Teknologi internet yang terus berkembang di dunia, menyimpan ekses negatif yang tak kalah berbahaya. Bagai pisau bermata dua.
.
.
Surabayastory.com – Selama berada di dunia, kita akan berhadapan dengan dualism; baik-buruk, pagi-malam, hitam-putih, dan seterusnya. Begitu pula dengan keberadaan internet. Punya dua muka, tinggal siapa yang memegangnya.
Semua data dan informasi yang ada di hadapan kita tidak bisa semuanya ditelan begitu saja. Informasi itu harus disaring untuk mendapatkan yang tepat dan relevan. Inilah yang kemudian mengubah abad informasi menjadi abad internet.
Prinsip ini sangat relevan mengingat para pengguna internet kebanyak berusia muda. Mereka dituntut untuk melakukan hal-hal yang produktif karena kelak mereka akan menjadi tumpuan kemajuan bangsa dan negaranya. Ini sesuai dengan hasil penelitan MarkPlus Insight yang mengungkapkan, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh anak muda dari kelompok umur 15-30 tahun. Di masing-masing kota yang disurvei oleh MarkPlus Insight, sekitar 50 persen hingga 80 persen dari pengguna Internet merupakan kaum muda.
.
Berbagai Ekses
Tak pelak lagi internet telah membuka kran yang begitu kencang terhadap kebebasan dan keterbukaan dalam berekspresi dan menyampaikan informasi di kalangan masyarakat luas. Salah satu fenomena yang muncul dari kondisi seperti itu adalah munculnya keberanian menyatakan pendapat dan berekspresi.
Namun ketiadaan tanggungjawab dalam melaksanakan kebebasan, bisa berakibat terancamnya kebebasan itu sendiri. Sikap yang tidak bertanggungjawab terhadap kebebasan bisa menimbulkan serangan balik terhadap kebebasan informasi dan berekspresi itu sendiri. Ancaman seperti ini bisa muncul dari kalangan berduit dan berkuasa yang merasa terancam dengan adanya kebebasan tersebut.
Dengan perkembangan internet yang menawarkan kebebasan berpendapat kini muncul fenomena “parlemen online”! Ketika saluran formal seperti DPR, lembaga penegak hukum, pemerintah, dan pers dinilai tidak mampu menyalurkan aspirasi masyarakat, para anggota parlemen online ini merasa terpanggil untuk menyampaikan ketidakpuasan serta melakukan kontrol sosial.
Namun kalau para pengguna media online melaksanakan kebebasan tanpa tanggungjawab maka akan terjerumus pada tindakan penghinaan yang bisa dijerat hukum. Selain itu mereka juga akan muda terjerumus pada perselisihan yang menjurus ke masalah Sara. Karena itulah lalu muncul pengaturan dari pemerintah yang kemudian melahirkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
UU semacam ini akan menjadi bumerang bila diterapkan secara tidak pada tempatnya. Pelaksanaan UU ini mendapatkan kritik dari masyarakat luas ketika digunakan oleh pengusaha dan penegak hukum . Kritik msyarakat terhadap pelayanan layanan umum lewat email atau media sosial yang kemudian disebarluaskan lewat berbagai platform berbuntut tuntutan hukum.
Penerapan UU seperti itu akan berakibat tersumbatnya kembali kebebasan berpendapat dan berekpresi. Dengan adanya berbagai kasus, dengan mudah seseorang yang melakukan posting pendapat, ekspresi ataupun informasinya melalui media baru, dapat didakwa melakukan perbuatan melanggar undang-undang. Tidak sedikit pula yang kini mulai berhati-hati, atau bahkan cenderung khawatir, untuk melakukan posting lantaran tidak ingin terjerat pada hal-hal yang dirasa dapat merugikan dirinya.
Banyak kalangan yang merasa pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik secara online tersebut, adalah pasal karet yang rentan disalahgunakan untuk melindungi “perasaan” seseorang yang lebih mampu secara finansial, kedudukan maupun politik ketimbang “nama baik”.
Masalah kebebasan berekspresi di media baru, menjadi isu yang sangat serius pada ajang Internet Governance Forum (IGF) di Sharm El Sheikh – Mesir. Kebebasan berekspresi, sebagai wujud konsensus internasional yang diakui pula oleh PBB, adalah hal yang harus dijunjung tinggi. Diskusi menghangat pada sesi utama di hari ke-2, Senin (16/11/2009), terkait dengan perlu atau tidaknya kebebasan berekspresi diatur dalam peraturan pemerintah. Jika memang perlu ada peraturan pemerintah, mereka menuntut seharusnya peraturan tersebut adalah menjamin kebebasan berekspresi itu sendiri, ketimbang sebaliknya.
Peraturan pemerintah diharapkan tidak kemudian justru menghambat atau membatasi hak asasi manusia. Kewenangan untuk melakukan penghambatan dan pembatasan haruslah berdasarkan kriteria yang benar-benar ketat. Semisal jika terkait dengan masalah perlindungan anak, kebencian terhadap ras dan agama tertentu serta terorisme.
Dari aspek sosial, kecemasan terhadap internet disuarakan oleh kalangan agama. Salah seorang pimpinan MUI, H Amidhan mengatakan, “Haram hukumnya bagi isi facebook yang bermuatan gosip, mengumbar keburukan privasi orang, dan pornografi.”
Sementara situs id.wikipedia.org, menyatakan terdapat kebimbangan masyarakat tentang internet yang melahirkan sejumlah kontroversi. Di antaranya tentang pelanggaran hak cipta, pornografi, pencurian identitas, dan pernyataan kebencian (hate speech) yang sering terjadi melalui internet.
Selain itu sejumlah kasus mulai dari pelecehan dan kekerasan seksual terhadap remaja putri, penipuan, gendam dan sebagainya yang dilakukan oleh teman yang didapat melalui facebook, juga menimbulkan kecemasan tersendiri di kalangan orangtua.
Dampak yang lainnya dari internet adalah terhadap prestasi sekolah dan produktivitas kerja. Hasil survey yang dirilis dari Ohio State University, menunjukkan, bahwa mahasiswa yang sering menggunakan online-social-network memiliki indeks prestasi belajar lebih rendah daripada mahasiswa yang tidak menggunakan online-social-network. Survei dilakukan pada 219 mahasiswa dan lulusan yang secara signifikan memiliki perbedaan hasil belajarnya, antara pengguna Facebook vs non-pengguna.
Dampak internet terhadap produktivitas kerja tampak dari sebuah penelitian yang dilakukan perusahaan penelitian IT, Nucleus Research. Riset itu menunjukan perusahan-perusahaan yang membiarkan karyawannya mengakses facebook di tempat kerja rata-rata kehilangan produktivitas kerja hingga 1,5%. Penelitian yang dilakukan terhadap 237 pegawai itu juga menunjukan 77% para pekerja yang memiliki akun Facebook menggunakannya saat jam-jam kerja. Mereka menggunakan situs jejaring sosial itu sebanyak 2 jam di tempat kerja.
Selain itu survei yang dilakukan oleh neurosains dari Oxford University menyatakan bahwa sosial-network seperti Facebook dan Bebo mudah membuat penggunanya kekanak-kanakan hingga berperilaku seperti anak kecil.
Neurosains dari UCLA malah memberikan peringatan tentang menurunnya kemampuan para pengguna social-network dan teknologi modern terhadap perhatiannya pada ekspresi dan isyarat emosional seseorang secara sosial di kehidupan nyata, akibat kurangnya bertatap muka atau bersosialisasi secara langsung. Tentu semua ini akan menambah daftar panjang kecemasan orangtua terhadap internet.
Dampak negatif lainnya, saat ini juga muncul apa yang disebut sebagai cyber crime (kejahatan internet). Modusnya mulai dari penipuan (pembeli sudah menstransfer uang ke bank tapi barang tidak dikirim) sampai pada pembobolan rekening melalui internet.
Karena itulah, selama kita di dunia, selama kita bermain internet, selalu waspada dengan dualism yang ada di dalamnya. Jangan sampai kesenangan dan kemudahan yang diberikan oleh teknologi, justru “membunuh” kita sebagai manusia. –drs