Surabayastory.com – Anak Che Guevara yang cukup menonjol adalah Aleida Guevara. Meski perempuan, ia bisa mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter dengan spesialisasi kesehatan anak. Aleida juga aktif di politik sebagai anggota partai. Ia punya ide yang sama dengan Che tentang pembentukan dunia yang bebas dari tekanan. Ia jadi tokoh tenar dalam gerakan anti-globalisasi. Selain menjadi dokter anak di Havana, ia juga bekerja di Che Guevara Studies Centre di Havana yang dipimpin ibunya sendiri. Ia pernah belajar di sekolah militer di Kuba dan bertugas sebagai Angkatan Bersenjata Revolusioner. Ia juga berkeliling ke berbagai penjuru dunia mengkampanyekan masalah-masalah Kuba dan perjuangan anti-imperialisme.
Pada 1982, ia menyelesaikan kuliah kedokteran di Nikaragua tepatnya di Autonomous University of Nicaragua dan University of Havana di Kuba. Ia juga sempat ke Angola di Afrika pada 1986 bekerja di RS Josina Machel untuk bekerja keras memerangi wabah kolera mematikan. Tugas sebagai dokter anak juga membawanya ke hutan-hutan di Nikaragua, Angola, Ekuador dan beberapa negara Eropa. Di bidang lain, ia sering menjadi pembicara soal ide-ide terkini tentang Kuba moderen dan masalah dunia. Jika pidato ayahnya lebih romantik dan jauh di awang-awang, ia lebih membumi dan bisa menghibur. Tahun 2003, ia menjadi keynote dalam World Social Forum di Porto Alegre, Brazil. Meski memikul cap sebagai putri ikon revolusi abad 20, Aleida muncul menjadi tokoh dengan caranya sendiri.
Saat merayakan 75 tahun kelahiran Che di kota Rosario di Argentina, Aleida mengakui jalan revolusi memng tidak mudah. “Setiap orang harus memilih jalannya sendiri dan memutuskan apakah ingin mengubah masyarakatnya atau tidak,” kata ia saat diwawancarai wartawan AFP. Saat hadir di Ecumenical Centre di Geneva atas undangan World Council of Churches (WCC) pada 19 Maret 2003, Aleida mengecam keras persidangan yang sangat tidak jujur atas lima orang Kuba di Miami, Florida, AS. “Kami minta World Council of Churches memberikan solidaritas untuk meminta pengampunan atas lima orang Kuba yang ditahan di Miami,” kata Aleide seperti dikutip CMI Cronica.
Aleida, dalam kunjungan ke Sydney dan Melbourne di Australia pada awal Juli 2003, mengungkapkan bagaimana hubungan ia dengan ayahnya. “Saya punya sedikit kenangan tentang ayah. Kenangan itu muncul dalam berbagai bentuk. Meski kami hanya hidup bersama dalam waktu sangat pendek, saya tetap menghargai dan mencintai ayah,” kata Aleida seperti dikutip koran The Age 11 Juni 2003 di Australia.
Aleida Guevara, seperti dimuat dalam The Age koran Australia edisi 2 Juli 2003, mengungkap sisi-sisi lain ayahnya yang jarang dilihat umum. Ia mengaku prihatin dengan gambar ayahnya yang sudah dieksploitasi pasar kapitalis sehingga merendahkan nilai ideologisnya. Lalu, ketika gambar ayahnya ditempel di produk-produk pasaran, ia pun berjuang untuk memulihkan nilai idologis itu.
Meski usianya masih tujuh tahun saat ditinggal mati Che, Aleida mengaku bisa mengenang kehangatan ayahnya dengan segala kapasitas untuk dicintainya. Pengetahuan lain soal ayahnya didapat dari ibunya dan teman-teman seperjuangan ayahnya termasuk Fidel Castro yang dia panggil ‘paman.’ Meski tidak kenal ayahnya secara fisik atau personal, Aleida bisa mengenang pelajaran yang diajarkan ayahnya. “Yang terpenting adalah mencoba memahami manusia meski kamu mungkin tidak yakin tahu apa yang sedang terjadi. Andai memang tahu, tetaplah mencoba untuk sedekat mungkin dengan orang lain,” begitu pelajaran yang ia dapatkan dari Che.
Pelajaran tentang Ketidakadilan
Saat menghilang di belantara Bolivia, Aleida berhubungan dengan Che lewat surat. Misalnya, pada 1965, surat Che berisikan pesan tentang bagaimana figur dirinya; “Jika kau harus membaca surat ini, itu karena ayah tidak lagi bisa bersamamu. . . ayahmu adalah orang yang bertindak atas dasar keyakinannya dan tentu setia pada apa yang diyakinianya.” Pada akhir suratnya, Che memberikan nasihat pada anak-anaknya: “Di atas segalanya, jangan pernah lupa untuk bisa merasakan setiap ketidak-adilan yang dilakukan terhadap seseorang di mana saja di dunia ini.”
Soal ketidak-adilan itu, ia menunjukkan dalam kesehariannya. Saat berada di Inggris pada 2003, misalnya, Aleida langsung mengungkapkan ketidak-sukaannya soal gambar-gambar ayahnya yang dijadikan simbol konsumerisme. Saat berjalan-jalan di Camden Market, Aleida menemukan wajah ayahnya jadi cap di botol bir, asbak rokok, bar Irish-Cuban, celana jins, sampul album punk dan lain-lain. “Saya tidak ingin orang menggunakan wajah ayah saya dengan cara seperti itu. Saya tidak suka melihat wajah ayah dijahit di bokong celana jins. Tapi, saya tetap senang melihat orang-orang yang mengenakan T-shirt Che. Mereka umumnya orang-orang yang tidak nyaman, yang ingin lebih banyak dari masyarakat, yang masih bertanya-tanya apakah bisa menjadi manusia yang lebih baik. Seperti itu lah yang sebenarnya yang disukai ayah,” kata Aleida seperti ditulis koran The Guardian edisi 3 Mei 2002. “Ayah saya itu juga manusia yang spesial dan magis dengan kapasitas membaktikan diri sepenuhnya untuk membangkitkan inspirasi. Ia juga membaktikan diri sepenuhnya pada ibu saya dengan segenap cinta,” kata Alieda.
Che juga punya obsesi dan nilai-nilai tertentu yang dipegang teguh yang disampaikan pada anak-anaknya melalui berbagai surat. Aleida menyebut nasihatnya antara lain, “Jangan pernah mengabaikan pentingnya buku. Berkawanlah dengan kemanusiaan. Jangan biarkan ketidak-adilan terjadi di mana pun dan terhadap siapa pun. Berbaktilah pada negara.”
Che juga suka menggoda anak-anaknya. Ketika Aleida masih berusia hampir enam tahun, dan Che lama tidak pulang, tiba-tiba dia datang sambil menyamar. “Saya teman ayahmu, teman baiknya,” kata Che sambil menyembunyikan aksen Argentina-nya. Aleida kala itu merasa aneh dengan orang yang dihadapinya. “Mata saya tidak mengenal dia sebagai ayah, tapi perasaan ini mengenalnya. Lalu, kami bersama menghadiri pawai. Saya terjatuh dan kepala saya terantuk batu. Ia datang menolong dan merawat saya layaknya dokter. Kemudian, saya berkata pada Ibu, ‘Tahu tidak, Mam, orang itu? Ia menyayangi saya.’ Kala itu, saya tidak tahu mengapa ia menyayangi saya, tapi saya bisa merasakan. Ibu juga tidak bisa menjelaskan.”
Suatu hari, Che pernah membawa oleh-oleh permen pada anak-anaknya. Saat Aleida menyerahkan seluruh permennya pada adiknya yang masih bayi, Che mengatakan, “Kau membuat ayah sangat bangga. Itu tindakan terpuji sebagai anak tertua untuk memberikan permen pada adik-adikmu. Sebagai imbalan, ayah akan memberikan permen lagi untukmu.”
Ditanya wartawan The Guardian apakah Aleida mencoba menyamai ayahnya? Dia mengatakan, “Kebetulan, saya dokter dan ayah juga dokter. Kami juga punya pandangan yang sama. Saya kembangkan pandangan-pandangan itu sebagai remaja. Namun, kala itu saya juga mencoba berhenti untuk menjadi seperti ayah. Saya harus menetapkan jalan dan pikiran menjadi diri saya sendiri.” –tw
he blog was how do i say it… relevant, finally something that helped me. Thanks