Kebesaran tokoh dan kemudian menjadi sebuah panutan akan tergambar ketika sang tokoh telah tiada.
Surabayastory.com – Ketika tabir dibuka dalam setiap masa, kita akan menemukan orang-orang yang memberi pengaruh besar dalam kehidupan manusia, dalam kiprah sebuah bangsa. Orang-orang yang mempunyai pengaruh yang kemudian banyak disebut sebagai orang besar alias tokoh.
Dalam potret itu, akan tergambar kebijaksanaan, inspirasi, visi, dan humanisme. Semakin lama semakin membesar, dan terus menyala. Gambar itu terekam dalam kata-katanya yang terus dikenang. Terus digali, dicari, dan diteladani.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sosok Abdurrahman Wahid yang akrab dengan panggilan Gus Dur, mendapat posisi khusus. Jiwanya terus dikenang dan diteladani. Sudah lebih dari sewindu (8 tahun), Gus Dur meninggalkan kita, namun ia tetap ‘hidup’ dan abadi. Rekaman itu tergambar kuat ketika peringatan haul wafatnya Gus Dur di kediamannya, Ciganjur, Jakarta, setiap tahunnya. Peringatan haul disambut antusias oleh masyarakat. Sejak petang, warga berbondong-bondong datang dan memadati lokasi. Mereka ingin mengenang, meneladani.
- Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur, adalah tokoh penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebagai salah satu tokoh pencetus perubahan di Indonesia, Gus Dur membawa sebuah sudut pandang kehidupan yang lebih terbuka, dan dikenal sebagai bapak pluralisme dan humanisme di Indonesia.
Jejak Gus Dur memang fenomenal. Ia berjasa besar membangun pondasi tentang menghargai perbedaan dan mendorong masyarakat dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai di tengah berbagai perbedaan. Gus Dur semakin dirindukan ketika saat ini di kondisi bangsa yang menghadapi banyak tantangan dan persoalan, dan mengedepankan perbedaan.
Zaman kini menawarkan narasi sangat berbeda. Kini setiap insan punya kesempatan untuk turut memberi warna pada dunia. Jejak dan akar yang kuat akan diri pribadi (sebagai bangsa Indonesia), akan membentuk corak menyala di wajah dunia. Di zaman ini kita tak lagi hanya menunggu apa yang dilakukan Indonesia untuk membentuk kita. Tetapi justru berbalik kita bergerak proaktif membentuk warna Indonesia.
Gus Dur memang adalah medan magnet kuat di negeri ini. Kendati telah wafat sepuluh tahun lalu, citra dan jiwanya masih menyelimuti semua golongan anak bangsa. Sosoknya terus dikenang, dengan berbagai ide dan pemikiran brilian, yang dibalut dengan gaya santai dan jenaka. Sebuah gaya yang tak biasa yang tidak dimiliki pemimpin lain di dunia.
Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4, menawarkan sebuah gerakan baru tentang kemajemukan bangsa Indonesia. Tentang Bhinneka Tunggal Ika yang telah dicetuskan para pendiri bangsa. Pemikirannya tentang kemanusiaan, toleransi, keberagamaman, agama, nasionalisme dan modernisasi membuat Gus Dur dikenal hingga mancanegara. Sebagai warga Indonesia, kita patut bangga mempunyai sosok yang bisa kita jadikan idola. Gus Dur juga dikenal sebagai pribadi yang santai, cerdas, santun dan punya cerita humor yang tiada habisnya. Banyak kata-katanya yang diucapkan yang dapat menginspirasi kita anak muda untuk selalu memajukan Indonesia. Gus Dur dengan santai menerjemahkan sisi intelektual tinggi dalam agama, perjuangan keadilan dan kebenaran, penegakan demokrasi dalam bingkai NKRI dan berbagai perbedaan di Nusantara dalam sebuah harmoni kemanusiaan.
Konsep plurarisme ini tidak hanya menjadi bagian penting dalam menjalin toleransi antar-umat beragama, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah untuk menghilangkan sekat-sekat yang selama ini membelenggu bangsa. Kemajemukan yang ditakdirkan Tuhan kepaad bangsa Indonesia, adalah keunikan sekaligus diterjemahkan sebagai keunikan dan keunggulan bangsa Indonesia, yang terdiri dari banyaknya pulau dan beraneka ragam suku, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Gus Dur mengungkapkan bahwa semua perbedaan harus bisa diterima. Perbedaan yang ada seharusnya tidak bisa menghentikan persatuan dan kesatuan dari negara Republik Indonesia. Segenap rakyat Indonesia bahwa mereka harus menerima perbedaan yang ada. Beliau dengan tegas memerintahkan kepada suku, ras, dan agama lainnya untuk menerima keberadaan golongan Tionghoa dan berhenti memusuhi mereka. Puncak dari keberanian Gus Dur adalah menjadikan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Meski dikecam, beliau sama sekali tidak membatalkan keputusan itu. Saat tragedi 1998, Gus Dur pasang badan menjamin keselamatan kaum Tionghoa yang saat itu mengalami kekerasan karena dituduh sebagai biang keladi krisis ekonomi.
Dunia mengenalnya sebagai tokoh yang bersahabat dengan semua golongan. Beliau mengatakan bahwa agama dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkait satu dengan yang lain.
Dari Jombang untuk Dunia
Gus Dur lahir di Denanyar (Jombang), Jawa Timur, pada 7 September 1940, dengan nama lahir Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” artinya “Sang Penakluk”. Karena kata “Addakhil” terdengar asing, maka diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai, yang berati “Mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Berasal dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
NU yang artinya “kebangkitan para ulama” merupakan organisasi Islam tradisional terkuat di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur serta di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, tempat di mana banyak orang Jawa tinggal.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudara lainnya yang cukup dikenal adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid.
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alissa Qotrunnada Wahid (Alisa), Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny), Anita Hayatunnufus Wahid (Anita), dan Inayah Wulandari Wahid (Inayah).
Jika menilik dari silsilah keluarga yang di atas-atasnya, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa, dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
***
Kala berusia empat tahun, di tahun 1944, Gus Dur diboyong oleh ayahnya, Wahid Hasyim, ke Jakarta dan tinggal di Menteng. Kawasan itu sangat mentereng. Di sana tinggal para politikus, pengusaha terkemuka serta para profesional. Di sanalah mulai terjadi interaksi antara ayahnya dengan para pemimpin pergerakan seperti Soekarno dan Hatta.
Sebuah cerita menyebutkan, suatu waktu malam Gus Dur membukakan pintu untuk tamu ayahnya. Seorang asing berpakaian hitam-hitam yang mengaku bernama Paman Hussein. Keduanya kerap terlibat pembicaraan panjang lebar hingga berjam-jam lamanya. Siapa Paman Hussein sebenarnya? Belakangan Gus Dur baru tahu kalau yang disebutnya Paman Hussein itu adalah Tan Malaka, seorang tokoh legendaris yang misterius.
Ketika Jepang menyerah dan Indonesia merebut kemerdekaan tahun 1945, Gus Dur dan ayahnya kembali ke Jombang selama beberapa tahun. Wahid Hasyim kemudian diminta Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk menjadi penasihatnya di masa perang revolusi (1945-1949). Kemudian di akhir 1949, Wahid Hasyim diminta Presiden Soekarno menjadi Menteri Agama pertama RI. Gus Dur dan ayahnya pun kembali ke Jakarta. Selama beberapa bulan mereka tinggal di hotel di Menteng. Gus Dur sekolah di SD KRIS dekat hotel. Setiap pagi diantar ayahnya. Sebagai anak menteri Gus Dur tidak pernah sekalipun belajar di sekolah-sekolah elit.
Sejak kecil Gus Dur dan keluarga senang membaca. Di rumahnya di Matraman itu terdapat banyak buku, majalah dan koran dari semua kalangan. Dengan lingkungan seperti ini, menyebabkan Gus Dur dan adik-adiknya terbiasa membaca apa saja dan aktif berdiskusi dengan kedua orangtuanya. Selain itu, Gus Dur sejak kecil juga belajar bahasa Arab dan mampu membaca Al Qur’an. Dur kecil sudah gemar membaca. Ke manapun membawa buku. Ia suka mengunjungi toko buku bekas dan perpustakaan teman-teman ayahnya.
Dari cerita, Gus Dur sejak kecil telah tumbuh menjadi pribadi ‘merdeka’. Ia cenderung mengekspresikan keinginannya. Termasuk hobi memanjat pohon. Di usia 12 tahun, Gus Dur sudah dua kali patah tangan. Salah satunya unik. Ceritanya, ia mengambil makanan dari dapur dan memakannya di atas pohon. Karena kekenyangan, ia ketiduran dan terjatuh hingga tulang lengannya patah.
Selanjutnya, Gus Dur masuk Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) tahun 1954, dan sempat tidak naik ke kelas dua. Meskipun termasuk pandai, ia malas sekolah. Senangnya nonton sepakbola daripada mengerjakan PR. Gus Dur muda cepat bosan dengan pelajaran-pelajaran di kelas yang menurutnya kurang menantang. Ia lebih senang membaca buku, menonton film, dan sepakbola.
Karena tidak naik kelas, oleh ibunya Gus Dur dikirim ke Yogyakarta untuk sekolah di SMP sekaligus mondok di pesantren. Di sana ia tinggal di rumah sahabat ayahnya, Kiai Junaidi yang pemimpin utama Muhammadiyah. Cukup unik. Cucu pendiri NU, tinggal di rumah pemimpin Muhammadiyah. Berbagai pengalaman ini dimunkinkan memperkaya pemikiran dan menajamkan mata hati Gus Dur akan indahnya perbedaan dan keberagaman.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMP di tahun 1957, Gus Dur mulai masuk pesantren Al Munawwir di Yogya, pesantren Tegalrejo di Magelang. Lalu pesantren Tambakberas di Jombang (1959). Di sini Gus Dur mulai bersentuhan dengan literatur-literatur Barat. Namun hobinya nonton film dan wayang kulit tetap jalan. Ketika di Jogja, hampir nonton tiap minggu.
Perjalanan hidup kemudian mengantar Gus Dur menjadi pengajar di Madrasah Tambakberas. Saat itulah Gus Dur tertarik Sinta Nuriyah, gadis paling menarik di kelasnya. Hubungan kemudian berlanjut jarak jauh, karena Gus Dur meneruskan sekolah ke Kairo, Mesir. Gus Dur banyak menulis surat secara teratur. Bagi Nuriyah, jodoh itu bagaikan hidup dan mati. “Hanya Tuhan yang tahu,” katanya. Namun, baginya yang menarik dari Gus Dur adalah intelektualitasnya.
Di Universitas Al Azhar, Gus Dur diwajibkan mengikuti kelas bahasa Arab bagi pemula. Padahal sebelumnya Gus Dur di tanahair telah memiliki sertifikat lulus berbagai studi Islam yang menggunakan bahasa Arab namun tidak diakui pihak universitas. Akibatnya sudah bisa ditebak, di kelas dasar bahasa Arab ia sering membolos dan menghabiskan waktu di Kairo dengan menonton sepakbola, membaca buku di perpustakaan, menonton film Prancis, Inggris dan Hollywood atau nongkrong di kedai kopi sambil berdiskusi.
Bacaannya terus berkembang. Gus Dur remaja mulai melahap karya para pemikir social-liberal Eropa, novel-novel legendaris Inggris, Prancis, dan Rusia. Seperti karya Plato (Republic, Politicus, dan The Laws), Aristoteles (Politeia, Ethika Nicomacheia, Ta meta ta physika), Karl Marx (Das Kapital), Lenin (What is to be Done, Infantile Communism) hingga Mao Tse Tung (Little Red Book). Ia sudah fasih membaca buku-buku berbahasa Inggris, Prancis, Belanda dan Jerman.
Sebagai ‘hiburan’ Gus Dur membaca sastra remaja dan cerita-cerita silat. Filofofi hidup yang kuat di naskah-naskah China, membuatnya semakin tenggelam dengan cerita-cerita silat yang selalu bersambung itu. Bacaan penghibur lainnya adalah cerita tentang perang dan biografi tokoh-tokoh dunia.
Kembali ke cerita sekolah. Karena sudah tidak tertarik dengan kelas awal di Al Azhar, Gus Dur akhirnya tidak lulus ujian akhir. Ia kaget dan frustrasi, dan disampaikannya pada Sinta Nuriyah dalam surat yang panjang. Jawaban Sinta Nuriyah yang melegakan, membuatnya kembali bersemangat. Segera ia menulis surat kepada ibunya untuk melamar Nuriyah saat itu juga. Dengan usia yang masih sangat muda, pernikahannya baru terjadi 10 tahun kemudian.
Setelah dua tahun di Mesir, Gus Dur melangkah ke Universitas Baghdad (Irak). Setelah gagal di Mesir, Gus Dur mulai disiplin. Ia bertekad untuk tidak gagal lagi. Malas dan membolos sudah dihapusnya. Hobi nonton film dan sepakbola sulit dihapus, namun dikurangi. Sebagai gantinya ia belajar bahasa Prancis Pusat Kebudayaan Prancis di Baghdad.
Di Baghdad, Gus Dur kuliah dan bekerja. Ia juga mempelajari hal-hal tentang Yahudi, seperti Kabalah, tradisi mistik Yahudi. Juga tentang agama, politik hingga filsafat. Ia berteman karib dengan Ramin, seorang Yahudi Irak yang liberal. Gus Dur menamatkan kuliah di Baghdad dalam tiga tahun.
Selanjutnya, Gus Dur ingin melanjutkan studi pasca sarjana di bidang perbandingan agama di Universitas Leiden, Belanda. Namun di sana ijazah kesarjanaannya di Universitas Baghdad tidak diakui. Ia diharuskan mengulang kembali studi tingkat sarjananya. Gus Dur tak bersedia. Untuk mengobati kekecewaannya, Gus Dur berkelana di Eropa. Enam bulan di Belanda, empat bulan di Jerman dan dua bulan di Prancis. Ia melihat langsung kehidupan masyarakat Eropa dari dekat. Selama di Eropa Gus Dur bekerja apa saja, termasuk di tempat cuci baju (binatu).
Selesai dari Eropa, Gus Dur kembali ke Indonesia. Ia masih menyimpan asa yang lain untuk belajar di Universitas McGill, Kanada. Sembari menunggu, ia bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tahun 1971. LP3ES adalah organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial-demokrat. Lembaga ini kemudian menelurkan majalah intelektual Prisma. Gusdur menjadi salah satu kontributor utama.
Di luar itu, Gusdur aktif berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan bantuan dana dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Melihat hal ini Gusdur merasa prihatin. Nilai-nilai tradisional pesantren semakin tergerus. Selain itu, kemiskinan di lingkungan pesantren nyata adanya. Gusdur akhirnya batal belajar ke luar negeri, dan memilih mengembangkan pesantren.
Gus Dur lalu masuk dunia jurnalistik sebagai penulis kolom dan esai di majalah Tempo dan koran Kompas. Selanjutnya berkembang menjadi pemerhati sosial. Akhirnya undangan sebagai pembicara dan pengajar berdatangan dari berbagai tempat. Ini yang membuatnya harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gusdur tinggal bersama keluarganya.
Meskipun demikian, kehidupan Gus Dur belum baik. Ia masih juga bekerja menjual kacang dan mengantarkan es lilin yang dibuat oleh isterinya. Tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Menginjak 1977, Gusdur bergabung Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam. Universitas lalu ingin Gusdur mengajar subjek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun, dengan prestasinya yang menonjol justru membuat sebagian kalangan universitas tidak senang.
Bersama NU
Gus Dur sebenarnya lebih tertarik menjadi intelektual publik. Karena itu permintaan untuk turut aktif menjalankan NU, bertolak belakang dengan keinginannya. Gus Dur dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Namun, di awal 1980-an, setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga, ia tak sanggup untuk menolaknya. Gus Dur pun pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana.
Saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi yang stagnan. Gus Dur kemudian tergabung dalam Tim Tujuh, yang bertugas membantu menghidupkan kembali NU. Tanggal 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, Gus Dur menyebut permintaan Idham untuk mundur tidak konstitusional. Gus Dur meminta Idham tidak mundur. Dari hasil pemikiran Tim Tujuh ini, Gus Dur menyimpulkan NU menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Gus Dur kemudian mundur dari PPP dan partai politik, sehingga NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU. Gus Dur menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Gus Dur kemudian mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah umum.
Di masa itu, Gus Dur terus mengambangkan diri dengan membangun banyak jaringan. Gus Dur kerap terlibat dalam berbagai diskusi keagamaan, sosial-politik, humanism, juga seni-budaya. Aktivitas dan kepeduliannya yang lintas sektoral kemudian mengantarkannya menjadi Ketua Dewan Kesednian Jakarta (DKJ) tahun 1983. Ini kemudian berlanjut sebagai Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia yang tersohor itu tahun 1986 dan 1987.
Bagi Gus Dur, hidup adalah keseimbangan antara keseriusan dengan santai. Ketegangan yang berlarut akan membuat manusia kehilangan waktu untuk menikmati dunia ini. Dalam Kata Pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (terbit 1986), Gus Dur menyatakan jika kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Karena itu, Gus Dur menempatkan humor adalah bagian penting dalam kehidupan manusia.
Setelah itu, Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Meski banyak tantangan, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik.
Zaman terus bergerak hingga rezim Soeharto jatuh. Dampaknya adalah terbentuknya iklim partai politik baru. Dari tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI, menjadi multi-partai. Di medio Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung menyambut ide tersebut. Juli 1998 Gus Dur melihat adanya urgensi untuk mendirikan partai politik baru sebagai cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Gus Dur menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasihat. Sedangkan ketua partai dijabat dengan Matori Abdul Djalil. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang, dan semua golongan.
November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen untuk melakukan reformasi bangsa. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Perjalanan hidup Gus Dur kemudian sampai pada babak baru yang cukup mengejutkan. Pada 7 Oktober 1999, Amien Rais dan Poros Tengah yang baru dibentuk, secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Lewat sebuah peristiwa yang tak biasa, bangsa ini terselamatkan dari perpecahan. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Dengan aktivitas yang terus meningkat, Gus Dur seakan melupakan kondisi fisiknya. Januari 1998 Gus Dur terserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk.
Gus Dur memang fenomenal. Selama 642 hari menjabat sebagai Presiden ke-4 RI, dalam keterbatasan fisik dan kesehatannya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa. Gus Dur tak pernah sepi dari kontroversi. Peristiwa mundurnya Gus Dur dari kursi presiden juga penuh dengan kontroversi dan tanda tanya. Di awal masa kepemimpinannya ia melikuidasi Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, keduanya dianggap paling ber dosa selama rezim Orde Baru berkuasa. Diperbolehkannya pengibaran bendera Organisasi Papua Merdeka yang ditetapkan sebagai simbol budaya lokal olehnya di bawah bendera merah putih juga memicu kontroversi, bahkan kritik keras dari Megawati, sang wakil presiden.
Belum berhenti sampai di situ. Usulannya membuka hubungan bisnis dengan Israel juga menyulut kemarahan golongan muslim di tanah air. Juga usulan mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan PKI dan penyebarluasan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Pemecatan menteri-menteri (Laksamana Sukardi, Jusuf Kalla) hasil koalisi dari beberapa partai yang dilakukan tanpa penjelasan juga menimbulkan kecaman.
Pemikiran Gus Dur
Jika dipetakan secara runtut, sebenarnya ada tiga bagian utama yang menjadi bagian dari pemikiran Gus Dur. Bagian pertama, melestarikan dan menggali kembali pemahaman Islam tradisional Indonesia yang telah lama ada dan bersemi di bumi Indonesia. Meskipun ruang dan waktu berbeda, namun akar ideologis yang dikembangkan selalu sama dan mendalam.
Setelah itu gagasan yang menghubungkan keagamaan dengan nasionalisme. Faktor ini telah membentuk sebuah pemikiran Gus Dur yang mampu memberikan paparan kebangsaan dengan tidak melepaskan keagamaan. Gus Dur mampu memisahkan keduanya, tetapi tidak melepaskannya. Akhirnya Gus Dur hadir sebagai seorang negarawan yang disegani, di dalam maupun manca negara.
Bagian ketiga adalah kemanusiaan (humanisme). Faktor ini menjadi titik penting sebagai simpul untuk memahami banyak pemikiran Gus Dur. Gus Dur mengembangkan nilai perdamaian dan kemanusiaan yang kemudian menurunkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, saling menolong, dan menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya merupakan nilai-nilai universal bagi umat manusia.
Gus Dur selalu menghindari kekerasan dan mengutamakan dialog serta toleransi. Gus Dur menjalani kehidupannya dengan banyak terobosan dan carauntuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Episode Gus Dur kemudian menemui titik akhir. Di penghujung tahun 2009, Ciganjur mendadak ramai dalam hiruk pikuk manusia. Gus Dur wafat, sang guru bangsa ini telah berpulang untuk selama-lamanya. Cuaca dingin disertai hujan rintik-rintik membuat suasana duka semakin mendalam malam itu.
Gus Dur merupakan sosok pemimpin umat Islam tradisional paling liberal yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara. Gus Dur menyerukan kepada segenap rakyat Indonesia untuk menghindari pertikaian. Hal-hal tersebut yang membuat Gus Dur semakin dicintai rakyat Indonesia dan dunia.
Walaupun telah tiada, kata-kata Gus Dur beliau masih tertanam dalam sanubari masyarakat Indonesia. –sandiantoro