Anak-anak muda Surabaya dari dulu sudah punya tekat besar, solidaritas antar-teman, dan tidak takut menghadapi bahaya.
Surabayastory.com – Kisah tentang bonek Surabaya tidak hanya terjadi saat tahun-tahun belakangan ini. Bonek Surabaya sudah ada sejak dulu. Peran arek-arek Suroboyo yang tak kenal takut dan menerabas semua risiko bahaya sudah zaman perang 10 November 1945.
Bonek adalah anak-anak bondho nekat (hanya bermodal nekat dan keberanian). Anak-anak muda bonek ini punya andil untuk menjaga para pemimpin Indonesia kala berada di Surabaya menjelang 10 November 1945. Kehadiran mereka kalau saat ini banyak ditakutkan para pihak, saat 1945 justru menimbulkan ketakutan pihak lawan. Menjelang pertempuran 10 Nopember 1945, anak-anak muda bonek Surabaya ini memberikan peran bagi perjuangan menjaga kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan Surabaya.
Ceritanya, akhir Oktober 1945, perang besar terjadi di Surabaya hingga pasukan Inggris terdesak karena semangat tanpa takut dari arek-arek Suroboyo. Inggris kemudian mencari cara untuk menghentikan peperangan. Dan satu-satunya cara yang dianggap bisa tercapai gencatan senjata adalah dengan minta bantuan Bung Karno. Akhirnya Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Amir Sjarifuddin tiba di Surabaya. Sedangkan pihak Inggris ada selain Jenderal Mallaby, Kolonel Pugh dan lain-lain perwira, juga Jenderal Hawthorn sendiri dari Jakarta.
Dari Surabaya pemimpin yang hadir adalah Gubernur Surio, Residen Sudirman, Doel Arnowo, Sungkono, Atmadji, Sumarsono (dari PRI), Bung Tomo, dan lain-lain. Mereka siap dengan segala kata-kata yang tajam dan penuh semangat.
Perundingan berjalan mulai pagi menjelang siang di ruang kerja Gubernur di lantai dua. Menjelang siang, perundingan berjalan sengit dengan suasana yang tegang dan memanas. Semua wakil dari Surabaya ikut berbicara. Intinya mereka tidak setuju dengan kehadiran Inggris yang jelas melanggar perjanjiannya sendiri yang semestinya melucuti senjata tentara Jepang. Pembicaraan berjalan keras, dan sedikit kacau, diselingi dengan kata-kata kasar karena emosi. Yang jelas, para wakil Surabaya sangat berani, bicara tegas dan lugas. Mungkin itu yang menjadi ciri khas arek Suroboyo dari dulu hingga saat ini.
Untuk mendinginkan suasana, Bung Karno dan Bung Hatta sering menengahi. Inggris berusaha membela diri, namun mereka menyadari kedudukan brigadenya terjepit.
Mirip Arak-arakan Manten
Sebelum perundingan berlangsung, ada yang mengkhawatirkan bagi arek-arek Suroboyo. Pertemuan itu di daerah yang dipenuhi tentara Inggris. Para pejuang Surabaya menyangsikan keselamatan para pemimpin Indonesia. Di daerah basis Inggris itu, para juru runding Indonesia tidak boleh dikawal oleh pasukan bersenjata saat ke lokasi perundingan. Bagi arek-arek Suroboyo, ini dipandang ada kerawanan. Ada kemungkinan Inggris berbuat curang dengan menembak pimpinan arek-arek Suroboyo yang akan jadi juru runding. Dengan asumsi itu, maka sangat mungkin pemimpin yang ikut berunding itu akan dihabisi jika ada pasukan Inggris yang menembak.
Bagaimana ini? Namanya arek Suroboyo, diputarlah akal. Akhirnya ketemu dan disepakati cara yang tak lazim. Cara ini cerdik namun sangat nekat. Mereka mengawal juru runding Indonesia itu dengan melindungi tanpa senjata. Mereka memindahkan risiko para juru runding itu ke para bonek pengawal. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Yang menarik yang menjadi pengawal para pemimpin Indonesia, dipilih anak-anak muda dengan usia belasan. Perhitungannya, jika dipilih anak-anak usia belasan kemungkinan tentara Inggris untuk menembak remaja-remaja tidak bersenjata lebih kecil. Ketika dicari sukarelawan dengan risiko tertembak, ternyata banyak remaja Surabaya yang bersemangat ikut. Bagi mereka, keselamatan para pemimpin adalah lebih penting. Mereka menjadi pagar hidup yang mengawal para juru runding Indonesia dari dan ke lokasi perundingan. Bonek menjadi semacam perisai hidup bagi para juru runding. Arek-arek Suroboyo itu hanya bondho nekat (modal keberanian). Mereka adalah bonek sejati.
Ketika menjelang saat perundingan, para juru runding Indonesia dari Surabaya, ketika berjalan menuju tempat perundingan dikawal dan dikelilingi secara rapat oleh belasan anak-anak remaja Surabaya. Rombongan perunding dari Surabaya tampak seperti rombongan perunding yang tidak umum, berjalan berduyun-duyun dengan rombongan dan berjalan mirip arak-arakan manten (pengantin).
Strategi ini ternyata manjur. Para tentara Inggris tidak bereaksi melihat rombongan itu. Setelah perundingan selesai, rombongan bonek itu kembali mengawal dengan rapat tim perunding Indonesia. Dengan antusias mereka berjalan kembali dengan menyanyikan beberapa lagu perjuangan. Suasana Surabaya yang meriah dan penuh semangat tertangkap kuat kala itu.
Inilah Surabaya. Inilah bonek sejati, yang mau berkorban demi bangsa dan negaranya. Jiwa heroisme arek-arek Suroboyo saat perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, perlu diwarisi bonek-bonek masa kini. –sa