kepemimpinan yang berbeda-beda. Kategorisasi tipe kepemimpinan yang dibuat para ahli pun sangat beragam, sehingga setiap pemimpin bisa diletakkan dalam berbagai kategorisasi kepemimpinan.
Jika ditelisik perlahan, beberapa jenis pemimpin bisa dijelaskan di sini. Pemimpin tradisional berarti pemimpin yang diterima karena kewibawaan dan rasa hormat pendukungnya kepada asal-asul keluarganya. Perwujudan yang sempurna dari legitimasi tradisional adalah yang terdapat dalam sistem kerajaan.
Pemimpin kharismatis adalah seorang yang menjadi pemimpin karena pembawaan, bakat, dan keunggulan-keunggulan istimewa yang ada pribadinya. Daya pikat dan pesona yang memancar dari sifat dan pembawaannya menjadi modal terpenting yang menarik orang-orang yang mengitari dirinya dan mengakui kepemimpinannya.
Sementara pemimpin rasional, adalah seorang diakui sebagai pemimpin berkat kecakapannya dalam bekerja dan mengatasi persoalan dan juga berkat hasil kerjanya yang didukung oleh cara, metode, sistem, dan prosedur yang rapi dan baku.
Sebagaimana diungkapkan buku Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan, Ignas Kleden menjelaskan tipologi kepemimpinan yang dibuat Max Weber, yaitu kepemimpinan politik tradisional, kharismatis, dan rasional.
Secara teoritis seorang pemimpin bisa mengembangkan ketiga tipe kepemimpinan itu sekaligus sehingga kepemimpinannya lebih kokoh. Pemimpin yang awalnya hanya memiliki legitimasi tradisional berhasil mengembangkan kinerja yang bagus dan meningkatkan kharismanya di masyarakat.
Menurut Ignas Kleden, seseorang dengan legitimasi tradisional sangat diuntungkan karena tidak perlu kerja terlalu keras untuk menghimpun massa pendukung atau memperebutkan pengakuan karena semua ini muncul dengan sendirinya dari kalangan yang sangat mengagumi asal-usulnya keluarganya. Tinggal bagaimana pemimpin ini memanfaatkan dukungan tradisional ini untuk mewujudkan program politiknya. Yang sering terjadi adalah seorang pemimpin dengan legitimasi tradisional tidak terdorong untuk mati-matian bekerja buat mencapai prestasi maksimal karena dengan atau tanpa prestasi, legitimasinya relatif tetap terjamin.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang pemimpin kharismatis. Pesona pribadi dan kelebihan-kelebihan yang khas membuat pemimpin kharismatis dengan mudah menarik banyak pendukung. Dia juga tidak perlu mengandalkan prestasi luar biasa untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari para pengikutnya. Yang perlu dilakukan adalah memakai dukungan tersebut untuk merealisasikan program politiknya dan secara khusus melaksanakan program yang dapat menjawab kebutuhan serta keinginan pengikutnya. Tapi yang sering terjadi adalah seorang pemimpin kharismatis dengan mudah mengarahkan dukungan pengikutnya tidak kepada rencana dan program yang harus dilaksanakan, tapi kepada dirinya sendiri. Ada semacam hubungan yang dekat antara legitimasi kharismatis dan godaan kepada kultus individu.
Tipologi kepemimpinan versi lain dikemukakan oleh ahli politik Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik. Berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah, legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi prosedural, dan legitimasi instrumental.
Tampaknya tiga tipe kepemimpinan yang dikemukakan Ramlan sama dengan tipe kepemimpinan Max Weber. Istilah legitimasi tradisional, legitimasi kualitas pribadi, dan legitimasi instrumental mirip artinya dengan legitimasi tradisional, kharismatis, dan rasional. Sementara Ramlan menambahkannya dengan legitimasi prosedural dan ideologi.
Pada pemimpin tradisional, menurut Ramlan, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin “berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat. Tradisi ini selalu dipelihara dan dilembagakan oleh pemimpin itu bersama keturunannya. Raja Hussein dari Jordania, Ratu Elizabeth dari Inggris, dan Raja Bhumibol dari Thailand merupakan contoh Kepala Negara yang diakui dan didukung oleh rakyat karena tradisi tersebut.
Pemimpin yang mendapatkan legitimasi karena memiliki kualitas pribadi, mirip dengan kepemimpinan karismatis Weber, adalah kepemimpinan yang diperoleh karena karisma maupun penampilan pribadi.
Tipologi kepemimpinan yang oleh Ramlan disebut kepemimpinan instrumental mirip dengan kepemimpinan rasionalnya Max Weber. Kepemimpinan instrumental diartikan pemimpin yang mendapatkan pengakuan dan dukungan karena menjanjikan kesejahteraan material (instrumental) kepada masyarakat.
Selanjutnya, pemimpin dengan legitimasi ideologi mendapatkan dukungan masyarakat karena pemimpin tersebut dianggap sebagi penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksud tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan gabungan keduanya seperti ideologi nasional Pancasila di Indonesia. Para pemimpin pemerintahan di negara-negara komunis menggunakan ideologi komunis tidak hanya sebagai alat untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi bagi kewenangannya, tetapi juga untuk menyingkirkan setiap pihak yang membangkang terhadap kewenangannya. Di Indonesia masa lalu, ideologi nasional Pancasila acapkali digunakan sebagai alat untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi karena ideologi tersebut dipandang masyarakat sebagai dasar negara, pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat, dan kepribadian bangsa. Ini khususnya terjadi pada zaman Suharto.
Selain itu, menurut Ramlan, kepemimpinan prosedural mendapatkan pengakuan dan dukungan karena pemimpin tersebut mendapatkan kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kekuasaan
Lalu bagaimana para pemimpin pemerintahan itu mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya? Cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu simbolis, material dan prosedural.
Pertama, simbolis berarti memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol-simbol. Penggunaan simbol-simbol untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi cenderung bersifat ritualistik, sakral retorik, dan mercusuar.
Upacara kenegaraan yang megah, parade militer, penganugerahan tanda-tanda kehormatan dan penghargaan, pementasan wayang dengan lakon tertentu, dan mengidentifikasikan diri dengan kelompoki mayoritas dalam masyarakat (misalnya agama tertentu) merupakan sejumlah contoh penggunaan simbol-simbol yang bersifat ritualistik.
Pengumpulan benda-benda yang dianggap keramat dan menggunakan angka-angka yang dianggap mengandung makna suci dan keberuntungan, misalnya tujuh belas, delapan, dan empat lima merupakan contoh penggunaan sejumlah formula politik. Contoh lain yang berkenaan dengan penggunaan simbol-simbol yang bersifat retorik seperti Orde Baru, adalah pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, stabilitas, selaras-serasi-seimbang, konstitusional, dwifungsi, kebebasan yang bertanggungjawab, manusia seutuhnya, asas tunggal, toleransi, dan pengawasan melekat melalui berbagai pidato dan pernyataan kebulatan tekad.
Membangun tempat-tempat bersejarah yang dilengkapi dengan kronologi peristiwa-peristiwa bersejarah dan patung pahlawan, monumen nasional yang megah atau membangun suatu jenis industri (seperti penerbangan) yang dapat dibanggakan merupakan contoh penggunaan simbol yang bersifat mercusuar (kemegahan). Contoh lain dari metode simbolis adalah mengangkat sejumlah pejabat tinggi dari berbagai unsur masyarakat (suku bangsa dan agama) sehingga masyarakat merasa terwakili dalam pemerintahan. Penggunaan metode ini terutama memerlukan kepekaan dan kemampuan mengidentifikasikan kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi, dan kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masyarakat.
Kedua, materiil ditempuh dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materiil kepada masyarakat, seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar (basic needs), fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, kesempatan kerja, dan kesempatan berusaha dan modal yang memadai. Di Indonesia metode instrumental dengan jelas dan nyata dapat dilihat dalam berbagai proyek instruksi Presiden (Inpres), seperti Inpres Daerah Tingkat I dan II, Inpres Sekolah Dasar, Inpres Bantuan Desa, Inpres Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dan Inpres Pasar dan Penghijauan. Penggunaan metode instrumental jelas memerlukan anggaran cukup besar.
Ketiga, prosedural ditempuh dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat, presiden dan wakil presiden, dan para anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum. Penggunaan metode prosedural atau pemilihan umum ini berlangsung mulai dari yang bersifat umum, langsung, rahasia, serta jujur dan adil (fair) sampai dengan penuh manipulasi dan intimidasi. Bagi sementara sistem politik, penyelenggara pemilihan umum dianggap cukup untuk menunjukkan pemerintahannya memiliki legitimasi.
Tipe kepemimpinan lainnya dikemukakan oleh Herbert Feith. Ia mengelompokkan kepemimpinan menjadi dua, yaitu solidarity maker seperti ditunjukkan Soekarno dan tipe administrator seperti ditunjukkan Hatta. Feith menjelaskan kepemimpinan Indonesia pada fase 1949-1957, yang dikenal sebagai era demokrasi liberal: “Dalam mendiskusikan periode revolusioner, kami melihat bagaimana situasi menciptakan konflik antara administrator dalam pengertian para pemimpin dengan keahlian administrasif, teknis, legal dan bahasa asing yang perlu menjalankan pemisahan antara aparatur-aparatur negara modern, dan solidarity makers, para pemimpin yang ahli sebagai mediator antara kelompok-kelompok pada tingkat modernitas dan efektifitas politik berbeda, sebagai pengorganisir massa dan sebagai manipulator dari simbol-simbol integratif.”
Otoriter dan Demokratis
Lalu ada tipologi kepemimpinan yang membedakan antara gaya otoriter dan demokratis. Gaya otoriter mengandung sejumlah karakter negatif dalam bentuk tindakan menindas, mempengaruhi pengikut dengan memaksa, meniadakan inisiatif yang lain dan memaksa “semua orang” bekerja tanpa kompromi. Seorang pemimpin otoriter akan menunjukkan sikap menonjolkan keakuannya antara lain dalam bentuk:
- Kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
- Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
- Pengabaian peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara memberitahukan kepada bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakannya saja.”
Beberapa teori menganggap bahwa kepemimpinan yang ideal itu yang demokratis karena banyak mengandung unsur positif. Konsekuensi dari gaya ini adalah people centered, berorientasi pada manusia, bukan pada benda. Beberapa ciri gaya kepemimpinan demokratis sebagai berikut:
- Memiliki pandangan betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
- Dalam kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin dan oleh karena itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan reaslitis tanpa kehilangan kendali organisasional. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.
- Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan para bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk sosial dan sebagai individu dengan kharakteristik dan jati diri yang khas yang mempunyai kebutuhan yang sangat kompleks, mulai dari yang bersifat kebendaan seperti sandang, pangan, papan, meningkat kepada kebutuhan yang bersifat keamanan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengakuan status hingga kepada kebutuhan yang bersifat spiritual.
- Usaha memperoleh pengakuan yang tulus dari bawahan atas kepemimpinan orang bersangkutan didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif, bukan sekedar karena pemilikan wewenang formal berdasarkan pengangkatannya.”
Pembagian tipologi kepemimpinan lainnya adalah antara kepemimpinan paternalistik dan egaliter. Kepemimpinan paternalistik mirip dengan feodalistik. Dalam legitimasi paternalistik, seorang pemimpin dianggap seorang ayah yang menaungi seluruh komponen bangsa sebagai anak-anaknya. Dalam kepemimpinan egaliter, seorang pemimpin menempatkan dirinya sejajar dengan rakyatnya. Jadi pemimpin egaliter tidak terlalu jaga image dan karenanya tidak takut pamor dan popularitasnya bakal runtuh. Pemimpin semacam ini merakyat dan bisa berkomunikasi dengan rakyat secara apa adanya.
Ada lagi konsep yang membedakan pemimpin formal dan informal. Pemimpin bergaya formal adalah pemimpin yang dalam setiap tugas selalu menggunakan protokoler. Ruang geraknya selalu dibatasi oleh aturan yang dibuat protokol. Misalnya kemana-mana membawa pengawal resmi dan selalu mengikuti jadwal yang disusun oleh para protokoler. Sebaliknya pemimpin informal tidak selalu menggunakan protokoler dalam menjalankan tugasnya.
Pembedaan tipologi kepemimpinan lainnya diambil dari dunia bisnis, yaitu kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transaksional mengarahkan atau memotivasi para pengikutnya pada tujuan yang telah ditetapkan dengan cara memperjelas peran dan tugas mereka.
Kepemimpinan transformasional menginspirasi para pengikutnya untuk mengesampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya. Mereka menaruh perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para pengikutnya, mengubah kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan cara membantu orang lain memandang masalah lama dengan cara yang baru, serta mampu menyenangkan hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama.
Namun dalam bukunya The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Akbar Tanjung memberikan makna yang berbeda khususnya pada konsep kepemimpinan transaksional. Dia mengatakan dalam maknanya yang luas, kepemimpinan transaksional bekerja berdasarkan faktor untung rugi, layaknya berdagang. Pendekatan transaksional dalam politik cenderung memanfaatkan organisasi politik (partai politik) sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan sebagai sarana untuk memperjuangkan suatu visi dan platform politik. Pendekatan transaksional cenderung dilakukan oleh pemimpin yang memiliki mindset pedagang atau saudagar.”
Di sisi lain Akbar tetap mengartikan kepemimpinan transformasional mirip yang ada dalam bisnis dengan menyatakan bahwa tipe kepemimpinan ini dapat dijelaskan berdasarkan dampak yang dihasilkan oleh perilaku pemimpin terhadap bawahannya berupa: kesetiaan, rasa sebagai kader, rasa percaya, penghormatan terhadap pemimpin dan termotivasi untuk melakukan hal yang jauh lebih baik daripada yang diharapkan.
Kategorisasi kepemimpinan lainnya Kepemimpinan Reaktif dan Proaktif versi Anthony d’Souza.
Kepemimpinan reaktif memiliki ciri-ciri:
- Mengelak dari kesalahan atau tanggungjawab
- Melihat alasan mengapa segalanya tidak dapat dilakukan,
- Merasa tidak dapat mengendalikan keadaan,
- Berfokus pada masalah, hambatan, atau apa yang harus dihindari
- Dibatasi oleh apa yang berhasil di masa lalu
- Dibutakan oleh masalah dan hambatan dalam suatu situasi
- Berorientasi pada masalah, memusatkan perhatian untuk menemukan kelemahan dan masalah yang harus diperbaiki
- Merasa sulit untuk memilih dan memutuskan
- Takut mengambil resiko dan menghadapi tantangan
- Menolak perubahan
- Tidak bisa meninggalkan masa lalu
- Menderita tekanan batin yang berlebihan
- Dihancurkan oleh kegagalan
- Menguras energi dengan cepat
- Mempunyai citra diri yang negatif dan kepercayaan diri yang rendah.
Kepemimpinan proaktif:
- Mengambil tanggungjawab untuk bertindak
- Mempunyai sikap “bisa melakukan”
- Merasa dapat mengendalikan keadaan
- Berfokus pada solusi atau hasil yang diinginkan
- Memikirkan kemungkinan baru
- Mencari kemungkinan dan berfokus pada peluang dalam suatu situasi
- Berorientasi pada peluang, memusatkan perhatian untuk menemukan kekuatan dan sumber daya
- Mengambil pilihan dan keputusan dengan mudah
- Tergerak untuk tidak takluk pada tantangan dan resiko
- Terbuka pada perubahan
- Berorientasi pada masa sekarang dan masa depan
- Menikmati kedamaian batin
- Belajar dan bertumbuh dari kesalahan
- Mempunyai persediaan energi yang tidak ada habisnya
- Mempunyai citra diri yang positif dan kepercayaan diri.
Begitulah, ada banyak tipe pemimpin, berpikir, dan bekerja menurut trah atau dipilih berdasarkan perkembangan anak zaman. Bagaimana menggapai dan merespon perubahan menjadi bagian tak terpisahkan dalam membentuk kepribadian dan kepemimpinan. –drs