Sebagai bagian dari perjuangan 10 November 1945, ada bagian yang terlupakan. Rapat raksasa 21 September 1945 di Lapangan tambaksari Surabaya seolah terlupakan.
Surabayastory.com – Ada bagian lain dari perjuangan arek-arek Suroboyo di peristiwa 10 November 1945. Jejak itu yang sering dilupakan. Bagian utama adalah insiden perobekan bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato tanggal 19 September 1945. Namun setelah itu, para pemuda Surabaya menunggu, apa yang harus diselesaikan? Sehari setelahnya, 20 September, mulai banyak pembicaraan untuk membuat semacam rapat besar yang melibatkan rakyat Surabaya. Akhirnya disepakati diadakan Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari, Surabaya, 21 September 1945. Rapat ini waktu itu juga dikenal dengan nama Rapat Samodera.
Dari beberapa upaya mempertahankan kemerdekaan dan posisi Surabaya, rapat raksasa di lapangan Tambaksari adalah awal kulminasi perjuangan perebutan senjata secara besar-besaran di Surabaya. Rapat besar itu direncanakan dari pertemuan pemuda KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya yang berlangsung di GNI (Gedung Nasional Indonesia) di Jl Bubutan. Posko dan kantor pemuda lainnya yang merencanakan rapat raksasa ini juga dilakukan di Markas PRI (Pemuda Republik Indonesia) di Jl Tidar. Rapat raksasa ini terinspirasi dari rapat raksasa yang dilakukan di Lapangan Ikada Jakarta, 19 September 1945.
Rapat raksasa di Surabaya ini adalahuntuk menebalkan legitimasi tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saat itu para pemuda Indonesia yang benar-benar merindukan kemerdekaan, terus bersemangat menyebarluaskan informasi Indonesia merdeka itu langsung kepada rakyat.
Rapat raksasa itu juga untuk meningkatkan semangat rakyat agar lebih berani berkorban demi mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Beberapa elemen masyarakat yang sebelunya berjuang dengan kelompok masing-masing kali ini disatukan dan membulatkan tekat dengan slogan “Merdeka atau Mati”.
Rapat Raksasa di Surabaya awalnya dimulai dari pembentukan panitian oleh Pemuda Minyak. Setelah panitia terbentuk sebanyak 20 orang, mulai direncanakan teknis pelaksanaan. Setelah ada keputusan persetujuan rapat raksasa di Tambaksari, segera diinformasikan kepada seluruh rakyat Surabaya. Para pemuda yang tergabung dalam GBT (Gerakan Bawah Tanah) keliling kampung menyiarkannya lewat berpengeras suara.
Beberapa para pemuda yang aktif sebagai panitia dalam penyelenggaraan Rapat Raksasa ini adalah pengurus PRI (Pemuda Republik Indonesia), Hasan, Soemarsono, Soerjono, Dimjati, Hassanoesi, Abdoel Madjid, Pohan, Soemarno, Karjono, Abdoel Sjoekoer dan Koesnadi.
Pengerahan massa rakyat dilaksanakan kelompok GBT ini menarik masyarakat untuk datang ke Lapangan Tambaksari. Selain jalan kaki, naik sepeda, naik becak, S. Kasman, Hassanoesi, dan kawan-kawannya menggerakkan truk-truk pengangkut pegawai menuju Tambaksari. Juga truk tanki dijadikan alat pengangkut massa. Truk dan tanki ini diambil dari pos dan markas tentara Jepang. Disiarkan, dalam rapat raksasa itu akan berpidato para pemimpin-pemimpin pejuang.
Rencananya, rapat raksasa itu diselenggarakan pukul 15.00 atau jam tiga sore itu. Namun sejak siang hari Lapangan Tambaksari telah banyak didatangi rakyat Surabaya.
Rakyat yang datang ke Lapangan Tambaksari itu juga mendapat selebaran dan pamflet. Mobil dengan pengeras suara mambagi-bagikannya. Pamflet itu berisi slogan-slogan Indonesia Merdeka dan kata-kata menyebar semangat. Pamflet juga ditempel di truk-truk pengangkut massa. Poster-poster itu dicetak di beberapa percetakan yang biasanya mencetak surat kabar. Tulisan-tulisan itu diantaranya adalah Milik RI, Down with Colonialism, Soekarno-Hatta Yes!, NICA No, Let Freedom ring all over the World. Dalam bahasa Perancis ada juga; Liberte, Egalite, Fraternite, yang artinya kebebasan, persamaan, persaudaraan.
Mengapa Dilupakan
Pembukaan rapat raksasa itu dibuka dengan pidato pengantar oleh Ketua BKR Surabaya Abdoel Wahab, pukul 16.00. Kemudian Roeslan Widjajasastra, disusul pidato bersemangat dari Residen Sudirman, Soemarsono, Lukitaningsih, Abdoel Sjoekoer, Sapia dan Koenadi.
Soemarsono pidatonya mengutip pidato 1 Juni Bung Karno tentang Pancasila. Tetapi Soemarsono menyebutnya dengan istilah “Lima K”: Ketuhanan, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kebangsaan, Kemerdekaan, dan Keadilan Sosial. “Lima Sila ini disatukan menjadi kepal, menjadi tinju untuk meninju imperialis, dan penjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!” katanya.
Para pemimpin pemuda dengan tegas membakar semangat juang. Tujuannya, agar pemuda-pemuda dan rakyat tetap bersatu padu dan tetap mempertahankan berkibarnya sang merah-putih untuk selama-lamanya.
Setelah rapat raksasa di Tambaksari itu selesai sekitar pukul 19.00, rakyat bubar dengan semangat berkobar-kobar. Keberanian dan keyakinan untuk mempertahankan kemerdekaan semakin menjadi-jadi. Massa pemuda mulai merobek-robek poster Jepang berisi larangan mengeluarkan pendapat. Gerakan protes semacam ini semakin besar dengan mengganti poster-poster Jepang dengan pamphlet-pamflet semangat kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, Jepang marah dan mulai menangkap 11 tokoh pemuda Surabaya. Mereka digiring masuk kendaraan Kempetai dan dibawa ke markasnya di bekas kantor Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi zaman Belanda), yang berdiri Tugu Pahlawan. Untunglah, tengah malam dating para pemimpin pemuda lainnya bersama para pejuang Surabaya. Akhirnya 11 orang yang ditahan bisa dibebaskan dengan alas an jika tidak dibebaskan markas Kempeitai itu bisa diserbu rakyat Surabaya.
Rapat raksasa di Lapangan Tambakasari termasuk acara bersejarah di bumi Surabaya karena melibatkan ribuan orang dari seluruh unsur masyarakat, pejuang, serta menjadi tonggak untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Entah mengapa, tak pernah disentuh kembali. Setiap tahun yang diingat hanyalah kisah perobekan bendera.
Rapat Samoedera di lapangan Tambaksari Surabaya (21 September 1945) dan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Jakarta (19 September 1945) adalah dua rapat terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. –sa, dari berbagai sumber