Sederhana itu indah. Sederhana itu berdaya. Tengok karya-karya Ernest Hemingway yang sejetinya diuntai dengan sederhana.
Surabayastory.com – Membaca karya-karya Ernest Hemingway seakan kita diajak untuk berkelana. Kekuatan deskripsi dan diksi yang dipilih membentuk sepetak suasana dan atmosfer yang sangat dekat, seakan kita sedang ikut berjalan bersamanya. Seperti ada di depan mata. Dalam bagian–bagian tertentu seakan menyatu dalam jiwa: syahdu, liris, dan hanyut membuai. Sejurus kemudian, berubah melompat, cepat, kuat, dan trengginas. Dramatisasi bagian cerita yang mendebarkan serta mencekam diolahnya dengan penuh perasaan. Dengan kata yang lugas, lincah, dengan makna tersirat di baliknya. Hemingway piawai di sini. Inilah kekuatan pikiran, jiwanya, yang dititiskan dalam bentuk tulisan.
Hemingway memang punya penggemar tersendiri. Khususnya cerita-cerita pendeknya. Kalimat-kalimatnya yang sangat efisien, terus mengembang secara imajinatif, dan jauh melampaui judul maupun akar ceritanya. Karena itu, meski pendek, cerita-cerita itu biasanya tertinggal kuat dalam benak, dan terus mengusik untuk dibaca kembali di kemudian hari. Coba kita tengok kumpulan cerpen Men without Women dan In Our Time. Atau juga A Moveable Feast, yang diterbitkan setelah kematiannya.
Dengan kemampuannya, pembaca seakan diajak berada dalam suasana yang sama, melihat, merasakan, dan menikmatinya. Kata-kata yang mengalir, mengayun membuai, dengan diskripsi yang indah dan imajinatif. Kisah itu mengalir dengan kejujuran. Jernih seolah membuat penikmatnya terus mengikuti hingga hilir akhir.
Bagaimana ia bisa menghidupkan setiap suasana dalam cerita-ceritanya? Inilah yang menarik. Proses kreatif Hemingway ternyata juga penuh dengan cerita. Baginya, menulis adalah sebuah proses yang tidak bisa berjalan begitu saja. Hasil akan dicapai setelah melalui persiapan dan proses yang melelahkan.
Di rangkum dari beberapa catatan dari berbagai sumber, sebenarnya Hemingway punya beberapa tips untuk mendukung proses kreatifnya. Yang jelas Hemingway adalah sosok yang disiplin dan punya tujuan. Dia punya deadline, tidak membiarkan segalanya mengalir begitu saja tanpa tahu di mana ujungnya.
Beberapa proses kreatif berikut ini bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca. Dari pengalaman-pengalaman Hemingway, kebiasaan dan apa yang dihindarinya, hingga prinsip dasarnya tentang penulisan.
Kesederhanaan itu
Hemingway sedari awal melawan ‘gaya rumit’ teknik menulis cerpen abad ke-19. Ia menyatakan fokus untuk menghadirkan sebuah cerita dan menghindari kebingungan pembaca. Karena itu, agar pesan cerita lebih mudah dicerna, haruslah dengan kalimat-kalimat sederhana dan efektif. Kalimat yang tidak perting dan tak punya makna, hanya akan mengotori cerita. Dan harus dibuang. Hemingway memilih kata lugas yang lansung menuju ke titik sasaran.
Anda pernah tahu tentang novel 6 kata? For Sale; babys shoes. Never worn. Ceritanya begini. Hemingway sedang duduk makan siang bersama para penulis di sebuah restoran. Mereka bertaruh 10 dollar AS masing-masing jika bisa menulis sebuah cerita pendek dengan enam kata. Hemingway dengan cepat menulis enam kata di atas serbet, dan kata-kata yang ditulis adalah For sale: baby shoes, never worn (Dijual: Sepatu Bayi. Belum pernah dipakai!) dan dia menang.
Enam kata yang dipandang penuh makna. Orang yang pertama kali membacanya pun pasti langsung memahami makna yang tersirat di dalamnya. Tentu saja dengan beragam interpretasi. Tidak perlu menulis cerita panjang untuk menyampaikan sebuah gagasan yang mengekspresikan perasaan.
Fiksi 6 kata Hemingway menarik karena ia berhasil mengundang rasa penasaran pembaca. Inilah kejeniusan seorang Hemingway. Ia melibatkan pembaca untuk berimajinasi dengan interpretasi masing-masing, dan menyusun alur cerita mereka sendiri. Ia membebaskan pembacanya untuk membuat akhir (ending) cerita.
Dalam perkembangannya, karya ini pun mendapat berbagai sebutan, mulai sebagai karya microfiction, flash fiction, short story, meskipun sang pengarang tetap kukuh menyebutnya sebagai novel, meski sangat pendek.
Dalam dunia penulisan, terobosan Hemingway ini merupakan bentuk ‘perlawanan’ terhadap dominasi pengarang akan sebuah cerita. Cerita yang dibuat pengarang tidak lagi murni menjadi milik sang penulis. Hemingway menawarkan sebuah pengalaman terbuka untuk menjadi penulis bersama.
Sebenarnya cerita dengan enam kata itu adalah cara Hemingway menjelaskan prinsip gunung es yang dianutnya. Akademisi menyebutnya sebagai cara paling radikal Hemingway menjelaskan prinsip gunung es dengan memberikan contoh sebuah novel dari awal hingga akhir hanya dalam enam kata. Penjelasan ini diberikan untuk menanggapi tantangan para sahabat dekatnya yang disebut Hemingway sebagai Iceberg Principle.
Kurang lebih 1/8 fakta-fakta keras melayang di atas air. Sementara 7/8 bagian cerita berupa struktur pendukung, lengkap dengan simbolisme, berada jauh di kedalaman.
“Yang perlu Anda ketahui, saya selalu mencoba menulis dengan prinsip gunung es. Dalam gundukan gunung es, tujuh hingga delapan bagiannya sebenarnya ada di bawah air. Apapun yang Anda ketahui lebih banyak bisa dieliminasi, dan hanya bagian yang paling penting yang ditonjolkan. Sedang yang lain bisa tidak ditampakkan. Begitulah prinsip Iceberg,” katanya.
Kesederhanaan juga hadir dalam kalimat-kalimat yang singkat. Hemingway menyarankan memakai kalimat-kalimat pendek. Otak manusia punya keterbatasan dalam mencerna kalimat panjang dan lebih mudah menyerap informasi dalam bentuk kalimat pendek.
Kalimat panjang akan memakai tanda koma terlalu banyak. Kalimat pendek dengan 11 kata atau kurang akan menjadi sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Kata sifat dan kata keterangan yang tidak ekonomis dipangkas. Biasakan memilih kata ‘dan’ ketimbang tanda ‘koma’.
Dengan adanya kalimat majemuk (apalagi majemuk bertingkat) menunjukkan penulis kesulitan menyampaikan gagasannya. “Pembaca tidak peduli seberapa kaya kosa kata Anda. Pembaca akan berhenti bila merasa tidak bisa nyambung dengan cerita Anda,” katanya.
Cerita pendek Hemingway juga terlihat berjalan cepat dari satu adegan ke adegan yang lain (sinematik). Berjalan runtut dengan deskripsi dan narasi yang kuat. Ini yang membuat para pembaca terus mengikuti cerita hingga akhir.
Hemingway pada dasarnya menceritakan apa yang tokoh-tokohnya lakukan (adegan) dan katakan (dialog). Bukan apa yang mereka pikir dan rasakan.
Dalam satu paragraf hanya akan berisi satu ide pokok. Cara ini membantu pembaca mencerna inti cerita. Otak manusia menyerap lebih baik ketika itu dipecah menjadi potongan kecil. Paragraf pendek tercipta dengan sendirinya bila kita menulis dengan jelas dan mudah dimengerti.
Paragraf panjang justru akan membuat kerancuan oleh oleh pembaca. Bisa jadi sebagai kesombongan penulis untuk menunjukkan betapa luas pengetahuannya.
Hemingway juga lebih tertarik untuk menggunakan kalimat-kalimat positif yang inspiratif. Menurutnya, kalimat positif terasa lebih ringan dan memudahkan pembaca memahami inti ceritanya.
Menyederhanakan sesuatu yang kompleks adalah sebuah tantangan tersendiri. –sa