Belajar pada pengalaman tokoh-tokoh masa lalu seperti membawa cermin besar yang kita hadapkan di muka sendiri. Apa kemajuan yang sudah kita lakukan, atau justru mundur sebelum masehi?
.
.
Surabayastory.com – Nebukadnezar adalah raja dari Kerajaan Chaldean (juga dikenal sebagai Babylon Baru). Ia dilahirkan sekitar 630 BC (before century/ sebelum masehi), dan meninggal sekitar 562 BC di usia 68. Ia adalah raja yang paling berkuasa dari dinastinya, dan paling dikenal karena kehebatan ibukotanya, Babylon, Pintu Gerbang Kota Ishtar (easter), Taman Gantung, Menara Babel, Ziggurat, penaklukan militernya yang luas, dan peranannya dalam sejarah.
Nebukadnezar adalah putra tertua Nabopolassar, pendiri kerajaan Babylon Baru. Sesudah bertugas sebagai komandan militer, Nebukadnezar menjadi raja pada kematian ayahnya Agustus 605 BC. Dengan menikahi anak perempuan Cyaxares, ia menyatukan dinasti Median dan Babylon. Ia tidak hanya seorang raja perang, ia juga terampil dalam politik.
Selama masa Nebukadnezar, Babylon adalah kota terbesar dunia. Luasnya diperkirakan mencapai 1,000 hektar, dengan sungai Euphrates yang mengalir melewati kerajaan itu. Nama kota mungkin menyimbolkan seluruh kerajaan.
.
.
Kejayaan kota Babylon tak lain merupakan hasil karya Nebuknezar yang dijuluki sebagai pembangun yang spektakuler. Ia membangun kembali kota Babylon secara besar-besaran sehingga menjadi kota yang cantik dan melegenda. Kota Babylon dikelilingi parit dan dinding ganda. Sungai Euphrates mengalir melewati pusat kota, dihubungkan dengan jembatan batu yang indah. Pada pusat kota berdiri ziggurat raksasa yang disebut Etemenanki, “Rumah Perbatasan antara Surga dan Bumi,” yang terletak di depan Kuil Marduk. Itu adalah ziggurat besar yang memberikan inspirasi bagi kisah al-kitab tentang Menara Babel.
Sebagai seorang pemimpin yang cakap, Nebukadnezar telah mengalami perang militer yang berhasil di Syria dan Phoenicia, memaksakan setoran upeti dari Damaskus, Tyre dan Sidon. Ia melakukan perang besar di Asia Kecil, di daratan Hatti. Seperti Assyria, Babylon harus berperang selama bertahun-tahun untuk menaklukan koloni-koloni mereka.
Pada tahun 601 BC Nebukadnezar II terlibat pertempuran besar tapi tidak meyakinkan dengan Mesir. Pada tahun 599 BC ia menyerang Arabia. Pada tahun 597 BC ia menyerang Israel dan merebut Jerusalem dan menggulingkan raja Jehoiakin. Mesir dan Babylon berperang satu sama lain untuk menguasai timur dekat di sepanjang masa pemerintahan Nebukadnezar, dan ini mendorong raja Zedekiah dari Israel untuk memberontak. Sesudah pengepungan selama 18 bulan Jerusalem dapat direbut pada 587 BC, ribuan Yahudi dideportasi ke Babylon dan Kuil Solomon diratakan dengan tanah.
.
.
Nebukadnezar bertempur melawan Raja Psammetichus II dan Apries sepanjang masa pemerintahannya, dan selama masa pemerintahan Amasis pada tahun 568 BC ia dikabarkan menguasai Mesir. Menjelang 572 Nabukadnezar sepenuhnya mengontrol Mesopotamia, Syria, Phonecia, Israel, Palestina, bagian utara Arabia dan bagian-bagian Asia Kecil.
.
Rintisan Sang Ayah
Pencapaian kekuasaan Nebukadnezar tak terlepas dari sepak terjang ayahnya Nabopolassar sebagai pendiri Kerajaan Babylon Baru melalui berbagai aksi penaklukannya. Seperti diketahui setelah kematian raja Aššurbanipal, Assyria mengalami kesulitan yang serius. Pada tahun 627, raja Assyria mengirim dua saudaranya, Sin-šumlišir dan Sin-šar-iškun, sebagai gubernur Babylon. Keduanya berhasil disingkirkan tentara Babylon bernama Nabopolasar. Ayah Nebukadnezzar ini pernah menjadi tentara kerajaan Assyria tapi kemudian dia ingin memiliki kerajaannya sendiri. Menurut Kronik Babylon yang dikenal sebagai ABC 2, ia dinobatkan sebagai raja pada 23 November 626. Ini adalah permulaan Kerajaan Neo Babylon.
Nabopolassar terus melakukan perlawanan untuk menggulingkan Assyria. Apabila berhasil, keseimbangan kekuatan di timur dekat akan berada dalam bahaya yang serius. Karena itu Kerajaan Mesir kuno memutuskan untuk mendukung Assyria melawan Babylon, sang aggressor. “Sejarah Kejatuhan Nineveh” menggambarkan peristiwa-peristiwa pada tahun itu. Pada tahun 616, Nabopolassar mengalahkan tentara Assyria di tebing sungai Euphrates, sebelah selatan Harran. Ini menunjukan bahwa Nabopolassar ingin memblokade jalan utama antara daratan utamai Assyria dengan kekuasaannya di barat. Akan tetapi ia dipaksa mundur ketika tentara Kerajaan Mesir mendekat.
Tahun berikutnya, Babylon mengubah strateginya dan menyerang daratan utama Assyria, di mana ia mengepung Aššur, ibukota relijius Assyria. Bangsa Assyria dapat mengusir musuh, tapi akhir tahun 615, Medes, sebuah kumpulan suku-suku yang tinggal di Iran sekarang ini, menyerang. Sesudah musim dingin, Medes berhasil merebut kota, dan walaupun Nabopolassar tiba terlalu lambat untuk memberikan bantuan, ia menandatangani perjanjian dengan raja Cyaxares. Sejarahwan Babylon menceritakan bahwa aliansi itu dikonkretkan melalui perkawinan kerajaan: putra mahkota kerajaan Babylon Nebukadnezar menikah dengan putri raja Medes yang bernama Amytis.
Sesudah setahun perang yang tak menghasilkan kemajuan yang meyakinkan, aliansi Medes dan Babylon melakukan pengepungan ibukota Assyria Nineveh pada Mei 612. Pengepungan berlangsung selama tiga bulan. Pada bulan Juli kota itu jatuh ke tangan aliansi. Raja Sin-šar-iškun, yang pernah bertugas di Babylon melakukan bunuh diri.
Sejumlah peperangan terjadi pada wilayah tetangga, Harran. Dari sinilah raja Assyria, Aššur-uballit, diusir. Namun ia kembali dengan menggandeng tentara raja Mesir, Necho II (610-595). (Raja Josiah Judah, yang mencoba menaklukan bekas kerajaan Israel, yang menjadi bagian dari Kerajaan Assyria, mencoba melawan Mesir, tapi terbunuh di Megiddo.) Necho akhirnya dikalahkan juga pada 605, oleh putra mahkota Nebukadnezar, dekat Carchemish pada tebing sungai Euphrates. Cerita ini dikatakan dalam Kronik Nebukadnezar.
Pada tahun yang sama, Nabopolassar, bapak pendiri Kerajaan Babylon, meninggal. Putranya tetap melakukan ekspansi ke barat. Ia berhasil merebut wilayah Assyria. Tidak sepenuhnya jelas di mana dan kapan perbatasan antara Mesir dan Babylon dibuat: Dalam dokumen 2 Kings 24.7 menyatakan bahwa Mesir mundur ke padang pasir Sinai dan meninggalkan pantai Palestina di tangan Babylon, tapi peneliti Yunani Herodotus of Halicarnassus (Histories 2.159) menyatakan bahwa Gaza tetap dalam kekuasaan Mesir.
Selama fase perang barat ini, Jerusalem direbut (597), dan ketika raja taklukannya memberontak, kota itu direbut untuk keduakalinya (586). Penduduknya dideportasi ke Babylon: permulaan pembuangan Yahudi ke Babylon. Sekarang, barat sudah aman, hanya Tyre yang melawan, dan walaupun pengepungan sudah berlangsung lama, Tyre baru jatuh pada 575.
Mungkin apa yang disebut dengan “Labynetos” oleh Herodotus sebagai orang, yang bersama-sama dengan pemimpin Cicilia Syennesis menyusun sebuah perjanjian damai antara raja Lydia Alyattes dan raja Media Cyaxares pada 585, identik dengan Nebukadnezar. Ini jauh dari pasti, tapi tampaknya bahwa bangsa Babylon, yang saat itu menaklukan barat, tertarik dengan Anatolia, dimana besi ditemukan. Pada saat yang sama, Nebukadnezar tampak memiliki hubungan persahabatan dengan suku bangsa suku bangsa pegunungan di timur.
Apa yang terjadi, kenyataannya, adalah bahwa kerajaan besar Timur Dekat Kuno menerima elit baru: Bangsa Assyria digantikan oleh Babylon, tapi kerajaan itu sendiri lebih kurang tetap sama. Demikian juga, kerajaan Achaemenid dan Seleucid yang belakangan tidak sungguh-sungguh berbeda dari kerajaan-kerajaan yang lebih awal. Sejarah kuno dari Timur Dekat adalah sejarah perubahan dan kontinuitas.
Nebukadnezar dikenal paling baik oleh para pengikut karena ketundukannya terhadap kerajaan selatan (kerajaan utara Israel telah lama musnah, ditaklukan dan diusir selama seabad lebih awal oleh Assyria). Menjelang 586 B.C., kekuatan-kekuatan Babylon menaklukan daratan itu, menghancurkan Jerusalem, merampas dan membakar kuil asli yang dibangun oleh Solomon, dan mengeluarkan orang-orang yang dikenal sebagai pengasingan Babylonian.
Sekuat apapun Nebukadnezar, ia tidak dapat menaklukan orang Judah. Tuhan tidak membiarkan itu terjadi. Rakyat menjadi sangat korup dan menyembah berhala. Mereka mengabaikan semua nabi yang dikirimkan Tuhan untuk memperingatkan mereka dan mereka menolak untuk bertobat. Mereka percaya diri mereka sendiri, di kota Jerusalem, dan bahkan lebih percaya pada kuil fisik, melebihi kepercayaan pada Tuhannya sendiri. –drs, dari berbagai sumber